Kisah Cinta Abadi Putri Raja Bali Pemeluk Agama Islam

Di Denpasar terdapat sebuah makan putri Raja Bali yang diketahui sebagai pemeluk agama Islam. Makamnya sangat dijaga dan dirawat masyarakat sekitar. Yang menarik adalah saat kita menelusuri perjalanan kisah cinta Putri Raja itu.

oleh Dewi Divianta diperbarui 24 Jul 2021, 03:00 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2021, 03:00 WIB
Kisah Cinta Abadi Putri Mahkota Raja Bali Pemeluk Agama Islam
Kisah cinta sang putri mahkota berawal dari sayembara. (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Sebuah makam di komplek pemakaman Puri Agung atau Kerajaan Pemecutan, Denpasar Barat, Bali, selalu kebanjiran peziarah, terlebih menjelang bulan puasa. Selain umat muslim, pemeluk Hindu jugamengkeramatkan makam tersebut. Menelisik sejarahnya, di balik makam tersebut tersimpan kisah yang menggetarkan dari seorang putri mahkota atau seorang putri Raja Bali.

Syahdan, Raja Pemecutan Denpasar memiliki seorang putri cantik yang amat disayanginya. Putri Raja Bali/Pemecutan itu bernama Gusti Ayu Made Rai. Kecantikannya tersohor seantero Bali. Tak sedikit pangeran dari kerajaan lain yang ingin mempersunting sang putri.

Saat beranjak remaja, musibah menimpa Gusti Ayu Made Rai. Ia terkena penyakit kuning (liver). Bertahun-tahun penyakit itu tak dapat disembuhkan meski sejumlah balian (dukun) telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Kemudian, ayah sang putri mahkota bertapa semedi demi meminta petunjuk Tuhan YME untuk kesembuhan putrinya.

Jro Mangku I Made Puger, juru kunci makam Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah, pernah mangatakan, ayah Gusti Ayu Made Rai mendapat pawisik (bisikan dari Yang Maha Kuasa) agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara.

Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali. Kesempatan juga terbuka bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya maka akan dinikahkan.

"Sabda sayembara Raja Pemecutan didengar oleh ulama dari Yogyakarta. Ulama ini memiliki ilmu kebatinan tinggi dan memiliki anak didik kesayangan dari Bangkalan, Madura, bernama Pangeran Cakraningrat IV," tutur Jro Mangku.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Cinta Pandangan Pertama

Kisah Cinta Abadi Putri Mahkota Raja Bali Pemeluk Agama Islam
Makam sang putri mahkota ditumbuhi pohon tinggi yang diyakini merupakan perwujudan dari rambut sang putri. (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Ulama dari Yogyakarta itu memanggil Pangeran Cakraningrat IV untuk datang ke Yogyakarta. Setelah menghadap, sang ulama memerintahkan agar Pangeran Cakraningrat IV pergi ke tanah Bali untuk menemui Raja Pemecutan Badung.

Singkat cerita, Pangeran Cakraningrat IV berangkat ke Bali ditemani 40 orang prajurit. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksudnya untuk mengobati tuan putri yang tengah sakit keras.

"Pada saat pertemuan pertama dan bertatap mata antara Pangeran Cakraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai, beliau berdua sudah jatuh cinta," ucap Jro Mangku.

Selanjutnya, Pangeran Cakraningkrat IV membacakan mantra untuk menyembuhkan penyakit tuan putri. Pangeran Cakraningrat IV berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja.

Sesuai janji raja, keduanya pun dinikahkan. Bukan karena janji semata, pernikahan itu memang dilandasi cinta oleh Pangeran Cakraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai. Beberapa saat setelah menikah, Pangeran Cakraningrat IV mohon pamit kembali ke Bangkalan, Madura. Gusti Ayu Made Rai yang telah sah menjadi istrinya diajak ikut serta.

Di Bangkalan, Madura, kedua mempelai diupacarai secara Islami. Gusti Ayu Made Rai menjadi mualaf (pemeluk agama Islam). Nama beliau diubah menjadi Raden Ayu Siti Khotijah alias Raden Ayu Pemecutan.

Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Salat lima waktu tak pernah ditinggalkan oleh istri keempat Pangeran Cakraningrat IV itu. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khotijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV, untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali.

"Beliau rindu dengan ayah, ibu, dan keluarga besar Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan beliau pulang ke Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khotijah," kata Jro Mangku.

Pulang Selamanya

Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Salat lima waktu tak pernah ditinggalkan oleh istri keempat Pangeran Cakraningrat IV itu. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khotijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV, untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali.

"Beliau rindu dengan ayah, ibu, dan keluarga besar Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan beliau pulang ke Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khotijah," kata Jro Mangku.

Sebelum pergi ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa guci, keris, dan pusaka yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khotijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khotijah dari tanah Bangkalan menuju Bali, keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Raden Ayu Siti Khotijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya.

Saat Magrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah menunaikan salat di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khotijah mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah barat.

Patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim. Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Bahkan, patih menduga Raden Ayu Siti Khotijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam.

Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patih. Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khotijah dibunuh.

Patih mengajak Raden Ayu Siti Khotijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khotijah mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan pesan kepada patih sebelum mengembuskan napas terakhir.

"Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu (benang tiga warna, yakni putih, hitam dan merah)," kata Jro Mangku.

Aroma Harum dari Jenazah Putri Bali

"Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silakan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat," tutur Raden Ayu Siti Khotijah.

Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan, dari tubuh Raden Ayu Siti Khotijah mengeluarkan asap dan aroma harum. "Kejadian ini dilaporkan kepada raja. Raja sangat menyesal atas keputusannya," tutur Jro.

Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khotijah dikebumikan, tumbuhlah sebatang pohon setinggi 50 sentimeter di tengah makam beliau. Dicabuti sampai tiga kali pohon itu tumbuh kembali.

"Kakek dan nenek saya yang saat itu ditugaskan menjadi juru kunci akhirnya bersemedi. Raden Ayu Siti Khotijah berpesan agar pohon yang tumbuh di tengah makam dipelihara dengan baik karena pohon ini tumbuh dari rambut beliau. Melalui pohon ini Allah SWT memberi mukjizat dan rezeki kepada umat yang berziarah," kata Jro.

Hingga kini, pohon tersebut terus menjulang tinggi. Orang-orang menyebutnya pohon rambut atau taru rambut. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya