Mengintip Fakta Menarik tentang Laga Derby Mataram di Liga 2

Selalu ada yang menarik dari laga antara klub Persis Solo melawan PSIM. Rivalitas keduanya selalu menarik untuk diulas, termasuk rivalitas kedua suporter dari dua tim tersebut. Apa saja yang menarik jelang laga kedua tim di laga lanjutan Liga 2 2021/2022?

oleh Dewi Divianta diperbarui 11 Okt 2021, 20:00 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2021, 20:00 WIB
Miftahul Fahamsyah, Fajar Junaedi, Bola Kita
Jurnalis Miftahul Fahamsyah bersama dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi, merilis sebuah buku berjudul Bola Kita yang seluruh hasil penjualannya akan didonasikan untuk pasien yang terinfeksi virus corona. (Bola.com/Aditya Wany)

Liputan6.com, Solo - Laga lanjutan Liga 2 2021/2022 di Grup C akan mempertemukan Derby Mataram yakni Persis Solo melawan PSIM Yogyakarta. Seperti diketahui kedua tim tersebut memiliki sejarah menarik setiap keduanya bertemu, rivalitas kedua tim tersebut merambat hingga pada suporter fanatiknya. 

Kedua klub yang menjadi bagian pendiri dari PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) tersebut memiliki sejarah kuat menjadi awal mula rivalitas derby Mataram tersebut. Secara kultural Yogyakarta dan Solo (Surakarta) memiliki kultur yang sama, meskipun ada beberapa perbedaan minor. Hal itu dikatakan oleh pemerhati sepak bola dari Yogyakarta, Fajar Junaedy.

"Keduanya mewarisi kultur Mataram, sehingga disebutlah Derby Mataram. Inilah derby yang benar-benar memiliki latar kultural dan historis," katanya kepada Liputan6.com di Solo, Senin (11/10/2021).

Ia menyebut pertandingan Derby Mataram Persis Solo vs PSIM selalu menyisakan cerita menarik bahkan kaitannya bukan hanya tentang persepakbolaan tapi tentang sejarah kedua daerah tersebut. Dari secara geokultural, Solo, dan Yogyakarta ini berdekatan baik secara fisik maupun kultural.

"Jika kita ke makam raja trah Mataram di Imogiri Yogyakarta maka kita jumpai abdi dalem Yogyakarta dan Surakarta," ujar dia.

Dosen Ilmu Komunikasi di UMY dan UMS tersebut melanjutkan, rivalitas kedua tim dan suporternya tersebut bukan hanya tentang sepak bola, tentang tentang sejarah pada pascakemerdekaan RI. Ia menyebut adalah ada daerah kantong Surakarta yang berada di wilayah Kota Pelajar tersebut, hal itu terbukti dengan adanya bukti sejarah yang dibangun oleh Pakubuwono. 

"Sampai beberapa tahun pertama kemerdekaan, ada wilayah di Yogyakarta yang menjadi enclave (kantong daerah) Surakarta. Seperti daerah Jagalan di selatan Kotagede dan Imogiri. Jejak artefaknya masih bisa dijumpai sampai saat ini, seperti tugu yang dibangun oleh Pakubuwono," imbuhnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Bukan Sekadar Rivalitas Sepak Bola

Suporter Persis Solo yang Dikenal dengan sebutan Pasoepati sebelum Pandemi Covid-19
Suporter Persis Solo yang Dikenal dengan sebutan Pasoepati sebelum Pandemi Covid-19 (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Kendati begitu, Fajar mengaku tidak mengetahui secara pasti tahun berapa artefak tersebut berdiri. Dari sejarah tersebut lah rivalitas kedua tim asal Surakarta dan Yogyakarta terjadi. 

Fajar membeberkan, terdapat dua enklave (daerah kantong) Surakarta di Yogyakarta, yakni Kotagede dan Imogiri. Dulu keduanya menjadi wilayah administrasi pemerintah Surakarta. Ada pergesekan budaya di Kotagede Surakarta dan Kotagede Yogyakarta dengan Imogiri Surakarta dan Imogiri Yogyakarta

"Rivalitas keduanya sudah terjadi lama, namun rivalitas yang menjurus pada konflik fisik antarsuporter terutama diwariskan dalam wacana lisan pasca kerusuhan yang menyebabkan Suporter PSIM dimasukan Kandang Menjangan," tutur Fajar.

Fajar melihat konteks rivalistas tersebut adalah satu peristiwa pada masa transisi pada masa orde baru ke masa reformasi. Peristiwa itu dibarengi dengan konflik komunal bukan hanya lantaran perseteruan atau rivalitas dari ranah sepak bola saja.

Konflik komunal adalah terjadinya pergeseran nilai dan disintegrasi norma yang kecenderungan membangkitkan disharmoni (tidak Kesesuaian) sehingga mengarah ke kegiatan dihedritasinya (alih fungsi) kepercayaan kepada identitas komunal.

"Transisi era Orde Baru ke Reformasi yang diwarnai berbagai konflik komunal, bukan hanya antarsuporter sepak bola. Jadi Derby Mataram bukan sekedar tentang rivalitas suporter tapi ada kaitannya dengan sejarah," ujar dia. 

Sementara itu, salah satu anggota Pasoepati sebutan untuk suporter fanatik Persis Solo, Praditya Yoga Adi Wardana atau yang karib disapa Jogrez mengaku pertandingan pada laga Laskar Samber Nyawa melawan Laskar Mataram itu bukan hanya sekadar laga tapi tentang harga diri daerah mereka. 

"Persis Solo bagaimanapun harus menang dalam laga besok melawan PSIM. Karena ini soal harga diri," ujar Jogrez.

Ia mengaku kendati tak bisa menonton langsung laga tim kesayangannya karena masih dalam situasi pandemi, dirinya tetap menahan diri untuk tidak nekat datang ke stadion dan menikmati setiap laga Persis Solo dari layar kaca. 

"Laga-laga kali ini mungkin boleh dibilang agak berbeda, karena laga digelar tanpa penonton. Beda rasanya karena tidak bisa menonton langsung ke stadion dan dukung Persis Solo langsung dari tribun. Jadi tensi dan gairah laga melawan PSIM yang biasanya berlangsung dengan tensi tinggi akan terkesan biasa aja untuk kali ini," pungkas Jogrez.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya