History of Java, Kekunoan dalam Balutan Kekinian

Pengunjung bisa berinteraksi dengan benda-benda yang dipamerkan dan dengan teknologi Aughmented Reality bisa berswafoto menjadi seakan nyata.

oleh Wisnu Wardhana diperbarui 21 Agu 2019, 21:30 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2019, 21:30 WIB
History
Pengunjung bisa berswafoto sebagai bagian sejarah di ruang diorama. (foto: Liputan6.com/wisnu wardhana)

Liputan6.com, Bantul - Sebuah ruangan berbentuk hall, di dindingnya tergambar beberapa gambar realis dengan properti tiga dimensi bernafas kekunoan. Satu keluarga terlihat mengenakan busana adat Jawa Tengah berpose di beberapa spot gambar yang ada di dinding tadi.

Ruang tersebut bukan ruangan di mall atau photobooth di salah satu restoran, namun sebuah ruang edukasi interaktif di sebuah museum di Yogyakarta. History of Java.

"Biasanya anak muda lebih suka konten interaktif di sini," kata Dimas Rival, salah satu Story Teller di History of Java.

Bangunan gedung museum History of Java berbentuk unik. Namun sebagaimana museum, mendisplay benda benda sejarah sebagai edukasi dan literasi. Benda yang dipamerkanpun bukan benda yang tak menarik, mulai dari patung gerabah penjaga makam dari masa sebelum masehi hingga artefak kerajaan Jawa di masa modern.

Pembedanya adalah alur pengunjung yang sengaja disuguhkan dengan konten bersifat kronologis sehingga mudah difahami. Content caption bukan hanya menuturkan fisik benda, namun juga cerita sejarahnya. Story Teller juga disiapkan untuk mendampingi pengunjung dan menjawab pertanyaan.

"Tujuan kami untuk memudahkan pengunjung lebih mengerti kekayaan budaya Indonesia, terutama di pulau Jawa ini," kata staff Operasional museum, Yenny Dwiwati.

History of Java memfokuskan konten yang ada di museumnya dengan Sejarah dan budaya di Pulau Jawa. Banyak yang mengira bahwa History of Java ini berhubungan dengan buku tulisan Raffles yang memang melegenda dengan judul yang sama.

"Tidak berhubungan. Kami hanya ingin mengambil impresi buku tersebut untuk menghidupkan museum," kata Yenny.

 

Tumpeng dan AR

History
Bentuk bangunan Museum History of Java yang unik merupakan simbol gunungan atau tumpeng khas Jawa. (foto: Liputan6.com

Bentuk bangunan menyerupai piramida merupakan aplikasi bentuk dari gunungan wayang dan tumpeng. Museum History of Java memanfaatkan teknologi pada Education board dalam bentuk Augmented Reality.

Marketing Communicator d’Topeng Kingdom, Elly Halsamer, mengakui bahwa pemanfaatan teknologi ini sengaja dilakukan di semua museum yang dikelola oleh d’Topeng Kingdom termasuk History of Java.

"Kami sudah mengelola 4 Museum termasuk History of Java. Keempat museum ini memang memanfaatkan teknologi untuk mendukung display konten museum," kata Elly.

Dengan aplikasi yang bisa diunduh di peramban google, pengunjung bisa memunculkan benda dalam education board secara tiga dimensi kemudian berswafoto menggunakan aplikasi itu. Teknologi Augmented Reality ini memang menjadi salah satu hal yang cukup diminati pengunjung.

Raisa, salah satu pengunjung mengajak teman-temannya untuk mengunjungi museum ini setelah tahu adanya teknologi AR serta photobooth di museum ini.

"Tak sekadar selfie, di tiap selfie juga ada edukasinya," katanya.

Simak video pilihan berikut :

 

Penjelasan Konten Dewasa

History
Story telling yang ramah pengunjung anak menjadi salah satu kekuatan History of Java. (foto: Liputan6.com / wisnu wardhana)

Salah satu kekuatan yang dirasakan saat mengunjungi museum ini adalah pada kekuatan cerita yang dituturkan oleh Story Teller yang disediakan museum. Story Teller yang disediakan sudah menguasai public speaking dan personal relationship.

"Seluruh staff juga diberikan garis tegas untuk berusaha ramah anak termasuk dalam menerangkan isi konten," kata Elly.

Kebijakan ramah anak bukan hanya dengan sikap namun dalam memberikan pengertian konten ini diakui oleh Lukman, warga Jakarta yang mengunjungi History of Java ini, sebagai salah satu hal yang sangat positif.

"Cukup terkesan saya, ketika story teller hendak menerangkan muatan konten yang belum pantas diketahui anak saya, dia menanyakan lebih dahulu kepada saya sebagai orang tua anak tersebut," kata Lukman, salah satu pengunjung.

Sigit, warga Karanganyar mengusulkan agar semua museum menyediakan story teller agar tak gagap menjelaskan konten yang diberikan jika memang belum layak diketahui anak-anak.

"Ini menjadi sangat penting bagi para guru yang akan melanjutkan diskusi nantinya di kelas, ataupun bagi orangtua di rumah," katanya.

 

Kekinian era Kuno

History
Augmented Reality menjadi teknologi pendukung konten yang menarik pengunjung. (foto: Liputan6.com/wisnu wardhana)

Menjadi pemeran sejarah dalam swafoto dimungkinkan dilakukan oleh pengunjung karena pengelola menyediakan kostum yang sesuai dengan konten diorama secara gratis. Raisa bahkan sudah membawa sendiri lurik dan batik yang dia kenakan semenjak masuk museum karena mengetahui adanya foto diorama setelah membrowsing History of Java sebelum mengunjunginya.

"Biar nggak ngantri dan yang dipakai juga pas di badan saya," katanya.

Story teller yang bertugas mengenakan busana tradisional tiap Kamis Pahing, sehingga tak jarang malah pengunjung meminta story teller ikut berfoto bersama.

Fifi mengaku di museum ini, mempelajari sejarah pulau Jawa jauh dari kesan suram dan seram seperti yang dirasakannya ketika mengunjungi beberapa museum lain.

"Menyenangkan, kita belajar kekunoan dengan cara kekinian," kata Fifi.

Apa yang dilakukan oleh museum yang terletak di jalan Parangtritis KM 5,6 Bantul, DIY ini, setidaknya menjadi angin segar bagi wisata edukasi di Indonesia. Pengunjungpun bisa memperoleh pengalaman wisata yang menyenangkan sekaligus mendapatkan pengetahuan,

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya