Liputan6.com, Bangkalan - Orang Madura menyambut bulan Muharam, tahun baru Islam dalam penanggalan Hijriyah, dengan menanak bubur. Tradisi ini merupakan bukti bahwa kuliner menjadi bagian penting penyempurna ritual dalam kebudayaan Madura.
Tepat pada malam satu Muharam atau malam satu suro dalam penanggalan Hijriah, para ibu akan memasak bubur alias tajin. Di Kabupaten Sumenep bubur ini disebut Tajin Sorah (tajin suro), sedangkan di Kabupaten Bangkalan disebut Tajin Peddis (tajin pedas). Kuliner ini serupa tapi tak sama.
Advertisement
Baca Juga
Menurut cerita yang dituturkan secara temurun, tradisi masak tajin muncul untuk mengenang Nabi Nuh AS, salah satu nabi yang umatnya dibinasakan dengan banjir bandang. Dan Nuh berikut pengikutnya yang percaya selamat karena berlindung dalam kapal di atas bukit.
Setelah banjir surut, Nabi Nuh bertanya pada kaumnya, apakah ada sisa makanan. Mereka semua menjawab 'ya', lalu menyerahkan semua sisa makanan untuk dimakan Nabi Nuh.
Peristiwa selamatnya Nuh dan kaumnya dipercaya terjadi pada bulan Muharam. Maka, orang Madura memasak tajin untuk mengenang peristiwa itu sekaligus ungkapan rasa syukur atas nikmat Tuhan. "Begitulah cerita yang dituturkan orang-orang tua dulu," kata Zaini, warga Kabupaten Bangkalan, Kamis, 29 Agustus 2019.
Tajin Peddis
Orang Madura punya istilah lokal sebagai pengganti nama-nama bulan dalam kalender Hijriah. Di Bangkalan, mungkin nyaris tak ada tahu nama bulan Muharam. Sebab sejak mereka lahir, Muharam telah diganti menjadi bulan jinpeddis. Sedangkan, bulan Safar lebih familiar disebut jinmera.
Nama pengganti bulan merujuk pada kebiasaan dan tradisi masyarakat pada bulan itu. Jinpeddis adalah sinonim dari Tajin Peddis yang dalam bahasa Indonesia bermakna Bubur Pedas. Karena pada awal Muharam, warga biasanya menyambutnya dengan memasak bubur pedas.
Sedangkan, jinmera sinonim dari Tajin Mera atau bubur merah dalam bahasa Indonesia. Disebut demikian karena orang menyambut peralihan Muharam ke Safar dengan menanak bubur merah.
Dan meski disebut pedas, rasa tajin peddis sama sekali tidak pedas. Embel-embel pedas muncul karena ada sedikit irisan cabai merah besar sebagai topping bubur.
Rasa bubur ini justru gurih karena beras dimasak menjadi bubur lalu disiram dengan santan kelapa. Selain irisan cabai, ada juga sedikit irisan telur dadar, kacang ulek, sambal goreng tempe, dan seledri serta kecambah kecil.
"Meski resepnya sama, bubur ini aneh, karena beda tangan beda rasanya," tutur Soleh, warga Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan.
Advertisement
Tajin Sorah
Orang Sumenep juga merayakan satu suro dengan memasak bubur yang disebut Tajin Sorah. Di sana, bulan Muharam disebut bulan sorah, nama yang diserap dari kata Suro, istilah permulaan bulan Muharam dalam tradisi Jawa.
Tajin Sorah berbeda dengan tajin Peddis Bangkalan. Saat disajikan, tajin Sorah diberi kuah santan, tetapi untuk toppingnya nyaris tak ada beda. Jadi dari tampilannya, tajin sorah berkuah, sementara tajin peddis tidak berkuah karena air santannya menyatu dalam bubur.
Malam satu suro jadi ajang kumpul keluarga di rumah orangtua. Para perempuan akan menanak bubur di dapur. Selesai masak tajin dibagikan ke tetangga sekampung juga kepada guru ngaji di kampung itu. Sisanya dimakan bersama dengan keluarga besar.
"Pesan dari tradisi ini, jangan lupa berbagi baik sedang susah atau pun senang. Kita juga harus baik pada tetangga, karena kalau ada apa-apa, anak dirantau tak bisa langsung menolong. Tapi tetanggalah yang datang menolong duluan," ungkap Halimah Salafiyah, Warga Desa Ganding, Kabupaten Sumenep.
Â
Simak video pilihan berikut ini: