Liputan6.com, Yogyakarta Wates yang menjadi ibu kota Kabupaten Kulonprogo memiliki cerita dibalik arti nama Wates. Pertanyaan menariknya, kenapa dinamakan Wates? Dimana saat itu menjadi ibukota Kadipaten Adikarto yang merupakan gabungan kekuasaan antara Pakualaman dan Kasultanan.Â
"Saya orang Wates tapi saya sendiri tidak tahu kenapa dinamakan Wates. Artinya juga tidak tahu," kata Agus warga Wates kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Senada dengan Agus, Joko warga Pengasih juga tidak mengetahui pasti asal mula dinamakan Wates. Namun, menurutnya Wates dahulu menjadi pusat ibukota.
Advertisement
Baca Juga
"Dulu kata simbah pusat kotanya juga di Wates. Tapi kalo dinamakan Wates juga tidak tahu walaupun dekat dengan Pengasih," katanya.
Sementara itu Tri Anggoro Staf Pemerintahan Kalurahan Wates mengatakan, melihat data dan dokumen yang ada Kalurahan  Wates secara administratif dimulai sejak tahun 1938 lalu.Â
"Dulu tahun 1938 desa Wates terdiri dari 3 kalurahan yaitu Wates, Gadingan dan Wonosidi. Saya baca di dokumen peta ada," Â katanya kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Lalu Tri mengatakan, dari tiga kelurahan itu pada tahun 1979 digabung menjadi Desa Wates. Pada 22 Desember 2010 ada peralihan status dari Desa Wates menjadi Kalurahan Wates.Â
"Karena peralihan itu, semua perangkat seperti pamong dll mulai menjadi PNS saat itu," katanya.
Tri mengaku juga tidak mengetahui banyak kenapa dinamakan Wates. Namun, melalui dokumen pemerintahan desa diketahui dahulu tanah berupa rawa-rawa.Â
"Dahulu rawa, sekarang dah ada bangunan banyak. Tapi masih ada rawa juga di Beji masih ada Mbel (tanah empuk khas rawa)," katanya.
Tri menjelaskan luas Kalurahan Wates 428.242 ha ini mayoritas berasal dari tanah Paku Alam Ground. Dari datanya, tanah PAG ada sekitar 35 sertifikat dan tahun 2019 diusulkan 13 bidang untuk makam.
"Sebelum 84 banyak tanah PAG di Wates bisa jadi SHM. Namun setelah itu hanya Hak Guna Bangunan saja," katanya.
Â
Â
Batas
Banyak orang tidak tahu sejarah Wates. Termasuk penamaan Wates yang saat itu sebagai penanda batas kekuasaan.
"Kota Wates secara etimologi dapat diartikan sebagai 'batas', ada beberapa makna batas disini seperti batas antara negara Gading (Mataram Selatan) dan Mataram Krajan (Mataram Kulon) pada abad ke-18 ketika berkuasa Mataram di Kartasura," kata sejarawan dan budayawan Kulonprogo Ahmad Athoillah.Â
Sebelumnya, Pakualam yang memiliki daerah kekuasaan di sisi barat Yogyakarta itu Paduka Paku Alam V mengganti nama Karang Kemuning menjadi Adikarta dengan ibukota Bendungan. Lalu tahun 1903 ibukota dipindah ke Wates. Â
"Namun posisi Wates semakin jelas betul-betul menjadi 'batas' ketika wilayah bekas negara gading (Galur/brosot sampai Temon) menjadi kadipaten Karang Kemuning pasca 1813. Posisi Wates kemudian menjadi titik perbatasan dengan wilayah kasultanan Yogyakarta di Pengasih," kata Ahmad Athoillah.
Athoillah menjelaskan Wates pernah digunakan sebagai markas colonnes mobile Belanda untuk menahan gerak pasukan Diponegoro sampai pada 1 Januari 1830. Dalam peta tahun 1857 disebutkan terdapat nama Wangkit yang sejak awal terdapat sebuah pasar di sekitaran Wates.Â
"Nama-nama desa di dearah Wates mulai  muncul terdiri dari 30 desa di wilayah besar Wates, walaupun nama Wates belum menjadi sebuah nama administratif di wilayah Kadipaten Pakulaman," katanya.
Ahmad Athoillah dalam karyanya berjudul "dari Desa menjadi Kota : Sejarah Kota Wates" menyebutkan sejak ibukota Kabupaten Karang kemuning dipindah dari Brosot ke Bendungan lalu berganti nama baru Kadipaten Adikarta. Pada tahun 1925 Wates kemudian menjadi  sebuah wilayah Onderdistrik yang meliputi 16 Desa disamping onderdistrik Temon.
"Berbeda dari keterangan folklor yang menyatakan bahwa Wates awalnya dibangun oleh Tumenggung Nuryodongso yang berhubungan dengan cerita berdirinya Desa Mutihan," katanya.
Beberapa kajian sejarah yang disusun sejarawan dan budayawan Kulon Progo Ahmad Athoillah, wilayah Wates mulai berkembang ketika daerah ini menjadi bagian dari Distrik Sogan. Sogan lebih memiliki arti penting dalam pemerintahan dibanding Wates.
"Wates juga lebih berarti ketika dilalui jalur kereta api yang disponsori oleh van Dalfsen (pemilik tambang di Kliripan) pada akhir abad ke-19," ujarnya.
Â
Advertisement
Paku Alam VII
Ahmad Athoillah mengatakan  Paku Alam VII (menjabat 1906-937) membangun kota Wates dengan jembatan yang menghubungkan transportasi darat antara Yogyakarta dan Purworejo. Selain itu juga membangun pasar dll.
"Kota Wates kemudian menjadi lebih berarti ketika ibukota Adikarto kemudian secara bertahap pindah ke Wates pada pertengahan 1912," katanya.
Athoillah menyebut beberapa pejabat demang penting di Kranggan (Galur), Demang Maesan (Lendah) dan Demang Ngongkek (Temon) membantu Kiai Dimnyati I untuk membangun Kota Wates yang didukung oleh Mangunwinarso tahun 1908. Lalu membangun gendung kawedanan (pengawsa wedana) dan beberapa  pusat-pusat vital politik-ekonomi.
"Pembangunan tersebut disebutkan telah membongkar bekas makam perang Jawa," katanya.
Athoillah mengatakan pembangunan Wates sebenarnya diawali oleh Paku Alam VI yang didukung penuh oleh para warga diaspora tionghoa. Ia menyebutkan nama-nama mereka seperti Kim Yan, Tao Sik yang akhirnya mereka oleh Pakualam VII diizinkan mengontrak tanah di Wates sepanjang 75 tahun.Â
"Yaitu sejak 1912-1987, penandatanganan tersebut dilakukan oleh Pakualam VII dan  Perwakilan Tionghoa di Temon yang difasilitasi oleh Demang Surontani. Para pedagang cina kemudian sukses sekali dengan warung opium dan jenis perdagangan lain," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Â
Wates Kini
Tri Anggoro Staf Pemerintahan Kalurahan Wates Kulonprogo mengatakan kini Wates menjadi daerah yang berkembang. Terlebih dengan adanya bandara baru Yogyakarta International Airport di Temon.
"Wates banyak usaha sekarang, lebih berkembang, banyak kuliner, elektronik, mebel kebanyakan pendatang," katanya.
Menurutnya, adanya bandara baru membuat banyak investor masuk ke Wates. Bahkan sebelum bandara baru tersebut jadi dibangun.
"Adanya bandara banyak investor luar. Ada, liat dari jual beli tanah. Sawah-sawah dibeli orang Jogja, Sleman Jakarta," katanya.
Memang saat ini belum terlihat banyak pembangunan. Namun, seiring waktu kondisi daerah akan berubah.
"Sebelum ada bandara sudah ramai tapi belum dibangun, mereka mungkin masih liat tata kotanya," katanya.
Nilai jual tanah yang cukup tinggi di pusat ibu kota juga membuat warga lokal Wates tertarik menjual lahannya kepada pendatang atau di luar Kulon Progo. Hal ini terlihat beberapa waktu terakhir.Â
"Ya banyak jual beli tanah," katanya.
Sementara Waluyo Jawatan Sosial Kapanewon Wates menyayangkan banyak lahan yang dijual oleh warga lokal. Ia pun sering mengedukasi warga agar tidak tergiur dengan nilai nominal yang tinggi.
"Kalau menjual lahan ya kira-kira. Ya sudah banyak. Kalau jual tanah ya kalau bisa ke saudaranya. Kalau tidak nanti malah terjepit," katanya.
Selain itu, jika terpaksa menjual ke warga di luar Kulon Progo harus dapat dipastikan mendapat akses jalan. Sebab, banyak kasus lahan yang dijual dibangun sementara warga sekitar tidak mendapat akses jalan.
"Ada kasusnya, dibangun gedung malah tidak ada akses jalan. Ya misal beli tanah 10 meter ya dua meter buat jalan kasihan anak cucunya tidak ada jalan," katanya.Â
Advertisement