Ode untuk Secangkir Kopi

Sadikin tidak hanya berhasil mempromosikan kopi Aceh ke kancah internasional, baginya meminum kopi lebih dari soal cita rasa, tetapi sublimasi, berikut jurnal singkat jurnalis Liputan6.com sampai bertemu dengan lelaki yang dipanggil Gembel itu:

oleh Rino Abonita diperbarui 18 Jan 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2020, 00:00 WIB
Seorang pengunjung sedang mencicipi kopi di kafe Seladang, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)
Seorang pengunjung sedang mencicipi kopi di kafe Seladang, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Seorang terpidana mati tidak lama lagi akan digiring ke tempat eksekusi untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukannya. Ia diberi kesempatan untuk meminta sesuatu sebagai permintaan terakhir sebelum menuruti undangan sang mair.

"Katakanlah, apa keinginan terakhirmu?" tanya sipir.

"Aku tidak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini, kecuali secangkir kopi untuk kunikmati," jawab sang narapidana dengan dada dibusungkan.

Jauh sebelum imajinasi itu muncul, saya dan tiga orang teman suatu malam sedang mengaso di sebuah kafe di Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah sebelum kembali ke peraduan. Kami berada di ketinggian 1261 meter di atas permukaan laut (MDPL), wajar saja jika udara terasa menusuk hingga ke benak tulang.

Kami memilih duduk di deretan meja yang ada di luar kafe, sebuah tempat terbuka yang luasnya kira-kira tak mencapai setengah lapangan tenis, di mana meja dan kursi berwarna kayu berpelitur dan berangka besi tersusun dengan formasi yang tak selaras, sementara, gelas-gelas berisi seduhan arabika juga minuman jenis liyan —serta piring makanan ringan— terlihat tak beraturan, keluar dari tatakan masing-masing. Beberapa pengunjung terlihat berkumpul di dalam kafe dan berbicara dalam dialek Gayo yang kental.

Kafe itu memiliki eksterior klasik dibalut gaya modern yang memiliki warna hitam dominan. Agak ke depan dari sisi kanan kami, meriung sepasang suami istri bersama seorang anaknya, duduk di meja yang bersebelahan dengan jendela kafe; kami bisa melihat interior serta pelbagai hiasan yang terpajang di kisi-kisi yang ada di belakang meja bar dari jendela tersebut.

Keluarga kecil itu kelihatannya tak ambil pusing dengan hawa dingin yang ada di tempat itu. Mereka terlihat tidak mengenakan baju hangat sama sekali.

Saat itu, saya memilih untuk mencecap segelas kecil espreso, tentu saja tanpa gula. Di ujung sesapan yang kesekian kalinya, telinga saya menangkap nada yang cukup familier.

Itu adalah "Dealova." Seseorang dari dalam kafe tengah memainkannya secara instrumental dengan organ yang ada di ruangan sebelah kiri kafe tersebut.

Di dalam dekapan udara yang sejuk, komposisi nada lagu tersebut terasa begitu hidup. Organis pun sengaja memperlambat tempo ketukan jari jemarinya di atas tuts sehingga nada yang keluar terasa begitu bersahaja, namun liris, membuat pendengarnya sekonyong-konyong larut belaka.

Saya pikir, hanya itulah yang menjadi klimaks selama saya berada di kafe tersebut. Selebihnya, tak ada yang terlalu impresif untuk sebuah kafe yang suasananya hampir dapat ditemui di kafe mana pun, kecuali nuansanya yang sejuk itu.

Gratias Dedy!

Lampu di salah satu kafe yang ada di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)
Lampu di salah satu kafe yang ada di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Hawa dingin terasa lebih lekat setiba kami di homestay. Beruntung, seorang teman membawa persiapan sebotol minuman fermentasi buah salak "Pondoh", sisa oleh-oleh seorang kawan dari Yogyakarta yang 'baik hati' dalam anjangsana singkatnya ke Aceh beberapa waktu silam.

Rasa sepet di mulut terasa kian akrab. Sekonyong-konyong kami telah mengembara ke masa lalu, mengacak-ngacak kembali daftar lagu-lagu lawas yang ada di dalam kepala masing-masing, lagu-lagu abadiah yang pernah mengiringi masa-masa kecil kami.

Saya telah jatuh cinta "pada pendengaran pertama" kepada Paradox, lagunya Deddy Stanzah yang direkomendasi oleh teman minum tadi. Lagu tersebut kami putar berulang kali.

Benci orang sok tau/Benci orang sok seneng/Benci orang sok miskin/Benci orang sok tau/Benci orang sok bersih/Benci orang sok kaya/Benci orang sok bener/Benci orang sok keren

Prima facie, lagu tersebut telah mengadar ke ego saya yang paling dalam, selaku manusia yang antipati kepada setiap bentuk dramaturgi. Gratias Deddy! maaf jika selama ini saya tidak menempatkanmu di antara lis lagu-lagu favorit.

"Permisi aku ikut ke belakang." Lagi-lagi kami terkekeh setiap kali Deddy mengucapkan lirik tersebut, dengan suaranya yang rada-rada menceracau itu.

Sementara, malam semakin larut, bulir-bulir air tampak mengembun di atas badan jembatan berkeramik merah hitam yang ada di taman homestay. Taman ini berkonsep 'taman jepang', memiliki tori yang dipasang melintang di tengah jembatan, serta sebuah gazebo kecil juga kolam ikan.

Suasana terasa semakin syahdu dengan adanya lampu hias yang menjalari tepian jembatan, cahayanya terlihat lamat-lamat, tenggelam di dalam udara yang berkabut. Di saat yang sama, permukaan kolam tampak seperti bentangan zamrud akibat terpaan cahaya dari lampu hias tersebut.

Bertandang ke Seladang

Papan nama kafe Seladang, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)
Papan nama kafe Seladang, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Sebelum kembali ke Banda Aceh, kami berkunjung ke sebuah kafe di tepi ruas jalan Bireuen-Takengon, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, tepatnya di Desa Jamur Ujung. Di kilometer 86 itu bermacam kendaraan melesat dengan kecepatan tinggi.

Di waktu konflik, kawasan itu termasuk kawasan rawan yang dihindari oleh banyak orang. Menurut si empunya kafe, kawasan itu dulunya "teumpat jen boh aneuk", sebuah istilah masyarakat Aceh untuk menggambarkan tempat yang dianggap tidak berpenghuni dan misterius.

Di kejauhan, ujung limasan atap rumbia serta seng tampak menyembul di antara rerimbunan perdu, dan saya baru tahu bahwa itu sebuah kafe saat melihat papan nama yang dipasang melintang di sisi jalan menuruti arah mata pelintas. Saya teralihkan sesaat dengan tengkorak kambing bertanduk yang menampang di lisplang kafe tersebut.

Seladang adalah sebuah kafe yang memiliki eksterior dan interior kayu yang dominan. Konsep yang diusung di kafe tersebut yaitu minum kopi sambil beragrowisata, dengan tagline "Ngopi di Kebun Kopi."

Di belakang kafe terdapat gubuk-gubuk kecil beratapkan rumbia dengan kursi serta meja dari batang pohon. Gubuk-gubuk tersebut berdiri di antara rimbunan pohon kopi serta bunga berbagai jenis.

Pengunjung bisa menyusuri jalan setapak yang membelah perkebunan sambil menikmati panorama serasa berada di hutan dengan kehadiran pepohonan yang tinggi menjulang. Saya sendiri sangat menikmati nyamannya berada di toilet beratapkan dedaunan yang merambat sambil menatap deretan bunga-bunga yang ada di dalam pasu.

Pemilik kafe tersebut adalah Sadikin. Orang-orang memanggilnya Gembel, mungkin karena dulunya ia seorang eksentrik yang suka mengondrongkan rambut.

Kami berbincang dalam situasi yang santai di salah satu gubuk yang ada di kafe tersebut. Pertemuan ini lebih menjurus anjangsana penuh keakraban ketimbang sebuah perjamuan yang terkesan formal.

Gembel tetap setia dengan gaya rambut gondrongnya. Ia saat itu mengenakan kemeja berwarna celadon, celana jin, serta sepasang sepatu boots yang menambah kesan maskulin.

Diskusi yang terjadi di siang itu berjalan sebagaimana mestinya sebuah pembicaraan yang berlangsung di "meja kopi", alot dan serius, disisipi intermeso. Pandangan Gembel tentang kopi sangatlah kompleks.

"Aku berpikir bagaimana menciptakan ruang yang justru tidak menciptakan sekat. Untuk merekatkan, bukan lebih menjauhkan orang dengan orang," ujarnya.

Bagi Gembel, kafe yang mengusung konsep revival dengan desain mancawarna yang fotografis namun menyampingkan esensi dari "minum kopi" merupakan sebuah kesalahan. Ia sendiri seorang penyuka ketenangan.

"Sekarang bergeser, kedai kopi jadi tempat orang foto. Kalau dulu, warung kopi itu menjadi tempat diskusi, tentang demo besok, tentang segala macam. Sekarang, orang berpikir, kopi itu bagian dari gaya hidup. Itu memang jadi magnetnya, tapi, ruh kopinya sudah tidak ada," imbuh Gembel.

Saya sendiri pernah minum kopi di salah satu kedai kopi di Kota Banda. Kedai kopi tersebut bentuknya reyot sama sekali, memiliki meja kayu dilapisi karpet vinil serta kursi plastik yang beberapa kaki-kakinya hampir patah.

Di balik bentuknya yang menyerupai kedai tuak, kedai kopi tersebut hampir tak pernah sepi pengunjung. Terlebih di pagi hari, sangat susah mendapat meja yang kosong di kedai kopi tersebut.

Menurut gembel, kedai kopi semacam itu memang tidak mengedepankan desain eksterior dan interior belaka. Kedai kopi yang pernah saya singgahi pada 2018 itu telah menyandera lidah orang-orang, tapi meminum kopi bukan semata cita rasa.

Gembel mendambakan sebuah pengalaman minum kopi yang tak lazim. Tak sekadar ruang yang bebas dari sekat dengan panorama yang memikat, meminum kopi adalah pengayaan spiritual, ritual tritunggal —antara manusia, kopi, dan jiwa—, sesederhana itu.

"Yang belum itu, justru aku berpikir, enggak ada kedai kopi, yang dia (pengunjung) bisa bilang, aku kepingin ngopi hari ini, dan aku enggak ingin ngomong sama siapa pun," demikian, Gembel.

Untuk Kopi

Seorang pengunjung sedang minum kopi di kafe Seladang (Liputan6.com/Rino Abonita)
Biji kopi di kebun kopi kafe Seladang, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

William H. Ukers dalam All About Coffe, menjelaskan bahwa kopi mulai dibicarakan secara ilmiah dalam Symposium on The Etymology of The Word Coffee pada 1909. Dalam simposium tersebut disepakati bahwa kata "kopi" merujuk istilah "qahwah", yang mengandung arti "kuat" di dalam bahasa Arab.

Sebuah situs konsultasi syariat menuliskan bahwa kata "qahwah" secara bahasa artinya khamar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan seorang ahli bahasa asal Palestina bernama Hasan Said al-Karmi dalam bukunya Qoul ala Qoul.

Qahwah disebut-sebut berasal dari kata aqhaa-yuqhii. Artinya membuat kenyang atau membuat tidak suka dan menghindari makanan.

Di hari yang liyan, saya membaca artikel Moh. Nasirul Haq, seorang mahasiswa Imam Shafie College Mukalla, Yaman, yang mengklaim bahwa kopi adalah minuman para sufi. Ia mengutip pernyataan beberapa imam, antara lain Ibnu Hajar al-Haitami, menulis:

"Ketahuilah duhai hati yang gelisah, kopi ini telah dijadikan oleh orang-orang yang tenang sebagai pengundang akan datangnya rahasia ketuhanan dan penghapus kesusahan."

Liyan lagi Al Habib Ahmad dengan kitabnya berjudul Tadzkiruun Naas, yang menempatkan kopi pada jabaran yang jauh lebih suprarasional. Ada salah satu di antara banyak penjelasan yang memosisikan kopi bak barier bagi gangguan setan dalam kitab yang isinya dituding khurafat itu, sebagai berikut:

"Sedangkan rumah atau suatu tempat yang di situ biasa dibuat hidangan wedang kopi, maka, para jin tidak akan bisa menempatinya dan tidak akan bisa mendekat alias mengganggu."

Konon, seorang pencinta kopi pernah menemui dan meminta nasihat kepada nabi. Oleh nabi, orang tersebut dititipkan doa untuk diamalkan.

"Ya Allah, jadikanlah kopi ini cahaya bagi pandanganku, kesehatan bagi tubuhku, kesembuhan bagi hatiku dan obat segala penyakit wahai Zat Yang Mahakuat lagi Kokoh."

Sebelum kopi diseruput, diharuskan membaca basmalah, dengan begitu, malaikat katanya senantiasa memohonkan ampunan untuk si peminum kopi selama aroma kopi tersebut masih tercium. Kisah ini dikutip dari hadis yang munqathi, yakni, hadis yang sanadnya tidak tersambung kepada nabi atau yang liyan.

"Aku justru lagi mencari manuskrip, selawat di Iran, salah satunya, di akhirnya itu adalah, maka diberkatilah para peminum kopi," kata Gembel.

Terlepas dari kutipan-kutipan yang diklaim tak tentu juntrungnya itu, harus diakui bahwa kopi memiliki rentetan sejarah yang impresif. Sekalipun tak apostolik, kopi tak jarang muncul di dalam epos.

Sebelum tewas, Teuku Umar sempat menyinggung soal rencana minum kopi bersama rekan-rekan seperjuangannya. Apa yang diucapkannya pada hari itu tentu bukan sekadar harapan terakhir seorang yang akan menghadap el maut.

"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keudee Meulaboh atawa ulon akan syahid."

Elzie Crisler Segar mengenalkan Popeye dengan bayamnya, Rene Goscinny dan Albert Uderzo menciptakan Asterix dengan ramuan kekuatan supernya, sementara, banyak ide-ide kritis yang lahir dari seorang peminum kopi. Ide "gila" yang telah meletakkan fondasi bagi perubahan di dunia ini.

"Aku pikir, militansi orang Aceh, salah satunya karena kopi," pungkas Gembel.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya