Surat Terbuka untuk Nadiem Makarim dari Guru di Pedalaman Papua

Diana Da Costa, guru muda di pedalaman Papua punya secuil harapan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

diperbarui 07 Nov 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2019, 12:00 WIB
guru muda di pedalaman Mappi
Diana Da Costa bersama dengan siswa di SD Kaibusene, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. (Liputan6.com/Katharina Janur/Diana Da Costa)

Mappi - Namanya Diana Da Costa. Gadis manis berdarah Timor Leste ini memilih mengabdikan hidupnya menjadi guru muda dalam program guru penggerak daerah terpencil di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.

Tahun ini Diana berumur 23 tahun. Guru muda itu lulusan Universitas Nusa Cendana 2017, jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Diana sangat cinta Indonesia. Terbukti saat penentuan jejak pendapat di Timor Leste, ia dan ibunya memilih tetap menjadi warga negara Indonesia dan sang ayah berpindah warga negara menjadi Timor Leste.

Diana berkisah mulai mangabdikan hidupnya di pedalaman Kabupaten Mappi Papua sejak November 2018. Kali pertama menginjakkan kaki di pedalaman Mappi Papua, ia menangis karena anak-anak di kampung itu tak bisa menyebutkan identitas negaranya sendiri.

"Mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6. Paling fatal lagi Pancasila tidak bisa dihafalkan sama sekali," kata Diana kala itu.

Ia menangis, mau di bawa kemana nasib anak Papua?  

Ada sedikit harapan yang digantungkan kepada Menteri Pendidikan yang baru, Nadiem Makarim. Diana pun menulis surat terbuka untuk Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Berikut isi suratnya.

 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Surat Terbuka

guru di pedalaman Papua
Diana dan dua guru lainnya bertahan mengajar di SD Kaibusene, Kabupaten Mappi. (Liputan6.com/Katharina Janur/Diana Da Costa)

Tidak pernah terlintas dibenak saya sebagai seorang guru muda, ketika harus menerima SK tugas di kampung sejuta ikan Gastor dan Betik, sebutan kampung di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Seperti apa kampung itu? Kampung yang jauh, terbelakang, terisolir, ter, ter semuanya kata mereka…..

Jumat, 16 November, saya ingat betul bertolak dari Distrik Asgon (Asue Gondo) Kabupaten Mappi ke Distrik Kaibusene dengan melewati kali besar menggunakan ketinting, sebutan perahu kecil dengan kapasitas penumpang 7 orang.

Sebelumnya, kami berangkat dari Merauke ke Asgon naik Kapal Kokonao selama 3 hari perjalanan melalui jalur sungai yang berkelok-kelok

Apele, sedikit dialek Papua Animha yang sama artinya dengan ya ampun. Perjalanan yang cukup jauh, bertemu dengan ikan gastor yang melompat masuk ke ketinting, bertemu dengan tebu rawa yang cukup menguras tenaga untuk dilewati.

Apele, perjalanan kurang lebih 5 jam, mamayoo. Baru melihat kampung tetangga. Sebenarnya tidak berputar jauh, tetapi musim kemarau kalinya kering sehingga ketinting tidak bisa melewati kali potong okor, maka Asgon menjadi jalur satu satunya menuju ke tempat saya mengajar di Kampung Kaibusene. Lima jam sudah perjalanan dan bunyi mesin, seperti ingin memecahkan telinga.

Akhirnya gapura Pelabuhan Kaibusene mulai nampak. Air mata mulai pelan-pelan jatuh terurai, entah apa yang membuatnya jatuh. Tetapi air mata seolah tak mau kering.

Disini, kehidupan nyata yang berbanding terbalik dari di kota-kota ataupun desa-desa lainnya dapat ditemukan. Di sini, kampung kecil dengan suasana nyaman, aman, damai tenang, sunyi dan sepi.

Kemana masyarakat? ke hutan mencari gaharu dan makanan. Pele, jadi anak sekolah dorang (mereka) dibawa semua ke hutan ? Dimana aktivitas persekolahannya???  Bah, guru cuma seorang diri saja di tambah 1 honorer sekolah yang harus mengajar 100 sekian siswa… mengharukan…..!!!!!! Dimana letak sekolahnya? kurang lebih 500 meter dari sini, bu…

Pele. Yo, mari sudah coba kita kesana. Sio,  Ya Tuhan, air mata harus mengalir lagi, kenapa?? 6 tingkatan kelas cuma ada 3 ruangan? Ya itu nyatanya. Bagaimana pembelajaran tiap hari? Digabungkan kelas 1 dan 2, 3 dan 4, 5 dan 6. Bayangkan 2 orang guru harus menangani 6 kelas dalam 3 ruangan. Apa yang anak didik dapatkan?? Bagaimana nasib generasi berikutnya kalau seperti ini terus ???

Belum lagi ketika guru ada urusan di Kabupaten, anak didik mau tidak mau harus diliburkan. Belum lagi gurunya pergi dengan alasan urusannya berbulan-bulan, siapa yang mau mengajari mereka? Pertanyaannya, mau tidak mau anak-anak ya berkeliling ke hutan, tinggal di lokasi tempat mencari makan dan gaharu mengikuti orangtua mereka.

Saya kembali melihat secarik kertas bertuliskan, Nota tugas no 814.1/2156. a/n Diana Cristiana Da Costa Ati, S.Pd bertempat tugas di Kampung Kaibusene, Kabupaten Mappi Papua. Apa yang  akan saya buat selama 2 tahun? Dalam kurun waktu yang singkat untuk memajukan pendidikan di Mappi sebagai seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT)? Kadang saya dan 2 orang teman guru GPDT, Antonius Tampani dan Indah Rovitha Meyok menghabiskan makan malam kami dengan berdiskusi singkat. Kami semua tak pernah menyangka masih ada kehidupan seperti ini di era reformasi. Ini salah siapa? Menggelengkan kepala dan menarik napas panjang, hal itu yang bisa kami perbuat.

Nyatanya anak-anak Kaibusene tidak bodoh, semuanya bisa hanya ibaratnya pisau yang belum di asah, maka belum tajam.

Anak-anak….. Ko Pu Cita-cita Apa?

Sa (saya) mau jadi dokter, polisi, tentara, guru, suster dan pastor. Sio ko (kamu) rajin belajar di sekolah, ko datang ke ibu pu (punya) rumah, baca buku sore-sore, ko pasti bisa yang jadi ko mau. Jauh dari anak-anak seumuran yang di kota, ketika ditanya  mau jadi apa nanti? mau jadi power rangers, batman dan lain-lain…..

Ya Tuhan…..Mimpi itu LUKA..

11 Januari 2019

Hal paling aneh di Republik ini adalah ketika seorang PNS tidak menjalankan tugasnya bertahun-tahun pun tidak dipecat. Memakan dana BOS besar-besaran karena dirinya beranggapan seorang Bos, tidak juga ditindak, dilanjuti perbuatannya. Padahal bukti fisiknya jelas mengatakan orangnya bersalah. Lalu mengapa semuanya diam dan membisu? Kita memelihara generasi perusak masa depan bangsa. Akankah ini berakhir atau berlanjut? Pertanyaan refleksi untukmu yang terhormat, sampai kapan? Beratus-ratus juta hingga milyaran rupiah uang negara untuk bantuan pendidikan di makan hingga tak tersisa, yang tersisa hanya bangunan yang berpuluh-puluh tahun layaknya gudang atau kandang babi harus ditempati untuk menuntut ilmu, inikah Indonesia???

Ini budaya yang sudah terjadi sebelum atau sesudah Mappi menjadi kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Merauke. Mau dibawa kemana, kalau budaya seperti ini tidak dibasmi? Jangan harap pendidikan yang sejahtera, anak didik ke sekolah tanpa menggunakan seragam, mereka layaknya berpakaian untuk ke hutan tetapi mereka memakainya ke sekolah.

Duduk belajar di bawah lantai tanpa kursi. Mau pakai kursi duduk, kursinya patah. Mau tulis di meja, tetapi saat tulis mejanya bergoyang. “Ibu guru, kami takut patah mejanya,” kata seorang murid.

Mau beli kursi, para kepala sekolah Dana BOS tidak jelas pemakaiannya. Lalu, kenapa Dinas Pendidikan Kabupaten Mappi selalu menyetujui LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) yang dibuat oleh kepala sekolah? Sedangkan pemakaiannya tidak sesuai? Apa ada campur tangan orang dalam dan pejabat sekolah? Wah gawat, sangat disayangkan. Apapun yang mereka gunakan, yang penting mereka mau menuntut ilmu, mau salahkan siapa? Inilah Mappi….

Sekolah ditutup berbulan bulan bahkan tahunan. Guru-guru ke kota dengan alasan mengurus Dapodik (Data Pokok Peserta Didik) dan dana BOS. Padahal, ke kota hanya habiskan dana bos, lalu ke kampung buka sekolah untuk Ujian Nasional.

Itulah Mappi, kebanyakan sekolah dijuluki sekolah UJIAN. Anehnya lagi sewaktu Ujian Nasional setiap siswa dipungut Rp500 ribu, entah untuk apa itulah yang terjadi di Kampung Kaibusene sejak beberapa tahun terakhir.

Diskusi singkat dengan salah satu masyarakat pu terjadi. “Ibu guru, tolong pada saat ujian jangan dibayar lagi eee, nanti sa (saya) pu (punya) anak tra (tidak bisa) bisa ikut ujian lagi.”

Saya hanya bisa mengelus dada dan berkata ‘Tuhani ….

“Mace (ibu), siapa yang bilang ujian itu bayar? Kita wajib belajar 9 tahun itu gratis Mace, trada pungutan liar begitu.”

“Bah, ibu guru, baru selama ini kami bayar pas ujian mahal-mahal itu apa?” kata si ibu lagi.

Pendidikan mematikan masyarakat namanya. Bayangkan saja, kalau dalam rumah 3 – 4 anak yang ikut Ujian Nasional, sudah berapa biaya yang dikeluarkan? Dengan susah payah orangtua mencari biaya, agar anaknya bisa mendapat ijazah di bangku sekolah dasar dan pejabat sekolah kenyang dengan perbuatannya. Sungguh kejam!!!

Ya wajar dijuluki demikian, sebab dibuka pada saat ujian. Waktu ujian guru mencari murid di hutan. Lucu, aneh, mengharukan, tapi ini fakta. Lebih disayangkan lagi bangunan sekolah dan fasilitasnya sangat mengharukan, layaknya sebuah kandang.

Ow Mappi… Uang dan uang suatu saat akan membunuh generasimu…..

Ini mau salahkan siapa? Ini masalah butuh solusi. Bupati Kabupaten Mappi yang baru terpilih Rito Agawemu, salah seorang pemimpin muda yang punya gebrakan untuk memajukan pendidikan di Mappi. Beliau seorang pemimpin yang tegas, kurang lebih 1 tahun yang lalu mendatangkan kami GPDT yang direkrut oleh Universitas ternama di Indonesia yaitu UGM.

GPDT hadir atas kerjasama gugus tugas Papua UGM dan Pemda Kabupaten Mappi untuk membasmi pelan-pelan virus buta huruf di Mappi. Apakah 2 tahun cukup? Untuk itu saya menulis cerita singkat ini kepada bapak berdasi yang terhormat yang ada di Ibu Kota Negara. “Cobalah sesekali ke Papua, tepatnya Kabupaten Mappi Distrik Haju Kampung Kaibusene. Kami menunggu bapak ke sekolah ini.”

Untukmu Bapak Menteri Pendidikan yang baru, kami sangat menantikan program kerja  Nasional untuk mencerdaskan anak-anak di pelosok negeri ini, di daerah  tertinggal, terbelakang, terisolir dan ter… ter lainnya…..

Salam Hormat,

Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.

Diana Cristiana Da Costa Ati, S.Pd

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya