Cerita Seorang Muhalil, Suami 5 Menit dalam Perkara Talak Tiga

Pelajarannya, agar suami tak mudah berucap talak kepada istrinya.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 05 Jul 2019, 02:00 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2019, 02:00 WIB
Pernikahan
Suasana salah satu acara pernikahan di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. (Liputan.com/Musthofa Aldo)

Liputan6.com, Bangkalan - Mohri* (bukan nama sebenarnya), seorang guru di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, mendapat nama baru di belakang namanya menjadi Mohri Muhalil. Nama baru itu disematkan teman-teman dekatnya sejak tiga bulan lalu, setelah menjadi suami kilat, hanya lima menit. 

Dalam ilmu fikih, muhalil adalah istilah bagi suami kedua dalam perkara wanita yang ditalak tiga (satu waktu) atau ditalak tiga kali (beda waktu) oleh suami pertamanya. 

Bila setelah jatuh talak si suami pertama menyesal dan ingin rujuk lagi, maka si istri harus menikah dengan orang lain yang disebut muhalil. Kalau tidak menikah dengan muhalil, si suami sampai kapan pun tak boleh rujuk lagi. Dan Mohri tak menyangka akan mengalami peristiwa langka itu. 

Ketika Liputan6.com meminta izin menuliskan pengalamannya itu, pria 40 tahun itu mengajukan syarat tak ingin disebutkan nama juga tempat tinggalnya. Mohri beralasan, di desa, pepohonan seolah punya telinga, sehingga peristiwa apa pun mudah terendus, termasuk kasus muhalil. 

"Istri dan keluarga saya tidak tahu. Kalau sampai tahu bisa terjadi kiamat kecil," kata Mohri, Kamis, 4 Juli 2019. 

Pengalaman Mendebarkan

Pernikahan
Pernikahan di Kabupaten Bangkalan jarang memakai kursi. Para tamu biasa duduk lesehan. (Liputan.com/Musthofa Aldo)

Pengalaman menjadi muhalil terjadi pada Februari 2019 lalu. Mohri ditelepon teman karibnya, Hamim. Mereka tinggal di satu kecamatan, tetapi beda desa. Inti dari pembicaraan lewat telepon itu, Hamim mengaku menyesal telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya dan ingin rujuk lagi. Namun, tak bisa langsung dilakukan karena terhalang hukum dalam agama Islam. 

"Saya minta tolong, nikahilah istri saya," kata Mohri menirukan ucapan Hamim. 

Mohri tentu tak langsung mengiyakan. Sebagai lulusan pesantren, dia tahu muhalil bisa disebut "suami pura-pura". Namun, ada kewajiban, yaitu harus di-duhul atau harus terjadi hubungan suami istri sebelum si wanita ditalak lagi. Kalau tak terjadi hubungan badan, maka hukum akad nikah adalah fasik dan mendapat dosa besar. 

"Kalau soal itu (jimak) urusan belakang," ujar Hamim. Mendengar Hamim legawa, Mohri pun setuju. 

Maka esok harinya, akad nikah berlangsung di rumah Hamim. Seorang kiai membimbing akad nikah itu dan keluarga Hamim menjadi saksinya. 

"Hati saya tak pernah seberdebar malam itu, jadi serba dilema," kenang Mohri. 

Namun tak dinyana, lima menit kemudian Mohri langsung menceraikan si wanita, setelah tahu ternyata masa iddahnya belum sampai tiga bulan sejak terjadi talak. Menurut Mohri, wanita yang masih dalam masa iddah tak boleh dinikahi. 

"Sejak malam itu, saya tak tahu situasi mereka. Cuma saya dengar kabar, mereka sudah menikah, jadi suami istri lagi," dia menandaskan

*) Nama dalam artikel ini sengaja disamarkan, demi menjaga keharmonisan rumah tangga narasumber. 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya