Cerita Peneliti dari Universitas Udayana, 39 Tahun Bergelut dengan Bambu

Perempuan asli Bali ini bahkan dijuluki "Profesor Bambu".

oleh Dewi Divianta diperbarui 28 Des 2019, 08:00 WIB
Diterbitkan 28 Des 2019, 08:00 WIB
Dr Pande Ketut Diah Kencana bersama tim Cimb Niaga di Hutan bambu Tabah (Liputan6.com/Dewi Diviuanta)
Hutan Bambu Tabah di Gianyar (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Peneliti dari Universitas Udayana menemukan hasil gemilang terkait keberadaan tanaman jenis bambu bagi kehidupan manusia. Ketua Pusat Penelitian Bambu Universitas Udayana, Dr Pande Ketut Diah Kencana menjelaskan, dari hasil penelitiannya ia telah menemukan 14 produk turunan dari jenis bambu tabah yang berguna bagi kehidupan manusia. 

Ia menjelaskan, 14 produk turunan bambu tabah di antaranya rebung vakum, rebung botol, rebung kulit, rebung polich, rebung kupas, arang bambu, briket bambu, dua produk teh daun bambu, probiotik, pupuk, asap cair bambu tabah untuk pestisida, sabun cuci, dan sabun mandi.

Diah yang dijuluki 'profesor' bambu telah mengabdikan diri untuk melakukan penelitian terhadap tanaman jenis bambu selama 39 tahun belakangan. "Sejak 39 tahun lalu saya fokus melakukan penelitian di bambu. Bahkan, satu-satunya pusat penelitian bambu di Indonesia hanya ada di Universitas Udayana. Di Bali, tumbuh-kembang tanaman bambu berada di Gianyar dan Tabanan," tutur Diah di Gianyar, Jumat (27/12/2019).

Berpuluh tahun mengabdi untuk bambu, Diah mengaku memiliki 24 kelompok binaan dengan jumlah anggota mencapai 1.150 orang. Siang itu, Diah didatangi oleh perwakilan Bank CIMB Niaga yang melakukan kerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan Kehati) yang juga menaruh perhatian terhadap kelestarian tanaman bambu.

Mengambil lokasi di Pemulan Bali Farm Cooking School, Banjar Patas, Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, luasan tanaman bambu yang dirawat dengan baik seluas 80 are (800 meter persegi).

Ia menjelaskan, tak semua tanaman bambu bisa menghasilkan produk turunan. Hanya jenis bambu tabah saja yang bisa menghasilkan produk turunan yang bisa digunakan untuk kehidupan manusia. Di sisi lain, Diah menyebut tanaman bambu juga merupakan tanaman yang paling banyak menyerap air.

"Kalau kita tanam bambu setahun atau dua tahun misalnya, maka akan ada penguatan mata air. Fungsi tanaman bambu kan memang untuk menyerap air dengan serabut akarnya yang luar biasa itu. Lahan kritis kalau ditanami bambu itu bisa menyelematkannya," kata dia.

 

Bambu sebagai Penyerap Air

(Liputan6.com/Dewi Diviuanta)
Hutan Bambu Tabah di Gianyar (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Dalam peninjauan tersebut hadir Direktur Compliance, Corporate Affairs dan Legal CIMB Niaga, Fransiska Oei. Fransiska menjelaskan, Bank CIMB Niaga selama ini menaruh perhatian terhadap kelompok yang peduli terhadap tanaman jenis bambu. Itu sebabnya ia menyalurkan dana CSR untuk kelompok-kelompok tersebut. Katanya, bambu amat berguna dalam menyerap karbondioksida.

"Pasti banyak yang bertanya, apa hubungan antara bank dengan bambu. Ada empat hal fokus kami yakni edukasi, filantropi, pemberdayaan masyarakat dan lingkungan," papar dia. 

Menurut Fransiska, dalam Konvensi Paris tahun 2015, semua pihak wajib mengupayakan pengurangan pemanasan bumi maksimum 2 derajat Celsius hingga tahun 2.100.

"Banjir sudah terjadi di mana-mana. Tanah di Jakarta setiap tahun turun 25 sentimeter. Ini menjadi PR (Pekerjaan Rumah) kita semua agar memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan, agar kita memitigasi pemanasan global. Kami melihat apa yang bisa kami berikan sebagai bentuk dukungan. Salah satunya melalui pelestarian tanaman bambu yang memang manfaatnya sangat besar untuk kelestarian lingkungan dan kehidupan kita," jelas Fransiska.

Tak hanya sekadar tanaman, Fransiska menilai bambu memiliki manfaat ekonomis bagi yang merawatnya. "Secara ekonomis bambu bisa dipakai untik alat musik, furniture, makanan (rebung), arang, termasuk daunnya bisa jadi teh. Banyak sekali manfaatnya secara ekonomis. Secara ekologis bambu dapat meningkatkan penyerapan air, sehingga mengurangi banjir, penyerapan karbondioksida dan menghasilkan O2," tuturnya.

Sejak tahun 2012, Fransiska melanjutkan, institusinya menjalin kerja sama dengan Yayasan Kehati yang memiliki konsentrasi di bidang lingkungan hidup.

"Hingga kini sudah ada 27 ribu bambu yang sudah kami lestarikan. Di Bali ada 27 ribu bambu. Biaya yang kami kucurkan Rp3,5 miliar. Dalam waktu dekat kami mau mencoba mengukur penyerapan karbondioksida oleh bambu. Biaya yang kami siapkan kira-kira Rp2,8 miliar," papar dia.

Communication and Resource Mobilization Director Yayasan Kehati, Rika Anggraini menjelaskan, Indonesia memiliki 160 spesies tanaman bambu dari 1.200 higga 1.400 jenis bambu yang ada di dunia. "Kami memfokuskan pada penelitian manfaat tanaman bambu bekerjasama dengan Pusat Penelitian Bambu Universitas Udayana," ujarnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

  

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya