Liputan6.com, Banjarnegara - Marjani (80 th) tercenung. Ingatannya kembali ke masa 40 tahun silam, tatkala Kawah Sinila erupsi dan memicu Kawah Timbang mengeluarkan gas beracun yang membunuh 149 orang warga Desa Kepucukan, Batur, Banjarnegara.
Marjani adalah salah satu dari saksi hidup tragedi Kawah Sinila. Marjani kini menjadi warga Dukuh Sidomulyo, Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara
Usia tua tak menjadi penghalang tatkala Marjani mendaki kawasan Gunung Butak Petarangan. Ia masih mengingat dengan tepat Kawah Sinila, lokasi letusan, jasad-jasad bergelimpangan dan makam massal korban tragedi gas beracun Kawah Sinila pada tahun 1979 itu.
Advertisement
Baca Juga
Meski masih tinggal di kecamatan yang sama, tetapi Marjani hanya pernah sekali kembali ke kawasan ini. Yakni, setahun usai tragedi Kawah Sinila, tepatnya pada 1980.
Usai itu, ia tak pernah sekali pun menginjakkan kakinya di tempat yang membuatnya trauma. Jerit dan tangisan dalam kematian massal saat itu tentu masih sangat membekas dalam ingatannya.
“Sejak bencana itu, saya hanya sekali saja, setahun setelah letusan. Setelah itu tidak pernah ke sana lagi, jadi sudah 39 tahun saya baru ke Sinila lagi kali ini,” ucap Marjani, Rabu 14 November 2019.
Bukan tanpa alasan Marjani kembali ke kawasan kawah yang mengeluarkan gas beracun ini. Ia ke kawasan Kawah Sinilia untuk pembuatan film dokumenter tragedi Sinila, yang difasilitasi Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kemdikbud bekerja sama dengan Yayasan Sahabat Muda Indonesia (YSMI).
Simak video pilihan berikut ini:
Menurunnya Kesadaran Risiko Bencana dan Vandalisme
Sutradara film, Aziz Arifianto bersyukur menemukan narasumber seperti Marjani. Pasalnya, saksi korban tragedi Sinila sudah sangat jarang.
Selain karena telah banyak yang meninggal dunia, banyak di antara warga terdampak saat itu yang ditransmigrasikan ke Sumatera Selatan.
“Kita beruntung karena Mbah Marjani mau kita jadikan subjek film. Bahkan beliau sangat bersemangat untuk naik kembali ke Sinila, karena beliau masih sangat terkenang, dan tahun ini merupakan peringatan 40 tahun Sinila meletus” ucap Aziz.
Aziz menjelaskan, film ini nantinya memang khusus didedikasikan untuk Marjani dan warga Batur. Judulnya pun akan disesuaikan dengan peristiwa hari itu, yakni “Mengenang 40 Tahun Tragedi Sinila”.
“Tadinya kami akan memberi judul Sinila 1979, tapi karena ternyata judul itu sudah ada, maka kami ganti. Kebetulan, tahun tepat 40 tahun tragedi itu terjadi” dia menerangkan.
Produser film yang juga Ketua Umum YSMI Heni Purwono berharap, film itu nantinya menjadi sebuah catatan sejarah lisan dari saksi korban bencana. Harapannya pesan yang disampaikan film ini akan lebih kuat.
Heni mengkhawatirkan menurunnya kesadaran tentang potensi bencana. Dia berharap, generasi muda lebih tanggap dan paham mitigasi lantaran berada di kawasan rawan bencana, seperti Dataran Tinggi Dieng.
Advertisement
Mitigasi dan Jalur Evakuasi
“Saya juga sebenarnya agak khawatir, karena ketika melihat lokasi Sinila sudah disedot airnya untuk pertanian, juga papan-papan peringatan kebencanaan banyak yang menjadi korban vandalisme,” ujarnya.
Padahal dalam situasi bencana, papan-papan petunjuk kebencanaan sangatlah vital. Banyaknya korban Kawah Sinila saat itu juga karena salah memilih jalur evakuasi sehingga para korban justru mendekati sumber gas beracun.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BPBD Banjarnegara, Andri Sulistyo mengemukakan, papan peringatan dan jalur evakuasi sangat vital dalam situasi bencana. Jalur evakuasi merupakan jalur yang sudah ditetapkan dari serangkaian studi.
Andri menjelaskan, gas beracun kecenderungannya seperti massa air. Gas beracun ini akan menuju tempat yang lebih rendah. Maka ketika masyarakat Kepucukan ke arah yang lebih rendah, mereka justru menjadi korban.
“Di situlah pentingnya papan petunjuk jalur evakuasi. Karenanya ketika papan itu dirusak atau dihilangkan, kami sangat menyayangkan,” kata Andri.
Dalam kesempatan berbeda, petugas Pos Pengamatan Gunung Dieng Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Aziz Yuliawan menjelaskan tragedi Sinila terjadi pada 20 Februari 1979. Saat itu, Kawah Sinilia meletus, dengan jenis erupsi freatik, serupa dengan letusan Kawah Sileri, April 2018.
Tetapi, yang membunuh ratusan warga Kepucukan adalah Kawah Timbang yang berada di kawasan yang sama. Kawah Timbang mengeluarkan gas beracun Co2 yang membunuh ratusan warga.
3 Kawah Beracun Dieng
“Material yang dikeluarkan adalah lumpur panas, lontaran batu dan lahar. akan tetapi yang perlu diingat yang membunuh 149 warga Kepucukan tersebut adalah Kawah Timbang,” ucap Aziz, 4 Juli 2017.
Secara konstan Kawasan Gunung Butak Petarangan mengeluarkan gas Co2, H2S dan So2. Di kawasan itu terdapat kawah Timbang dan Sinila, serta rekahan vulkanik Sibanger dan Wanapriya yang membentuk sebuah kawasan berbahaya.
Menurut Aziz, ada tiga diantara 11 kawah di Dieng yang ditetapkan sangat berbahaya lantaran kerap mengeluarkan gas beracun. Ketiga kawah tersebut yaitu, Timbang, Sinila dan Sikendang.
Pasalnya, meski jarang erupsi, namun ketiga kawah tersebut secara simultan mengeluarkan gas beracun, meski dengan konsentrasi yang fluktuatif.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Dieng, Surip mengakui, Kawah Timbang adalah salah satu kawah beracun Dieng. Karenanya, masyarakat harus selalu waspada. Antara lain dengan tidak mendekati kawasan kawah pada malam atau pagi hari.
Sebabnya, konsentrasi gas beracun, Co2, pada pagi atau malam masih tinggi. Gas ini akan memuai saat terkena sinar matahari.
Kawah beracun ini terakhir kali erupsi pada tahun 2013. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
Advertisement