Liputan6.com, Blora - Kasih ibu sepanjang hayat, begitu kira-kira ungkapan seseorang yang mengerti dan mengetahui perjuangan ibu. Begitu pun dengan Siti Suntari. Dia menyerahkan jiwa dan raganya untuk merawat anaknya, Candra, yang mengalami lumpuh.
Selama 15 tahun itu, sejak anaknya lahir dengan kondisi tidak sempurna, Siti mencurahkan perhatiannya untuk membesarkan Candra hingga saat Siti dipanggil Tuhan pada Rabu, 15 Mei 2019, lalu. Gurat sedih pun terlihat dari wajah Candra yang tidak mampu bergerak. Rasa kehilangan begitu nyata bergelayut dalam dirinya.
"Meskipun Candra cacat, tampaknya ia bisa mengerti kalau ibunya sudah meninggal. Gelagatnya menunjukkan raut wajah yang tak seperti biasanya," kata Ketua RT 4 RW 2 Plosorejo Ali Mustain, tetangga Siti Suntari, saat Liputan6.com berkunjung pada Minggu (19/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Siti Suntari meninggal dalam usia 40 tahun. Ia telah mendedikasikan 15 tahun untuk merawat putranya yang lumpuh. Candra adalah anak laki-laki pertamanya. Sementara anak keduanya adalah perempuan. Siti Suntari semasa hidup merawat anaknya yang lumpuh sendirian. Sedangkan sang suami, harus bekerja membanting tulang sebagai kuli bangunan.
Candra memiliki kondisi fisik yang tak biasa. Dia mengalami bak mayat hidup yang tak bisa berbicara, jalan, atau bergerak. Dia hanya bisa minum air putih dan menelan sayur seperti bayam, wortel yang telah dibubur atau dihaluskan.
Kondisi tersebut membuat siapa pun akan merasa iba. Pada kasus Candra, fisiknya seperti anak kurang gizi. Sekujur tubuhnya kecil ibarat tulang yang hanya dilapisi kulit.
Rusta, ayah Candra, menceritakan keadaan keluarganya setelah ditinggal sang istri, ia merawat anaknya dibantu mertuanya yang sudah lansia dan adik iparnya.
"Merawat Candra, saya sekarang seringnya dibantu mertua dan adik ipar saya," ungkap Rusta, kepada Liputan6.com.
Ayah Candra yang bekerja menjadi kuli bangunan mengaku kesulitan mencari nafkah ketika pikirannya terbagi untuk mengurus anaknya yang berkebutuhan khusus. Kini, dirinya hanya bisa pasrah menunggu uluran tangan dari para dermawan yang bersedia membantunya.
Ali Mustain, menjelaskan Candra sehari-harinya bersama mertua Rusta. Bocah lumpuh itu tetap dirawat meskipun sudah tidak bisa disembuhkan.
"Hari-harinya Candra, tak mampu mengunyah nasi, makannya pakai sayuran seperti bayam, wortel dihaluskan agar bisa ditelan," katanya.
Ali melanjutkan, dirinya sudah berkoordinasi dengan pemerintah Desa Plosorejo agar keluarga Rusta mendapatkan sedikit uluran kesejahteraan sosial dari Desa.
"Melalui istri saya, sudah saya upayakan agar keluarga Candra mendapatkan bulanan dari desa, tetapi hingga kini belum ada respon," Ali mengeluhkan.
Antara Mitos dan Fakta Medis
Sebelum meninggal, sekitar bulan November 2018 lalu, Siti Suntari pernah diberi sedikit bantuan sosial sejumlah Rp 7.802.000 dari Baznas Kabupaten Blora. Dana bantuan dari masyarakat dermawan itu digunakan membangun sebuah rumah sederhana untuk keluarga Siti Suntari.
Namun siapa sangka, di balik pendirian rumah tersebut, Khoirul Mahmudi, adik kandung Siti Suntari, mengatakan, ternyata tumibo geni saat mendirikan tempat tinggal.
"Tumibo geni, jika orang Jawa menganggap hari tidak pas mendirikan rumah," kata Khoirul.
Menurut Khoirul, celaka akan datang jika waktu maupun hari tidak pas dipakai untuk mendirikan suatu tempat tinggal. "Blora memang demikian, pathokan Jawa jangan ditinggal," Khoirul menambahkan.
Mitos tersebut, menurut cerita Rusta, suami Siti Suntari, sebelum istrinya meninggal kejadian aneh dialami. "Hari Jumat sebelum ibunya Candra meninggal, waktu dia sedang tidur diseret buto ijo (mahluk halus)," Rusta menceritakan.
Bisa dideskripsikan, mitos sakralnya suatu tempat memang benar adanya. Diceritakan pula oleh tetangganya, Aminah, awalnya Siti Suntari seperti gondongan (bagian dekat leher membesar). "Kayaknya terkena dari rumahnya. Awalnya tidak apa-apa," katanya kepada Liputan6.com.
Selama 3 hari 2 malam Siti Suntari dirawat di rumah sakit yang ada di Blora. Ketua RT setempat mengatakan Siti Suntari mengalami gagal ginjal. "Tampak kaki, tangan, dan lehernya membengkak," kata Ali Mustain.
Lanjut dia, bahasan kedokteran menganggap seperti itu. "Jika dikaitkan dengan hal yang disampaikan Khoirul (Adek Siti Suntari) juga bisa. Orang Jawa ada pathokan-nya," katanya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement