Liputan6.com, Palembang - Dalam langkah pencegahan dan penanganan perlindungan kekerasan pada anak, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A ) telah membentuk UPTD P2TP2A.
UPTD tersebut baru ini dibentuk di empat daerah Sumsel, yaitu di Kota Palembang, Lubuklinggau, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Musi Rawas (Mura) Sumsel.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, di kabupaten/ kota juga membentuk Desa/Kelurahan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dengan jumlah 806 Desa atau Kelurahan dari 3262 Desa/Kelurahan di Sumsel, dengan tujuan agar kekerasan terhadap anak dapat berkurang.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekda Sumsel Nasrun Umar, saat membuka dengan resmi Rapat Koordinasi Kebijakan Perlindungan Anak di Sumsel Tahun 2020, di Ballroom Novotel Palembang, Kamis (24/9/2020) pagi.
Menurutnya, tidak hanya menjadi korban kekerasan, anak juga dapat menjadi pelaku atau yang kerap disebut Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Dia mengatakan, anak yang berhadapan dengan hukum, sebenarnya merupakan korban dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan serta pengaruh lingkungan di sekitarnya.
“Banyak faktor yang melatarbelakangi anak yang melakukan tindak pidana, diantaranya pendidikan, usia, pergaulan anak dan lingkungan keluarga,” katanya
Untuk meminimalisir dan menuntaskan ABH, lanjut Nasrun Umar, Pemprov Sumsel telah membentuk kelompok kerja (pokja) khusus membidangi ABH.
Yang berada di Pokja ABH tersebut adalah Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang berhubungan langsung dengan penanganan terhadap ABH itu sendiri.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :
Kekerasan Anak Berkurang
“Yaitu Dinas DPPPA Sumsel, Dinas Sosial (Dinsos) Sumsel, Dinas Pendidikan (Disdik) Sumsel, Pengadilan Tinggi Sumsel, Kementerian Hukum dan HAM kantor wilayah Sumsel, Polda Sumsel, Biro Hukum Setda Sumsel dan Kejaksaan Tinggi Sumsel,” ujarnya.
Dilanjutkannya, proses peradilannya tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata.
Namun juga harus mencakup akar permasalahan anak, yang melakukan tindak pidana dan kebutuhan pelayanan hak-hak korban. Salah satunya adalah pemenuhan hak korban dalam proses hukum dapat terpenuhi.
“Proses pemberian layanan di LPKA khususnya layanan rehabilitasi medis atau sosial dan reintegrasi sosial, merupakan layanan yang sangat penting. Agar anak-anak tersebut dapat kembali diterima di masyarakat,” ucapnya.
Dengan kegiatan ini, dia mengharapkan kasus dan korban kekerasan terhadap anak dapat berkurang. Khususnya kepada aparat penegak hukum, dapat menerapkan secara penuh undang-undang SPPA No 11 Tahun 2012.
Advertisement