Pakar Hukum di Bandung Ingatkan Bahaya Darurat Sipil saat Pandemi Virus Corona

Darurat sipil untuk mengatasi pandemi virus corona (Covid-19) dianggap tidak tepat.

oleh Arie Nugraha diperbarui 03 Apr 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2020, 00:00 WIB
Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Liputan6.com, Bandung - Wacana penerapan darurat sipil dalam mengatasi pandemi virus corona (Covid-19) dianggap tidak tepat. Darurat sipil  bakal berdampak negatif di masyarakat, karena salah satu konsekuensi darurat sipil adalah sentralisasi kekuasaan dan pendekatan yang dipakai cenderung represif.

Dosen Ilmu Hukum dan Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan, Firman Turmantara Endipradja menjelaskan penerapan darurat sipil tidak tepat saat wabah, karena dalam status darurat sipil negara tidak berkewajiban menanggung biaya hidup masyarakat yang terdampak. Menghadapi kondisi ini, sebut Firman, rakyat akan terpaksa atau memaksakan diri ke luar rumah alias tidak bisa dikarantina karena harus mencari makan.  

“Di mana salah satu alternatifnya masyarakat akan mudik karena di daerah masih dimungkinkan untuk mencari makan misalnya dengan bercocok tanam atau mencari ikan ke sungai," katanya, Kamis (2/4/2020).

Di sisi lain, ke luar rumah atau mudik sangat dilarang oleh pemerintah karena sangat berpotensi menyebarkan virus. Sementara dalam penerapan kebijakan darurat sipil, masyarakat dipaksa patuh.

Firman menjelaskan, kebijakan darurat sipil setara dengan darurat militer, dan hanya mungkin diterapkan jika berada dalam lima kondisi seperti pemberontakan atau kerusuhan bersenjata, kerusuhan, perang saudara, bencana alam, dan perang. Dengan demikian pandemi yang sedang berlangsung tidak bisa masuk aturan ini. 

“Aturan tentang darurat sipil ini dulu disebut regeling op de staat van oorlog en beleg (SOB). Aturan tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang Undang Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya,” ucap Firman. 

Firman membeberkan substansi dan filosofi Perpu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang Undang Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya serta beberapa ketentuan pasal-pasal nya ada yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Karantina Kesehatan

Untuk menghadapi situasi dan kondisi seperti ini atau demi memotong rantai penyebaran virus corona, pilihan pemerintah untuk menjalankan karantina wilayah atau karantina kesehatan, adalah sesuai dengan kondisi rakyat saat ini yang tengah mengalami beban penderitaan.

“Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan terdapat pembahasan Bab VII Pasal 49 tentang jenis karantina. Di dalamnya disebut empat jenis karantina yaitu karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),” terang Firman.

Firman melanjutkan karantina untuk skala provinsi, kabupaten atau kota adalah PSBB. Sementara karantina wilayah untuk cangkupan yang lebih kecil misal wilayah RT, desa, dan seterusnya. 

Selain itu, dalam menghadapi kebijakan PSBB dan DS tengah disiapkan dua peraturan pemerintah (PP) yaitu PP tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan PP tentang Kriteria Kekarantinaan Kesehatan yang saat ini secara maraton tengah dibahas termasuk yang mengatur teknis karantina wilayah.

“Fokus perhatian pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat terhadap upaya pemberantasan virus saat ini, terlihat dengan berbagai upaya dikerahkan. Seperti himbauan kepada para pejabat negara untuk dipotong gajinya, pemangkasan biaya perjalanan dinas, usulan pengalihan anggaran pilkada untuk penanganan corona,” lanjut Firman.

Selain itu, juga mengerahkan UMKM untuk penyediaan atau produksi APD tenaga medis, larangan mudik lebaran, imbauan untuk memberikan makanan atau sumbangan untuk kelompok masyarakat yang miskin baru. Hal itu perlu dilakukan, akibat penutupan tempat kerjanya seperti di pusat perbelanjaan, sekolah atau perkantoran, pembatasan perjalanan kereta api, mendistribusikan APD dan rapid test kit ke seluruh Indonesia.

 

Diharapkan Firman, dalam PP yang tengah dipersiapkan secara maraton itu, juga dimasukan mengenai teknis bantuan bagi kelompok masyarakat miskin baru, akibat dampak penutupan tempat cari nafkahnya karena dampak kebijakan work from home (WFH) dan physical distancing. Selain itu, meski anggaran negara tengah defisit, namun untuk penanganan pandemi Covid-19 ini diharapkan tidak diperoleh dari pinjaman ke negara lain maupun ke lembaga keuangan internasional. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya