Wonogiri - Durian Pogog sudah sebulan memasuki masa panen. Dusun Pogog yang berjarak sekitar 105 km dari Kota Solo itu kini banyak dikunjungi penikmat durian tiap akhir pekan. Â
Sebelum datang ke Dusun Pogog di Desa Tengger, Kecamatan Puhpelem, mereka biasanya menghubungi terlebih dahulu Kelompok Tani Ngudi Mulyo Pogog untuk memastikan mereka masih kebagian durian atau tidak. Durian varietas montong itu memang dijual melalui satu pintu demi mempermudah penjualan para petani dan mengantisipasi persaingan harga.
"Nanti para petani laporan lewat grup Whatsapp. Hari ini saya ada jatuhan lima butir, misalnya. Kami kalkulasi. Lalu kami tawarkan kepada pelanggan melalui status Whatsapp," tutur Ketua Kelompok Tani (Poktan) Ngudi Mulyo Pogog, Rimo, seperti dikutip laman Solopos.
Advertisement
Istilah jatuhan cukup populer di kalangan petani Pogog. Sebab, durian yang dinikmati pelanggan seluruhnya adalah durian yang matang di pohon dan diambil ketika jatuh dengan sendirinya. Tak ada pencurian di sana. Sebab, ada kesepakatan di antara petani durian yang jatuh di tegalan diberikan kepada pemiliknya.
 "Kalau pelanggan bilang, di sini lebih manis. Kendati sama-sama montong. Kalau daging, jelas tebal," tutur dia.
Dalam sehari bisa ada 5-10 durian jatuhan. Tentunya, jumlah itu jauh lebih sedikit ketimbang permintaan. Oleh karena, anggota kelompok tani harus standby agar bisa segera menghapus status WA begitu durian habis karena sudah dipesan. Bahkan, ada juga yang memesan saat durian masih di pohon, belum jatuh. "Jadi kalau enggak memesan dulu, enggak dapat," imbuh Rimo.
Tingginya permintaan itu membuat petani mengambil langkah strategis. Pada 2013-2014 saat panen perdana durian, banyak orang berdatangan ke Pogog harus kecewa akibat enggak kebagian durian. Petani kala itu mulai menerapkan pembatasan jumlah buah di pohon dengan tujuan dihasilkan buah dengan ukuran besar dan berkualitas. Tak heran jika ada durian beratnya 10 kilogram per butir.
Pembatasan Buah
Pada 2015, pembatasan buah dilonggarkan dengan harapan ketersediaan buah makin banyak. Efeknya, buah yang dihasilkan lebih kecil. Kini, rata-rata durian Pogog memiliki berat sekitar 5 kilogram per butir dan dijual dengan harga promosi Rp45.000 per kilogram.
Kini, upaya pembatasan kembali diterapkan seiring mulai banyak orang menanam durian di Pogog. Durian kali pertama ditanam pada 2009 dari bantuan 1.000 bibit durian super unggul oleh sukarelawan asal Gawok, Sukoharjo, Jumali Wahyono Perwito atau yang akrab disapa Mas Jiwo Pogog. Setelah panen perdana pada 2013, orang mulai ramai menanam durian dengan dana swadaya. Tren itu terus berlangsung hingga kini bahkan menyebar ke luar Pogog.
Di Pogog, kini ada 500-an pohon yang panen dari ribuan pohon durian yang ditanam. Pohon durian tidak berbuah secara serentak karena faktor perawatan, kesuburan tanah, ketersediaan air, dan lainnya.
Warga Dusun Krapyak, Desa Tengger, Suyono, 48, mengaku tertarik untuk menanam pohon durian setelah melihat hasil durian di Pogog. Ia dan teman-temannya di Krapyak lantas berinisiasi untuk menanami tegalan dan pekarangan mereka dengan pohon durian Pogog.
Warga Krapyak banyak yang menanam duria varietas lokal namun buahnya tak sebagus durian Pogog. "Kami sekarang banyak menanam durian Pogog di Krapyak dalam dua tahun terakhir. Tapi belum berbuah dan ada yang mati. Sebab, penanamannya belum sesuai SOP. Mungkin tiga tahun lagi bakal panen di sana," kata Suyono.
Baca juga berita Solopos.com lainnya di sini.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini: