Air Mata dan Perjuangan Warga Sumsel Hadapi Stigma Sebagai Keluarga Titisan PKI

NA sekeluarga harus menjalani pahitnya kehidupan di Sumsel, karena keluarganya dituduh sebagai warga cap merah titisan PKI.

oleh Nefri Inge diperbarui 03 Okt 2020, 02:08 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2020, 05:00 WIB
Lubang Buaya, Saksi Bisu Kekejaman PKI di Indonesia
Monumen Pancasila Sakti didirikan untuk mengenang keberhasilan Pancasila dalam membendung paham komunis di Indonesia, Jakarta, Selasa (30/9/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Palembang - Air mata tertahan di pelupuk mata NA, ketika memasuki tanggal 30 September 2020. Tanggal yang ditetapkan sebagai Hari Peringatan G30S/PKI, membuat hatinya terasa pilu.

Memorinya kembali ke belasan tahun lalu, saat dia dan keluarganya mengalami masa tersulit di dalam hidupnya.

Di tahun 2006, NA begitu berbahagia karena lulus ujian masuk salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Sumatera Selatan (Sumsel). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), akan dijadikannya jembatan untuk meraih mimpinya menjadi seorang guru.

Kebahagiaan juga terpancar dari RA, adik NA yang sebentar lagi diterima menjadi salah satu anggota TNI. Terlebih RA terpilih menjadi salah satu peserta terbaik dan mampu melewati berbagai seleksi yang ketat.

Namun impian NA dan RA seketika sirna. NA sekeluarga dikagetkan, karena RA yang tak lolos administrasi masuk TNI. Bukan karena dia tidak melengkapi administrasi, namun karena keluarga RA dikaitkan dengan organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Tahun 2007, saya ingat betul saat itu. Kami benar-benar syok, ketika adik saya tidak lolos administrasi karena dia langsung dicap merah. Kami tidak tahu apa itu cap merah. Saat ditanyakan, ternyata ada titisan PKI," ucapnya kepada Liputan6.com di Sumsel, Kamis (1/10/2020).

NA sekeluarga pun benar-benar tak percaya, terlebih yang dituduh sebagai bagian dari PKI adalah buyutnya, yang merupakan kakek ayah NA.

Paman NA yang sudah lama berkarir di TNI, akhirnya mencaritahu kebenaran tersebut di kesatuannya. Ternyata benar, status cap merah memang ada dalam silsilah ayah NA.

Kekagetan juga dirasakan ayah NA, karena sedari dulu dia tidak mengetahui jika kakeknya dicap sebagai bagian dari PKI.

"Ayah saya juga tidak tahu, karena sejak muda sudah hijrah ke Sumsel. Keluarga ayah asalnya Jawa Tengah (Jateng)," katanya.

Kekalutan ditumpuk dengan rasa penasaran, membuat orangtua NA langsung berangkat ke salah satu daerah di Jateng untuk menguak misteri tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :


Dituduh Ikut PKI

Buku PKI
Salah satu buku yang disita aparat Polres Sukoharjo terkait razia buku yang diduga berisi ajaran komunis. (www.bukalapak.com)

Di sana, orangtua NA mendengar langsung asal muasal kenapa keluarganya dituduh sebagai bagian dari PKI.

"Dulu, rumah buyut saya dipakai oleh Gerwani PKI. Padahal saat itu, buyut sudah lama meninggal dunia dan rumah tersebut juga ditinggalkan begitu saja. Jika disewa pun, keluarga kami tidak tahu Gerwani menyewa ke siapa," ucapnya.

Orangtua NA akhirnya menemukan titik terang, kenapa keluarganya dicap sebagai PKI. Karena merupakan rumah buyutnya NA, sehingga pemerintah langsung menetapkan buyutnya NA sebagai warga cap merah.

Keluarga NA di Jateng juga sudah menelusuri apa ada keterkaitan buyut NA, dengan gerakan PKI.

Namun tuduhan tersebut tidak terbukti, karena tidak ada satu anggota keluarganya yang gabung dengan Gerwani atau pun PKI, termasuk buyut NA yang bersih dari kegiatan PKI.

"Tidak ada satu orang pun di keluarga kami, yang gabung atau ikut dengan gerakan PKI. Kenapa harus dikaitkan dengan keluarga kami," katanya lirih.


Sang Ayah Berpulang

Bawaslu Banyumas menyita tujuh lembar selebaran provokatif bergambar palu arit atau lambang PKI. (Foto: Liputan6.com/Bawaslu Banyumas untuk Muhamad Ridlo)
Bawaslu Banyumas menyita tujuh lembar selebaran provokatif bergambar palu arit atau lambang PKI. (Foto: Liputan6.com/Bawaslu Banyumas untuk Muhamad Ridlo)

Impian mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI, harus dikubur dalam-dalam. Trauma mendalam tidak hanya dirasakan oleh keluarga NA di Sumsel. Keluarga NA di Jateng pun, mengalami nasib yang sama.

NA merasakan hidupnya saat itu, benar-benar berada di titik terendah. Semangat untuk mengejar impian di bangku kuliah, akhirnya terhenti selama satu semester dan sempat menjadi pecandu narkoba. Sedangkan adiknya, menghilang tanpa kabar selama setahun.

Tak hanya itu saja, ayah NA juga mengalami sakit-sakitan karena merasa bersalah dengan kondisi tersebut. Hati NA kembali tersayat, ketika melihat ibunya selalu menangis sedih, usai menunaikan salat Subuh.

Ayah NA kerap meminta maaf, karena silsilah keluarganya tersebut membuat impian anak-anaknya hancur seketika.

"Tiga tahun kemudian ayah saya meninggal dunia, dengan membawa kesedihan mendalam. Karena dia sangat tahu, cita-cita kami sangat besar dan harus hancur begitu saja," ungkapnya.

 


Meminta Status Jelas

Lubang Buaya, Saksi Bisu Kekejaman PKI di Indonesia
Patung-patung di Museum Lubang Buaya yang menggambarkan suasana penyiksaan PKI terhadap para Jenderal, Jakarta, Selasa (30/9/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ternyata, tuduhan warga cap merah juga menghalangi kisah percintan NA. Terlebih ketika dia menjalin hubungan dengan anggota TNI dan akan berencana untuk menikah.

Namun, NA terpaksa memutuskan kisah asmaranya, karena persyaratannya harus mengantongi bebas PKI jika akan menikah dengan anggota TNI.

"Sejak saat itu, kami berusaha untuk menerima kondisi ini, walau kami tidak terima dituduh sebagai warga cap merah. Kami sudah menjadi warga Indonesia yang taat. Kenapa masih harus didiskriminasikan dengan cap merah itu," katanya.

Dia meminta pemerintah Indonesia, untuk tidak lagi membahas masa lalu dan jangan mengaitkan dengan kehidupan di masa sekarang. NA juga menginginkan adanya keadilan untuk kehidupannya dan keluarganya.

Harapan NA saat ini, adanya titik terang dari pemerintah Indonesia untuk menyamaratakan status Warga Negara Indonesia (WNI). Karena dia tidak ingin nasibnya, juga dialami oleh anak-anaknya di kemudian hari.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya