Hari Toleransi Internasional, Hindari Isu SARA dalam Pilkada Tasikmalaya

Dalam dua bulan terakhir menjelang pencoblosan 9 Desember mendatang, isu SARA terbilang tinggi dalam pilkada Tasikmalaya, sehingga momentun Hari Toleransi Internasional, mampu menyadarkan hal itu.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 09 Jan 2021, 10:50 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2020, 21:22 WIB
Beberapa pembicara tengah menyampaikan materinya pentingnya menanggalkan isu SARA dalam setiap konstelasi politik, termasuk Pilkada Tasikmalaya, Jawa Barat kali ini.
Beberapa pembicara tengah menyampaikan materinya pentingnya menanggalkan isu SARA dalam setiap konstelasi politik, termasuk Pilkada Tasikmalaya, Jawa Barat kali ini. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Tasikmalaya Potensi penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam gelaran Pilkada serentak Tasikmalaya, Jawa Barat, mendorong Forum Bhinneka Tunggal Ika Tasikmalaya menyelenggarakan diskusi "Waspada SARA Jelang Pilkada Tasikmalaya", bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional.

Dengan upaya itu, diharapkan mampu meredakan isu SARA selama proses kampanye pilkada berlangsung, hingga pencoblosan 9 Desember mendatang.

Ketua Forum Bhinneka Tunggal Ika Tasikmalaya, Asep Rizal Asyari mengatakan, setiap musim pilkada di Tasikmalaya selalu diwarnai oleh isu SARA, sehingga cukup meresahkan masyarakat.

“Kami meminta BAWASLU, KPU dan Kepolisian bertindak tegas tidak memberikan ruang bagi penyebar isu itu,” ujarnya, di Hotel Grand Metro Tasikmalaya, Minggu, (15/11/2020).

Menurutnya, penyebaran isu SARA demi kepentingan politik itu adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga siapapun yang memang mampu mengakomodir seluruh kepentingan semua konsestan.

“Siapapun yang menang nanti, kelompok yang dianggap termajinalkan harus tetap diperhatikan,” kata dia.

Ia menilai dalam dua bulan terakhir, isu SARA dan intoleran kerap mewarnai jalannya masa kampanye secara tertutup tersebut. Ia mencontohkan pemasangan baligo/spanduk SKB 3 menteri yang berpotensi merugikan salah satu calon.

Hingga larangan beribadah dan renovasi masjid yang dikelola oleh Ahmadiyah Singaparna, terjadi selama pilkada berlangsung.

“Praktik diskriminasi terhadap aliran berbeda itu bisa jadi bermuara pada kepentingan politik praktis,” kata dia.

Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad mendukung upaya penyadaran masyarakat, pentingnya meninggalkan politik berbau SARA.

Menurut Rumadi, isu SARA dalam kontestasi politik memiliki dampak panjang, sehingga kelompok antar agama yang terkena dampak itu, perlu waktu lama  untuk memulihkannya.

Khusus Pilkada Tasikmalaya, melalui forum dalam Hari Toleransi Internasional itu, Rumadi menyarankan agar memilih pemimpin yang bukan menjadi problem, tetapi mereka yang bisa menyelesaikan persoalan keagamaan dan sosial. “Termasuk melakukan pencegahan,” kata dia.

 

Isu SARA Tidak Hasilkan Suara

Sementara itu, Peneliti LIPI sekaligus PP Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani menyampaikan, larangan menggunakan isu SARA sendiri sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang Pilkada No 10 tahun 2016.

“Misalnya dalam Pasal 69 huruf (b) menyatakan, dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, cagub, cabup, cawalkot/ parpol,” kata dia.

Dalam poin lainnya juga disebutkan larangan melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba parpol, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.

Padahal berdasarkan survei, menurut Najib, penggunaan isu SARA dalam beberapa pelaksanaan pilkada tidak terlalu berpengaruh pada suara.

Khusus Pilkada Tasikmalaya, penyebaran kasus intoleran terbilang tinggi sehingga mendapatkan reputasi sebagai daerah intoleran tingkat nasional.

“Jika dibandingkan dengan daerah tetangganya seperti Garut dan Bandung kasus intoleransi relatif lebih sedikit, padahal disana juga ada kelompok semisal Ahmadiyah dan Syiah maupun minoritas lainnya,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya