Jejak Kejayaan Kereta Api Kuno di Kaki Gunung Dieng

Artefak kekal jejak kereta api kuno yang nampak hingga kini adalah pasar-pasar di Banjarnegara yang telah berusia nyaris seabad dan masih bertahan

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 20 Okt 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2019, 00:00 WIB
Jembatan Klawing, jejak peninggalan kolonial membangun kerajaan bisnis perkebunan tebu atau ‘Suikerfabriek’ di Purbalingga dan Banjarnegara. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Jembatan Klawing, jejak peninggalan kolonial membangun kerajaan bisnis perkebunan tebu atau ‘Suikerfabriek’ di Purbalingga dan Banjarnegara. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Liputan6.com, Banjarnegara - Masa kini, tak ada satu pun kereta api yang beroperasi di Banjarnegara. Tetapi, ingatan warga Banjarnegara tentang kereta api kuno masih terawat dengan jejak rel tua di sejumlah wilayah.

Rel-rel kuno itu adalah bukti, pada masa lalu, ada kereta api yang beroperasi di Banjarnegara. Jalurnya membentang mulai dari Purwokerto hingga Wonosobo.

Kereta api kuno pernah begitu akrab dan bahkan membangkitkan perekonomian Banjarnegara masa silam. Pada masa kolonial, Maskapai Kereta Api, Serajoedal Stoomtram Matschapij (SDS) mengoperasikan kereta-keretanya di wilayah yang berada di pegunungan Dieng ini.

Direktur SDM Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Purnawan Basundoro mengatakan, usai dibangunnya jalur-jalur transportasi, saat itu, wilayah-wilayah yang sepi pun pecah dan muncul titik-titik keramaian. Tentu saja, titik keramaian muncul di pemberhentian kereta, seperti stasiun.

Artefak kekal jejak kereta api kuno yang nampak hingga kini adalah pasar-pasar di Banjarnegara yang telah berusia nyaris seabad dan masih bertahan. Dan bahkan, kini pasar-pasar itu menjadi pusat keramaian Banjarnegara.

"Munculnya pasar di Klampok, Purwanegara, Gumiwang, Pucang dan seterusnya, merupakan efek domino adanya jalur kereta api dimana di sana ada halte-halte pemberhentian kereta pada masanya,” katanya, Kamis, dalam peluncuran buku karyanya yang berjudul Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Karsidenan Banyumas 1830-1940an.

Profesionalitas maskapai saat itu juga telah terbentuk. Pada masa kolonial, jadwal kereta api di Jawa tak pernah meleset, walau semenit. Terkecuali terjadi insiden yang sampai menyabkan kereta terlambat.

Pada masa kolonial, moda transportasi kereta api kuno ini begitu digemari masyarakat Banjarnegara. Jutaan penumpang diangkut setiap tahunnya oleh kereta api SDS.

 

Reaktivasi Jalur Kereta Api Kuno Banjarnegara

Bekas gedung utama kediaman Administratur ‘Suikerfabriek’ Kalimanah, Purbalingga, kini menjadi SMA Santo Agustinus. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Bekas gedung utama kediaman Administratur ‘Suikerfabriek’ Kalimanah, Purbalingga, kini menjadi SMA Santo Agustinus. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Beda dengan masa lalu, menurutnya, saat ini masyarakat masih cenderung memakai kendaraan pribadi. Terlebih, bagi masyarakat Banjarnegara yang sudah lama tak menikmati moda transportasi massal ini.

Padahal, pada masa depan, desa-desa akan menjelma menjadi kota. Ketika itu terjadi, maka kekacauan lah yang terjadi jika sistem transportasi yang berlaku masih seperti saat ini.

Jumlah penduduk bertambah. Pun dengan kendaraan pribadi. Bayangkan seandainya seluruh penduduk Indonesia, lebih gemar menggunakan kendaraan pribadi dibanding angkutan massal.

“Ini tentu kaitannya juga dengan pembentukan kultur masyarakat. Untuk menghidupkan lagi kereta api, kita harus mengubah kultur masyarakat" jelas Purnawan, di aula SDN 1 Klampok, Banjarnegara.

Karenanya, ia mendorong agar jalur-jalur kereta kuno di Banjarnegara kembali dihidupkan atau reaktivasi. Masyarakat mesti diajak untuk membangun kultur pemanfaatan moda transportasi massal yang efektif.

Dia pun mendorong agar sistem transportasi massal dibangun semenjak sekarang. Kuncinya adalah kelengkapan infrastruktur pendukung, interkoneksi, dan ketersediaan feeder-feeder dari pedalaman ke pusat moda transportasi massal.

Pegiat Banyumas History and Heritage Society (BHHS), Jatmiko Wicaksono mengungkapkan, Banjarnegara penuh potensi cagar budaya. Jika hal itu tidak dibarengi dengan Perda Cagar Budaya, maka cagar budaya terancam punah.

Perda Cagar Budaya Banjarnegara

Peluncuran buku "Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Karsidenan Banyumas 1830-1940an" dan pelantikan pengurus AGSI Banjarnegara. (Liputan6.com/Heni Purwono untuk Muhamad Ridlo)
Peluncuran buku "Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Karsidenan Banyumas 1830-1940an" dan pelantikan pengurus AGSI Banjarnegara. (Liputan6.com/Heni Purwono untuk Muhamad Ridlo)

Keberadaan rel-rel kuno, stamplat dan stasiun kuno pun tak luput dari ancaman jika tak dilindungi dengan regulasi. Karenanya, ia mendorong agar Pemerintah Kabupaten Banjarnegara menciptakan Perda untuk melindungi cagar budayanya.

"Pemerintah dan masyarakat harus menjaga sejarah. Hal itu dapat dilajukan ketika ada Perda. Sejarah-sejarah lokal adalah pembangun sejarah nasional. Jika cagar budaya yang ada di Banjarnegara hilang, maka akan hilang pula sejarah bangsa,” kata Jatmiko.

Wakil Bupati Banjarnegara, Syamsudin mengapresiasi terbitnya buku "Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Karsidenan Banyumas 1830-1940an". Buku ini merupakan bukti bahwa putra Banjarnegara memiliki peran strategis menyumbang keilmuan untuk masyarakat Banjarnegara.

Dia pun berjanji Perda Cagar Budaya Banjarnegara akan segera ditetapkan. Dia berharap, masyarakat Banjarnegara akan lebih sadar sejarahnya.

“Insyaallah tahun depan akan kita bahas dan tetapkan. Banjarnegara dapat bermartabat dan sejahtera manakala masyarakatnya memiliki kesadaran sejarah, sebagai bekal menghadapi masa depan,” ujar Syamsudin.

Diketahui, peluncuran buku dan diskusi ini digagas oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Kabupaten Banjarnegara, bekerjasama dengan Pemkab, PGRI dan Universitas Airlangga, berbarengan dengan pengukuhan pengurus AGSI Banjarnegara. Sekitar 200 orang hadir dalam peluncuran buku ini.

Dalam kesempatan itu, Syamsudin juga melantik Pengurus Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Kabupaten Banjarnegara. Dia berpesan agar para pengurus AGSI dapat menjadi garda terdepan dalam penyadaran sejarah masyarakat Banjarnegara.

"Kita berharap ada aksi nyata dari organisasi ini, menumbuhkan kesadaran sejarah dengan pembelajaran yang berkualitas. Semoga para pengurus AGSI dapat mewujudkannya,” dia menjelaskan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya