Liputan6.com, Jakarta - Jelang malam 17 Agustus 1945, rumah yang kini berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat, menjadi tempat tersibuk para pendiri negara. Sebanyak 29 orang tokoh nasional memenuhi ruangan di lantai 1 yang menjadi kediaman Laksamana Maeda Tadashi pada masa itu. Mereka berkumpul untuk merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Para tokoh nasional tiba di bangunan bergaya art deco tersebut sekitar pukul 22.00 WIB, setelah peristiwa Rengasdengklok. Mereka diterima oleh Maeda yang menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang di ruang tamu. Oleh museum, ruang tersebut kini dinamai sebagai Ruang Pertemuan.
Setelah diizinkan, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo beranjak ke ruang makan yang berisi meja panjang. Di salah satu sudut meja itulah mereka mengotak-atik kata, merumuskan naskah proklamasi. Salinan tulisan tangan Bung Karno dicetak dalam ukuran besar dan dipajang di salah satu dinding ruangan itu yang kini dinamai sebagai Ruang Perumusan.
Advertisement
Baca Juga
Setelah ketiganya selesai merumuskan, mereka beranjak ke ruang pertemuan. Menurut Yuni, pemandu Museum Naskah Proklamasi, ruang tersebut kerap digunakan Maeda sebagai tempat rapat sebelum akhirnya dijadikan ruang pengesahan.
Dinamakan pengesahan mengingat di ruang memanjang itu, Bung Karno mengumumkan naskah yang ditulis kepada para tokoh lain yang hadir hingga akhirnya naskah disepakati oleh semuanya.Â
"Orang-orang yang hadir saat itu ada di foto itu," ujar Yuni sembari menunjuk salah satu pajangan dinding, kepada Liputan6.com, Kamis (15/8/2019).
Sayuti Melik ditemani BM Diah lalu mengetik naskah tersebut di ruang kecil yang dulunya berada di dekat dapur. Ruang itu kini dinamai sebagai Ruang Pengetikan. Suara mesin ketik tiba-tiba terdengar dari pengeras suara yang menempel di dinding, mengiringi suara pemandu yang disetel otomatis. Hal itu membawa pengunjung seolah ikut berada di tempat saat naskah proklamasi disusun.
Setelah dari ruangan itu, naskah kembali dibawa ke Ruang Pengesahan. Di tempat tersebut naskah ditandatangani. Sekitar pukul 04.00 WIB, kumpulan orang-orang itu membubarkan diri. Menurut Yuni, ada yang ke hotel, ada yang ke rumah Bung Karno di Pegangsaan, hingga ada yang ke tempat lain untuk menyiapkan upacara proklamasi.
"Selama proses perumusan naskah proklamasi itu, Laksamana Maeda tak mencampuri. Ia kembali ke kamarnya di lantai dua setelah menerima tamunya," kata Yuni.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Teknologi Augmented Reality
Setelah Jepang kalah, Laksamana Maeda dan seluruh stafnya kembali pulang ke negaranya. Bangunan kosong itu kemudian dijadikan Inggris sebagai kantor militer mereka di Indonesia saat datang ke negeri ini memimpin tentara sekutu. Yuni melanjutkan, bangunan tersebut kemudian disewa selama 20 tahun sebagai Kantor Kedutaan Besar Inggris dan sempat pula dijadikan Perpustakaan Nasional.
"Baru pada 1984 diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan resmi dibuka sebagai museum pada 1992," ujarnya.
Tak ada perubahan yang dilakukan pada bangunan tersebut mengingat statusnya sebagai bangunan cagar budaya. Bahkan, cat kuning yang mewarnai kusen dipertahankan seperti semula. Meski begitu, seluruh perabot yang dipajang di museum sekarang tidaklah asli, hanya replika.
"Kita enggak tahu perabotnya ke mana dan kita tak menelusuri itu karena yang terpenting adalah mengembalikan suasana seperti saat perumusan naskah proklamasi. Kita merujuk pada foto-foto dan buku-buku. Kita juga undang Nishi Shima, pengurus rumah tangga Maeda ke Jakarta, untuk mereka ulang kondisi saat itu," kata dia.
Suasana kuno terasa begitu menginjak bagian dalam bangunan yang dirancang arsitek Belanja, JFL Blankenberg itu. Adem terasa berkat pendingin ruangan yang dipasang di sejumlah tempat. Bangunan pun terlihat bersih dan tertata rapi hingga tak ada kesan pengap.Â
Di luar itu, ada yang tak kalah menarik perhatian dibandingkan benda-benda tak bernyawa yang dipamerkan, yaitu keberadaan gambar-gambar yang dipajang di dinding. Nyaris di setiap gambar berlapis kaca itu terdapat tanda panah yang meminta pengunjung menyorotkan scan ke gambar tersebut.
"Kita ingin menepis pandangan bahwa museum adalah tempat konvensional yang kuno, enak untuk pacaran karena sepi. Jadi, kita bikin informasi yang lebih interaktif," ujar Adi Suryanto, pemandu lainnya, pada Rabu, 14 Agustus 2019.
Ternyata, museum menggunakan teknologi Augmented Reality (AR) untuk menghidupkan cerita sejarah di Museum Naskah Proklamasi. Teknologi tersebut sudah diterapkan sejak 2014.Â
"Sudah banyak kok orang yang tahu soal ini, tapi memang belum semuanya. Tapi, yang datang ke sini biasanya sudah tahu," ujarnya.
Untuk mendapatkan fitur museum digital, Anda hanya perlu menggunakan aplikasi Sijiable di ponsel pintar dan memindai foto yang terdapat di setiap ruangannya. Setelah dipindai, Anda akan disuguhkan video penjelasan mengenai foto tersebut walau tidak semua video ternyata bisa diakses. Saat ini, aplikasinya baru dapat diunduh di Play Store.
Perubahan ini disambut positif oleh pengunjung dari Bekasi, Laura. Laura yang sudah pernah berkunjung sebelumnya mengaku kaget akan perubahan pada museum ini karena sudah semakin canggih.
"Selain ada patung dan masing-masing ruangan ada penjelasannya, ditambah lagi sekarang ada aplikasi untuk menjelaskan masing-masing gambar jadi tidak bosan kalau cuma baca. Ada video-video gitu menarik," ujar Laura kepada Liputan6.com.
Selain teknologi AR, museum juga dilengkapi dengan WiFi sehingga memudahkan pengunjung mengunduh aplikasi tanpa perlu memakan kuota pribadi. Untuk semua fasilitas tersebut, harga tiketnya hanya Rp2 ribu. Sangat terjangkau dan bermanfaat, kan? (Novi Thedora)
Advertisement