Grebeg Sura dan Misteri Harimau Jawa di Gunung Slamet

Sekelompok peneliti muda mengaku menemukan bukti bukti adanya spesies ini seperti adanya feses, jejak kaki, hingga bekas cakaran di pohon di lereng Gunung Slamet

oleh Muhamad RidloWisnu Wardhana diperbarui 30 Agu 2019, 01:00 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2019, 01:00 WIB
Vegetasi lereng Gunung Slamet sisi selatan, tepatnya di Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Vegetasi lereng Gunung Slamet sisi selatan, tepatnya di Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Keberadaan sebuah gunung api memengaruhi kosmologi masyarakat di sekitarnya. Mitos, legenda hingga dongeng selalu melingkupi masyarakat yang mengambil berkah di kaki-kakinya. Itu termasuk Gunung Slamet, Jawa Tengah.

Gunung Ini adalah gunung berapi terbesar di tanah Jawa. Kaki Gunung Slamet menjangkau lima kabupaten di sisi utara Jawa, sekaligus sisi selatan. Lima Kabupaten tersebut yakni, Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas.

Mitos yang paling terkenal adalah bahwa letusan Gunung Slamet akan membelah pulau Jawa. Nampaknya mitos itu dipengaruhi letak Gunung Slamet yang nyaris berada di tengah Pulau Jawa. Kaki-kakinya juga menjangkau sisi utara dan sisi selatan sekaligus.

Mitos terbelahnya pulau Jawa itu lambat laun luruh seiring kemajuan zaman. Tetapi, Gunung Slamet tetap Gunung Slamet. Banyak sisi misterius yang tetap tak terpecahkan hingga saat ini, meski puluhan ribu pendaki sudah menjejakkan kakinya di puncaknya setinggi 3.428 Mdpl ini.

Ari Aji, seorang aktivias BUMDes yang juga pemerhati wisata desa mengatakan, gunung ini memang populer di kalangan pendaki, meski ada pula mitos bahwa Gunung Slamet gemar menelan pendaki. Hanya di sisi selatan saja, setidaknya ada tiga jalur pendakian, meliputi Bambangan dan Gunung Tengah, Purbalingga, dan yang terbaru, jalur Baturraden.

Di antara pendaki yang berhasil mencapai puncak, memang ada yang tertimpa kemalangan. Korban meninggal dunia di Gunung Slamet umumnya adalah karena serangan hipotermia. Bisa jadi karena tubuhnya tak fit sehingga tak cukup resisten menahan cekaman suhu dingin.

Bahaya lainnya adalah tersesat di Gunung Slamet. Gunung ini memang memiliki belantara yang tak tertembus. Beragam vegetasi raksasa, hingga semak padat, menjadi benteng utama rimba Gunung Slamet.

Boleh jadi, ini lah yang melindungi Gunung Slamet dari kerusakan akibat perbuatan manusia. Hutan lereng Gunung Slamet adalah hutan lindung terluas di Pulau Jawa. Sebagiannya masih perawan alias tak terjamah.

 

Jejak Harimau Jawa

Gunung Slamet dilihat dari Baturraden, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Gunung Slamet dilihat dari Baturraden, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kekayaan flora dan fauna di wilayah Gunung Slamet juga luar biasa. Bahkan, pada awal Millenium, sempat mencuat isu masih adanya spesies Harimau Jawa yang telah dinyatakan punah.

Sekelompok peneliti muda mengaku menemukan bukti bukti adanya spesies ini seperti adanya feses, jejak kaki, hingga bekas cakaran di pohon di lereng Gunung Slamet. Hal ini sempat menumbuhkan dorongan dari berbagai kalangan untuk menjadikan wilayah ini sebagai Taman Nasional.

Namun hingga kini, keberadaan harimau Jawa secara fisik belum terbuktikan. Spesies kucing besar yang acap kali terlihat hanyalah macan Kumbang dan macan Tutul. Ini adalah keniscayaan mengingat di wilayah ini masih banyak terdapat babi hutan dan rusa yang merupakan makanan dari raja-raja hutan tersebut.

Terlepas dari benar dan tidaknya mitos soal Harimau Jawa tersebut, fakta bahwa Gunung Slamet adalah ekosistem hutan lindung yang luar biasa tak bisa dibantah. Karenanya, secara turun temurun, masyarakat pun secara arif berupaya menjaga dan melestarikannya.

Salah satunya dengan ritual Grebeg Gunung Slamet. Sebuah tradisi wisata dan budaya yang berbalut muatan spiritual.

Ketua Komunitas Radenpala, Irma Anggraeni mengatakan pendakian Grebeg Sura akan tetap digelar meski Gunung Slamet berstatus Waspada atau Level II. Namun, pendakian tak sampai puncak. Ritual pendakian akan dilakukan bertepatan dengan tibanya 1 Muharam, Sabtu petang, 31 Agustus 2019.

Sesuai dengan izin yang diberikan oleh Perhutani, pendakian untuk ritual Grebeg Sura hanya sampai Pos 1. Jarak antara Pos 1 dengan puncak masih empat kilometer, atau di luar zona berbahaya yang ditentukan oleh PVMBG.

"Grebeg Sura akan tetap dilakukan. Karena itu memang sudah tradisi," ucapnya, Senin, 26 Agustus 2019.

 

Ritual Pelestarian

Ruwat Curug Cipendok, Cilongok, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Perhutani/Muhamad Ridlo)
Ruwat Curug Cipendok, Cilongok, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Perhutani/Muhamad Ridlo)

Di Pos 1 atau Pos Kaliandra, peserta akan menggelar ritual zikir atau tahlil dan selamatan. Adapun pendakian ke puncak, sekaligus ritual sesaji ditiadakan.

Ritual pendakian diawali dengan laku bisu sejak pemberangkatan dari Pos Baturraden. Laku bisu adalah ritual mendaki tanpa bersuara. Sesampai di Pos 1, mereka akan menggelar dzikir, tahlil dan selamatan.

Menurut Irma, ditiadakannya pendakian ke puncak dalam rangkaian Grebeg Sura tidak mengurangi makna Grebeg Sura di Gunung Slamet. Sebab, tujuan ritual pendakian memang untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan.

"Memang untuk level waspada ini, kita mendaki di radius aman. Yang akan kita ambil kan memang, tujuannya mensyukuri nikmat Allah ya, dengan cara berdzikir. Di sana kan ada tahlilan juga, disertai dengan selamatan," dia menjelaskan.

Irma Anggraini menerangkan, Grebeg Sura adalah tradisi untuk mensyukuri berkah dari Tuhan. Di atas ketinggian Gunung Slamet, masyarakat berzikir untuk mengingat kebesaran Allah. Acara ini telah menjadi tradisi tahunan yang harus dilestarikan.

Menurut dia, tradisi itu akan menjadi bagian penting upaya pelestarian Gunung Slamet. Grebeg Sura digelar sejak tahun 2003, pada masa Juru Kunci Gunung Slamet, Mbah Syamsuri (Alm).

Rencananyanya ritual Grebeg Sura Gunung Slamet bakal diikuti oleh sekitar 60 orang. Rinciannya, 30 orang anggota Radenpala sebanyak 30 orang dan sisanya adalah masyarakat yang ingin turut mendaki pada malam 1 Sura.

Pada 2 Muharam atau Minggu, 1 September 2019, peserta juga akan menggelar dialog mengenai upaya konservasi Gunung Slamet. Selanjutnya, peserta akan menanam pohon di sekitar Pos Kaliandra.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya