Liputan6.com, Bangkalan Ketika anaknya meninggal pada 2016 diusia 8 bulan karena dehidrasi akut, Rahmat masih belum menganggap penting [imunisasi] (395529 ""). Setahun berselang, barulah pemuda 30 tahun ini menyadari pentingnya munisasi, ketika adik iparnya yang masih balita, meninggal dunia karena hal sama yaitu dehidrasi.
"Dehidrasi dipicu demam tinggi selam tiga hari, lalu kemudia berlalu dan tak bisa ditolong," kenang Rahmat kompilasi ditemui di sebuah kafe di Desa Socah, Senin Juni lalu.Â
[bacajuga: Baca Juga] (3948967 3948341 3922247)
Advertisement
Maka, ketika istrinya Fatimah hamil kali kedua. Rahmat langsung membawa anaknya ke bidan untuk [diimunisasi] (395529 "") lengkap, beberapa hari setelah lahir pada Februari 2018. Dia tak ingin lagi merasakan pedihnya di tinggal mati seorang anak.
"Dulu, waktu anak pertama, mertua gak ngebolehin anak saya diimunisasi karena pasti panas dan rewel. Saya manut saja. Tapi ternyata itu keliru" kata perkembangan Universitas Surabaya ini.
Sikap 'bermusuhan' terhadap imunisasi seperti mertua Rahmat, masih jamak dijumpai di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Tidak hanya membahas keluarga, tetapi kadang-kadang merembet ke revisi lembaga pendidikan.
Pada tahun 2018, sekolah di Kecamatan Modung menolak siswanya diimunisasi campak, difteri dan rubella oleh petugas puskesmas. Soal imunisasi, Para murid wali, lebih lanjut meminta pendapat pimpinan lembaga pendidikan, persetujuan meminta dalih-dalih kesehatan dari petugas medis tentang tunjangan [imunisasi] (395529 "").
alasan Menolak
SMP Bani Muqiman Desa Pakong, salah satu sekolah yang menolak siswanya diimunisasi, dengan dalih alih kegiatan belajar mengajar.
Ahmat, kepala sekolah Bani Muqiman, menuturkan kompilasi petugas imunisasi datang, banyak siswa yang melepaskan diri dan pulang. Sebelum diumumkan sehari sebelumnya, para siswa pasti banyak bolos sekolah keesokannya.
Belum lagi jika ada siswa yang sakit setelah diimunisasi. Pesta sekolah yang harus menentang dan meredam protes dari wali murid. Sementara petugas medis tidak tahu menahu akan mempengaruhi yang demikian.
"Kadang wali murid tidak hanya protes. Kita sudah dimarahi, dipindahkan pula ke sekolah lain, rugi dua kali," tutur dia.Â
Maka, kompilasi ada program imunisasi campak dan rubella pada 2018 lalu. Ahmat memilih untuk menghindari petugas medis yang ingin menemuinya untuk meminta data jumlah siswa untuk diimunisasi.
"Petugas medisnya enak, selesai nyuntik, selesai pula urusan. Tapi kitalah yang ketiban perbaikannya, lebih-lebih terjadi sesuatu," ungkap dia.
SMP Nurul Huda juga di Pakong, termasuk yang menolak imunisasi. Zairosi, Ketua Yayasan Sekolah mengatakan yang menolak imunisasi adalah wali murid.
Ketika petugas puskesmas datang ke sekolahnya, dia menyilakan mereka meminta izin langsung ke wali murid yang sengaja datang ke sekolah begitu tahu ada imunisasi. Dan semua wali murid kompak ditolak.
"Kalau gak mau, jangan boleh disetujui, kan begitu," tutur dia.
Zairosi pun mengeritik cara-cara petugas medis yang ia anggap tidak simpatik dan memerintah dadakan. Dia mencontohkan, imunisasi biasanya dimulai dengan jumlah siswa di setiap sekolah. Tugas ini dibebankan pada bidan desa. Namun terkadang bidan yang malas tidak meminta data sendiri, meminta bantuan perangkat desa.
Dua atau tiga hari kemudian, tim imunisasi puskesmas akan datang ke sekolah. Saat menerima, surat menyetujui imunisasi baru dikirimkan ke pihak sekolah.
Bagi Zairosi, cara demikian tidak simpatik. Mestinya, kata dia, sebelum imunisasi harus ada pertemuan dengan sekolah dan wali murid. Di forum itu, petugas medis menjelaskan tujuan dari imunisasi itu termasuk pertimbangannya untuk siswa.
Petugas medis juga harus tahu tentang kesehatan siswa, agar tahu apakah imunisasi itu berefek buruk atau tidak diberikan pada siswa yang membutuhkan penyakit tertentu.
Jika ada sesuatu yang terjadi, Zairosi ingin pertanggungjawaban petugas medis. Sebab, kata dia, saat itu di beberapa daerah ramai pemberitaan tentang siswa yang ditinggal usai disuntik imunisasi.
"Semua harus jelas diawal, jika terjadi apa-apa siapa yang bertanggung jawab. Karena selama ini, jika terjadi sesuatu, petugas medis melepaskan tangan," ungkap dia.
Zairosi pun bertanya-tanya, mengapa program imunisasi tidak pernah usai. Padahal hampir setiap tahun pemerintah menyelenggarakan imunisasi.
Â
Advertisement
Bangkalan KLB Difteri
Â
Peristiwa yang terjadi di Modung selama medio 2019, muncul menjawab pertanyaan Zairosi. Dinas Kesehatan Bangkalan mencatat hingga Juni mencatat dua anak di Modung suspec difteri. Dan salah satunya meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.
Mereka adalah Dafa dan Asril, masing-masing menghadiri 7 dan 6 tahun. Dafa asal Desa Alaskokon, sedang Asril asal Desa Nongsereng. "Yang meninggal Dafa, sedang Asril, masih dalam pantauan," kata Sudiyo, Kepala Dinas Kesehatan Bangkalan, Kamis, 4 Juli 2019.Â
Sudiyo mengistilahkan kasus Dafa sebagai sakit kiriman. Sebab Dafa lama hidup di Surabaya ikut orang tuanya. Begitu usianya cukup masuk sekolah, Dafa berangkat pulang ke Modung dan sekolah di sana.
Suatu hari, Dafa jatuh sakit. dari beberapa kali pemeriksaan di puskesmas hingga rumah sakit di Bangkalan, hasilnya dinyatakan positif positif difteri. Dafa belum sempat dipahami di RSUD dr Soetomo Surabaya namun tak tertolong.
Pasca meninggalnya Dafa, Dinas Kesehatan langsung mengembalikan dan memastikan tak ada orang lain tertular. Diantaranya diskusi tentang kontak penderita sosial dengan Lingkungan sekitar. Mulai dari keluarga, tetangga, teman sepermainan dan teman sekolah telah disuntik difteri.
"Satu kampung sudah kami imunisasi semua," katanya.
Selain suntik, warga juga diberi imunisasi tetes. Namun menurut Sudiyo banyak yang menolak imunisasi tetes itu karena rasanya tidak enak dan beberapa menentang mual di lambung.
Orang Tua Dafa, belum pernah tertular, namun hasil pemeriksaan terkahir di Surabaya diterima negatif.
"Setelah Dafa, ada Asril yang dibuka terserang difteri. Pemeriksaan awal positif tetapi kemudian negatif, kondisinya terus kami pantau, perkembangan terakhir mau memulai lagi," kata dia.
Jika melihat statistik, kasus difteri Bangkalan tahun 2019 jauh menurun. Penyebab selama 2018 diterbitkan 14 kasus terjadi di Bangkalan, sementara hingga pertengahan tahun ini hanya dua kasus.
"Walau menurun, tetap statusnya KLB, memang begitu aturannya," ungkap dia.