Kisah Perjuangan Siswa SMP Miskin Jualan Keliling Sejak Pukul 5 Pagi di NTT

Seperti pelajar SMPN Kelas I Rinbesihat Halulik, Atambua, Kabupaten Belu, NTT, Petrus Suribasesu. Demi membiayai sekolahnya, ia rela menjadi penjual kacang keliling di tengah pendemi Covid-19.

oleh Ola KedaDionisius Wilibardus diperbarui 07 Jun 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2020, 07:00 WIB
Perjuangan hidup pelajar SMP
Foto : Dua pelajar SMP berjualan keliling di Kota Betun, Kabupaten Malaka, NTT (Liputan6.com/Dion)

Liputan6.com, Kupang- Hidup di tengah keluarga miskin, adalah takdir yang harus disyukuri. Maka, yang dilakukan adalah berjuang dan kerja keras untuk bisa bertahan hidup.

Banyak anak-anak yang lahir dari keluarga yang serba kekurangan, akan tumbuh menjadi sosok yang mandiri meski usianya masih belia. Mereka rela melakukan apa saja untuk membantu orangtuanya, selagi halal.

Seperti pelajar kelas 1 SMPN Rinbesihat Halulik, Atambua, Kabupaten Belu, NTT, Petrus Suribasesu. Demi membiayai sekolahnya, ia rela menjadi penjual kacang keliling di tengah pendemi Covid-19.

Ia mengaku, pekerjaan itu sudah dilakoni sejak ia masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Hidup dari keluarga petani, anak pertama dari tujuh bersaudara ini harus bekerja membantu orangtuanya.

Hasil jualannya, ia sisihkan untuk biaya sekolah dan sisanya diserahkan ke ibunya untuk membeli keperluan hidup di rumah.

"Per hari kadang laku sampai Rp150 ribu. Hasil ini, saya sisihkan Rp25 ribu untuk uang sekolah dan lainnya saya setor untuk keperluan keluarga dan adik-adik," ujarnya kepada wartawan, Senin (1/6/2020).

Rutinitas Petrus ini diakukannya setiap hari. Jam lima pagi, ia harus berangkat ke pasar membeli kacang. Kacang itu lalu direbus dan sebagiannya digoreng. Setelah disiapkan ibunya, Petrus berangkat ke kota Betun, Kabupaten Malaka untuk berjualan. Jika sekolah masuk, Petrus hanya berjualan di sekitar desanya.

Menurut Petrus, ia berjualan di Kota Betun, Malaka ketimbang di Atambua, Kabupaten Belu karena mudah dijangkau.

"Saya berangkat ke kota Betun Malaka pakai bemo, biaya pergi pulang (PP) Rp20 ribu ketimbang ke Kota Atambua, Belu cenderung lebih mahal," katanya.

Perjuangan gigih pasangan suami isteri, Fransiskus Taek dan Maria Ut ini lantaran takut orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Sebagai anak pertama, Petrus bertekad menempuh pendidikan tinggi untuk mengubah hidup keluarganya.

"Mimpi saya sekolah tinggi, bisa jadi orang dan biayai pendidikan adik-adik," tandasnya.

Semoga mimpimu terwujud pejuang cilik. Tuhan menyertaimu.

 

Simak Video Pilihan Berikut:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya