Dituduh PKI dan Terusir, Puluhan Keluarga di Cilacap Menumpang di Tanah Tetangga

Saat itu, mereka diusir dari tanahnya lantaran dituduh terlibat PKI atau underbouwnya

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 01 Okt 2020, 03:00 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2020, 03:00 WIB
Ratusan jiwa masih tinggal di gubuk sederhana dan menumpang di pekarangan tetangga akibat diusir usai dituduh PKI pada 1965. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ratusan jiwa masih tinggal di gubuk sederhana dan menumpang di pekarangan tetangga akibat diusir usai dituduh PKI pada 1965. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Peristiwa 1965, atau lebih populer disebut sebagai G30S/PKI sudah berlalu 55 tahun. Tetapi, tiap akhir September dan awal Oktober, tragedi kemanusiaan dan politik itu kembali bergaung.

Sayangnya, jarang yang menyentuh tragedi kemanusiaan, yang bahkan masih berdampak hingga saat ini. Kebanyakan orang lebih tertarik kepada bagaimana ingar-bingar kekerasan dalam peristiwa itu.

Di Cilacap, penganiayaan dan pembunuhan juga terjadi. Ribuan orang jadi korban. Ribuan lainnya, terusir dari tanah tumpah darahnya dengan tuduhan PKI.

Salah satunya, di Kampung Cikuya, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap. Hingga kini, sebanyak 32 keluarga di dusun tersebut masih menumpang di tanah milik tetangganya. Mereka terusir dari rumah dan tanahnya, usai peristiwa 1965.

Saat itu, mereka diusir dari tanahnya lantaran dituduh terlibat PKI atau underbouwnya. Sejak saat itu, mereka mengungsi dan kini mendirikan rumah di tanah milik tetangga atau saudaranya.

“Termasuk saya, keluarga saya diusir. Tapi kemudian bapak saya prihatin. Beli tanah 50 ubin dan sekarang ditinggali,” kata Ketua Kelompok Cinta Tani, Karsiman, beberapa waktu lalu.

Rumah orang yang dulu dituduh PKI itu tak didirikan permanen karena menumpang dan sewaktu-waktu bisa pindah. Dan tentu saja, karena tak ada biaya. Rumah dibangun dengan kayu dan bambu sehingga cepat rusak.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Kemiskinan Akibat Perampasan Tanah

Tapal batas kawasan hutan dengan tanah milik warga desa di Cikuya, Bantarsari, Wanareja, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Tapal batas kawasan hutan dengan tanah milik warga desa di Cikuya, Bantarsari, Wanareja, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Celakanya, lantaran tak tak didirikan di tanah hak milik sendiri, pemerintah tak bisa memberikan bantuan bedah rumah atau program bantuan renovasi rumah lainnya.

"32 keluarga, karena saya memagang datanya itu. Kalau ada bantuan-bantuan itu kan mereka tidak bisa mengajukan karena tidak memiliki SPPT (surat pajak tanah) atau tidak bisa meminjam SPPT orang-orang itu,” dia menjelaskan.

Di dusun itu, nyaris semuanya berkerabat. Mereka adalah korban atau keturunan korban pengusiran dari kampungnya. Itu sebab, ikatan solidaritasnya sangat tinggi.

Akibat kehilangan tanah garapan pula sebagian warga Dusun Cikuya yang kini berjumlah 250-an kepala keluarga pun hidup dengan kondisi miskin. Pasalnya, sebagian besar memang berpofesi sebagai petani.

“Jadi sampai sekarang ya rumahnya masih kayak gubuk, kaya gini (gubuk bambu). Ya awalnya dia domisi di Cikuya. Tapi karena Cikuya itu dirampas oleh perkebunan, diusir paksa, dintimidasi dan sebagainya, dia menumpang,” ucap Karsiman.

Karsiman juga membantah leluhur orang Cikuya PKI. Sebab, saat itu nyaris semua warga buta huruf. Karenanya, jika pun terlibat organisasi, mereka hanya ikut-ikutan saja.

Namun, dalam operasi pembersihan usai peristiwa 1965, puluhan pria dewasa Cikuya ditangkap dan dipenjarakan. Sementara, rumah mereka dibakar. Mereka diusir dari tanahnya.

 

Berjuang Peroleh Kembali Tanahnya

Posko perjuangan warga Cikuya, Bantarsari, Cilacap, usai kehilangan tanah pada 1965 lantaran dituduh PKI. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Posko perjuangan warga Cikuya, Bantarsari, Cilacap, usai kehilangan tanah pada 1965 lantaran dituduh PKI. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kini, warga Cikuya tengah berjuang untuk mengembalikan tanah leluhurnya dengan mengajukan lahan tersebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Dokumen telah dikirimkan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Cilacap ke Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian LHK.

“Total luasannya 72 hektare,” ucap Karsiman.

Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Serikat Tani Mandiri (STAM), Petrus Sugeng mengatakan 72 haktare lahan di Cikuya itu hanya lah sebagian kecil dari potret perampasan aset rakyat usai peristiwa 1965.

Secara total, ribuan hektare tanah dirampas dengan tuduhan menjadi anggota atau simpatisan PKI.

Bahkan, STAM mencatat ada ribuan warga di dua wilayah yang dipaksa bedol desa, dengan dalih tukar guling. Namun, usai mereka pindah, tanah yang dijanjikan itu tak kunjung diberikan.

“Totalnya sekitar 12 ribu hektare lahan yang dalam sengketa,” kata Sugeng.

Sugeng menjelaskan, selain di Cikuya, ribuan pertani yang tergabung dalam sejumlah Organisasi Tani Lokal (OTL) di desa lain di Cilacap juga mengajukan reforma agraria atas lahan dengan total luas 5.000 hektare lebih. Ribuan hektare tanah tersebut berada di 10 lokasi berbeda.

 

Reforma Agraria

Dialog Publik Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2019). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Dialog Publik Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2019). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Pengurus STAM, Yunus Anis mengatakan 10 lokasi tersebut berada di Rawaapu, Bulupayung, Bantarsari, Sarwadadi, dan enam lokasi di Kecamatan Kawunganten dan Gandrungmangu.

Reforma agraria akan dilakukan dengan mengacu kepada Perpers Nomor 86 Tahun 2018, tentang Reforma Agraria. Dokumen sudah diserahkan kepada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Cilacap pada 20 Juli lalu dan menunggu diserahkan ke Kementerian Lingkungah Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dia mengungkapkan, STAM dan OTL baru menyelesaikan 10 dokumen pengajuan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan luas total 5.000 hektare lebih, dari 26 titik yang direncanakan dengan luasan lahan mencapai 11 ribu hektare lebih.

Sebelumnya, ada 12 titik yang diajukan, tapi warga di dua lokasi memutuskan untuk menyelesaikan sengketa tanah melalui jalur pengadilan.

“Tadinya ada 12, yakni Kedungborang dan Citembong, akan diselesaikan lewat jalur pengadilan. Sudah koordinasi dengan Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Cilacap. Kalau yang ini luasannya sekitar 5.000 hektare lebih. Kalau totalnya itu ada 11 ribu hektare di 26 titik,” kata Yunus Anis.

Yunus menjelaskan, ada sejumlah sistem pelaksanaan reforma agraria. Di antaranya, penyerahan hak kepemilikan dan skema Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial. Dalam skema kedua ini, kepemilikan tanah tetap negara, namun ada hak pemanfaatan dengan sejumlah klausul.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya