Budidaya Ikan Dewa, Endemik Langka yang Jadi Andalan Warga Cimalaka

Meski masih kecil, benih ikan dewa saat ini mulai banyak dicari pembudidaya.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 21 Okt 2021, 07:00 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2021, 07:00 WIB
Ikan Dewa
Dedin Khoerudin (35), pembudidaya ikan dewa memberi pakan ke kolam ikan air tawar yang berada di Dusun Margamukti RT 01 RW 04, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Sabtu (16/10/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Ikan-ikan di kolam itu tiba-tiba melompat ke segala arah, menimbulkan riak air yang tak beraturan. Ikan yang sekilas mirip dengan ikan mas tersebut berebut pelet atau pakan ikan padat yang ditebar Dedin Khoerudin (35).

Pagi itu, Dedin tengah menebar pelet ke kolam ikan dewa yang berada di samping halaman rumahnya. Selepas menebar benih, Dedin duduk diam mengamati ikan dewa yang berenang.

Dedin merupakan pembudidaya ikan dewa atau juga dikenal dengan ikan kancra yang bernama latin Tor soro. Pria yang ditunjuk sebagai Ketua Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Mina Kancra Ciburial ini membudidayakan ikan dewa yang keberadaannya mulai langka sejak beberapa tahun terakhir.

Sejumlah ikan dewa seukuran jari kelingking ikut terjaring ketika serokan jaring dimasukkan ke dalam kolam. Dedin mengamati hasil tangkapannya beberapa saat, kemudian ikan-ikan kecil kehitaman itu dia lepas ke kolam.

"Ini untuk melihat apakah ada perubahan ukuran panjang. Untuk ukuran seperti ini sudah bisa mencapai 3-5 centimeter," katanya saat ditemui Liputan6.com di Dusun Margamukti RT 01 RW 04, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Sabtu (16/10/2021).

Meski masih kecil, benih ikan dewa saat ini mulai banyak dicari pembudidaya. Benih ikan ini dihargai Rp1.000 per centimeter panjang ukuran ikan. Artinya, satu ekor benih Rp5.000.

"Kalau dipelihara di kolam, airnya harus diusahakan mengalir lancar dan berkelanjutan. Selain itu, kualitas airnya juga harus terus diperhatikan karena untuk pertumbuhan ikan dewa memiliki suhu 21 hingga 25 derajat Celcius," ujar Dedin.

Untuk ikan dewa dengan bobot satu kilogram, harganya mencapai Rp1.000.000. Itulah sebabnya Dedin bisa mendapatkan omzet hingga Rp8 juta per bulan. Setelah dikurangi ongkos produksi setengahnya dari omzet, maka dia bisa mengantongi laba Rp4 juta.

“Permintaan sekarang banyak dari benih sampai konsumsi. Bahkan untuk ekspor terus meningkat,” ucapnya.

Dedin mengatakan, setelah adanya teknologi pakan formula dan bimbingan penyuluh perikanan setempat, produksi benih ikan dewa pada 2018 yang hanya berjumlah 30.000 ekor per tahun dapat meningkat secara signifikan menjadi 120.000 ekor per tahun pada 2021.

“Saat ini, di UPR Mina Kancra Ciburial sudah ada 11 petani yang melakukan usaha pembenihan, pendederan dan pembesaran ikan dewa,” kata Dedin.

Pasar ekspor pun memburu ikan dewa hingga ke Cimalaka. Dedin bersama para anggota UPR Mina Kancra Ciburial, tengah menyiapkan permintaan pasar ekspor negara Malaysia. Di pasar internasional, ikan dewa sohor sebagai ikan mahseer.

“Untuk di Malaysia harganya lebih mahal, Rp3-7 juta per kilogramnya. Bahkan untuk kelas sultan yang bobot 5 kilogram ke atas harganya bisa mencapai Rp18-20 per kilogramnya,” tutur Dedin.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pemasaran Digital dari Desa

Ikan Dewa
Benih ikan dewa yang dibudidayakan UPR Mina Kancra Ciburial. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Menyadari potensi pasar ikan dewa semakin besar, Dedin mengajak adik iparnya Erik Hamdan Nugraha (28) bekerja sama. Erik bertugas selaku pemasaran ikan dewa dengan bantuan digital marketing. Mulai dari membangun strategi pemasaran, melihat persaingan dan kisaran harga jual.

Sejak 2020, Erik mulai terbiasa memasarkan ikan dewa hasil budidaya UPR Mina Kancra Ciburial melalui Facebook, Shopee, Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak. Dengan cara ini, pemasaran produk ikan bisa sampai ke luar negeri, sehingga konsumen tahu keberadaan produksi ikan dari desanya.

“Pelanggan semakin ke sini walau masih pandemi justru semakin banyak. Kadang tiap bulan ada saja permintaan yang enggak tercukupi karena saking banyaknya permintaan karena kita kehabisan stok,” katanya.

Penggunaan pemasaran produk ikan dewa dengan kemajuan internet dan teknologi digital turut mempermudah pemasaran produk. Banyak masyarakat yang lebih memilih untuk belanja online di tengah kondisi pandemi karena lebih mudah dan banyak pilihan sehingga turut memperluas pasar.

“Kalau di olshop saya cantumkan 50 ekor, tapi yang beli 10 ekor atau 20 ekor juga tetap saya layani. Paling banyak itu justru pesan lewat Youtube karena ada video review ikan-ikan kita,” ujar Erik.

Erik mengaku belajar pemasaran digital secara otodidak dari Youtube. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai tenaga kontrak pengelasan di perusahaan listrik. Tak kunjung mendapatkan pekerjaan hingga pandemi Covid-19 mendera Indonesia sejak awal 2020, ia pun akhirnya memutuskan terlibat dalam pemasaran ikan dewa.

“Saya lihat-lihat lalu dicoba, ternyata mudah. Karena bisnis ini menjanjikan, saya memilih untuk terus melanjutkan pekerjaan ini,” cetus ayah satu anak itu.

Persembahan untuk Raja

Ikan Dewa
Ikan dewa berukuran 50 centimeter yang dibudidayakan UPR Mina Kancra Ciburial. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Ikan dewa merupakan ikan endemik Pulau Jawa dan Sumatera. Ikan ini memiliki keistimewaan layaknya dewa. Meski harganya selangit, ikan ini tetap menjadi buruan masyarakat terutama ketika acara ritual adat.

Bagi Suku Batak, ikan dewa memiliki penting karena sering disajikan dalam acara adat, biasanya pernikahan ataupun kelahiran. Harga yang dipatok untuk sajian dalam tradisi Batak ini pun tak terhingga. Nama untuk ikan dewa di tanah Batak sendiri yaitu ihan batak.

Ihan batak dipercaya sebagai makanan para raja dan persembahan (upa-upa) kepada Tuhan yang diberikan pihak Hula-hula atau pihak pemberi istri kepada Boru atau pihak penerima istri.

Dalam prosesi adat perkawinan orang Batak, pemberian ini sebagai balasan pemberian makanan oleh pihak Boru dengan tujuan agar si penerima mendapat berkat dari Tuhan berupa kesehatan dan panjang umur, mendapatkan banyak keturunan, dan dimudahkan rezekinya.

Selain Suku Batak, jelang perayaan Hari Raya Imlek, ikan dewa juga kerap diburu warga Tionghoa. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa ikan ini membawa keberuntungan dan bisa mendapatkan umur yang panjang.

Peneliti ikan dewa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP) Bogor Otong Zaenal Arifin bersama rekan-rekan dalam bukunya, Budidaya Ikan Dewa terbitan IPB Press, melihat peluang dan potensi tersebut dengan melakukan domestikasi. Domestikasi adalah proses adaptasi pada lingkungan budidaya dari generasi ke generasi.

Tujuan dari domestikasi ikan dewa ini agar pengembangbiakan yang meliputi aspek eksplorasi, koleksi, dokumentasi, karakterisasi, dan penguasaan teknologi pembenihan secara alami maupun buatan serta pembesarannya.

Restoran dan masyarakat Batak konsumen ikan dewa di kolam Dedin Khoerudin biasanya memesan ikan berdasarkan panjang dan jumlah tertentu. Ikan yang banyak dicari berukuran 20-30 centimeter.

“Cara memasaknya itu yang khas, diarsik. Saya juga sudah pernah coba ikan ini dan dagingnya memang lebih enak dibandingkan ikan tawar jenis lain,” katanya.

Berdasarkan penelitian, ikan dewa memiliki kandungan albumin yang tinggi hampir setara dengan kandungan albumin pada ikan gabus yaitu mempunyai Fish Serum Albumin (FSA) sebesar 102,67 ± 2,99 mg. Variasi kandungan protein seperti FSA dan komponen lain dalam daging ikan tergantung pada jenis ikan, ukuran, tingkat pemberian pakan,keberadaan dan kualitas pakan, serta kandungan energi yang dapat dicerna pada pakan (Niwa et al.,2007).

“Kalau masyarakat tahu ikan ini enak, kandungan protein tinggi, lama-lama masyarakat banyak yang mengkonsumsi,” ucap Dedin.

Ikan dewa yang berasal dari keluarga ikan karper dari suku Cyprinidae ini sebetulnya tergolong langka. Budidaya ikan ini juga tergolong lambat pertumbuhannya. Untuk mencapai ukuran konsumsi diperlukan waktu lebih dari satu tahun.

Nama dewa sendiri muncul diduga karena jenis ikan konsumsi yang memiliki harga mahal ini sejak dulu. Ikan ini sering ditemukan menghuni kolam dan telaga larangan yang dikeramatkan oleh masyarakat. Tidak boleh ditangkap sembarangan, namun harus melalui ritual khusus.

Ikan dewa senang hidup di sungai di daerah pegunungan yang memiliki aliran deras. Di habitat asalnya, ikan dewa dapat tumbuh hingga lebih dari satu meter dengan berat lebih dari 30 kg.

“Ikan dewa berbeda dengan ikan mas atau ikan nila yang 3-4 bulan bisa panen. Kalau ikan ini bisa sampai tiga tahun dibudidayakan di kolam air tenang, tapi kalau di sungai yang airnya deras bisa lebih cepat sebetulnya,” ucap Dedin. 

Dedin mengakui salah satu kendala budidaya ikan dewa adalah jangka waktu pembesaran yang cukup lama, yakni tiga tahun. Itulah sebabnya harga ikan dewa pun selangit.

“Karena aslinya ikan ini habitatnya di air deras, tapi sekarang sudah bisa dibudidayakan di air tenang,” ungkap Dedin.

Pembesaran Didorong Pakan Formula

Ikan Dewa
Dedin Khoerudin (35), pembudidaya ikan dewa memberi pakan ke kolam ikan air tawar yang berada di Dusun Margamukti RT 01 RW 04, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Sabtu (16/10/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Gaung budidaya ikan dewa atau kancra di Kecamatan Cimalaka, Sumedang, terdorong oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM).

Para peneliti melakukan riset untuk meningkatkan produksi ikan Tor soro tersebut melalui aplikasi pakan induk dan pendederan.

Kepala Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) KKP Yayan Hikmayani mengatakan, riset tersebut dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP) Bogor, di bawah supervisi Pusriskan.

BRPBATPP memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan riset di bidang teknologi budidaya air tawar. Salah satu sub bidang yang dikerjakan adalah riset nutrisi dan teknologi pakan ikan.

Kepala BRPBATPP Nurhidayat menjelaskan, riset yang dipimpin oleh peneliti Mas Tri Djoko Sunarno bersama dengan penyuluh perikanan dimulai pada 2018 lalu. Pihaknya melakukan aplikasi pakan khusus induk dan pendederan ikan dewa.

Hasil aplikasi teknologi pakan ini di lapangan menunjukkan teradopsinya teknologi budidaya ikan dewa. Selain itu, hasil menunjukkan peningkatan performa reproduksi induk ikan, di mana sebelum aplikasi pakan pembudidaya hanya mampu memijahkan ikan dewa 1-2 kali setahun, namun kini menjadi 3-5 kali setahun.

Hal ini berdampak terhadap kenaikan produksi benih ikan Tor soro sebesar 114,3%, di mana sebelum aplikasi produksi benih hanya 42.000 ekor per tahun, kini meningkat menjadi 90.000 ekor per tahun.

Menurut Hidayat, setelah mengadopsi teknologi ini, pendapatan masyarakat Cimalaka pun meningkat. Pembudidaya ikan dewa di bawah binaan BRPBATPP sebelum adanya teknologi pakan induk berpenghasilan sekitar Rp4,6 juta per bulan dan sekarang setelah mengadopsi teknologi ini meningkat menjadi Rp 8,7 juta per bulan.

Dampak lain yang terjadi adalah meningkatnya pembudidaya ikan dewa di wilayah Sumedang, dari awalnya hanya 10 orang meningkat drastis menjadi 50 orang pendeder ikan.

“Teknologi ini menjadi role model bagi peningkatan budidaya ikan Tor soro melalui pakan induk bagi wilayah lain di Indonesia. Dampak lain kegiatan ini adalah dapat terciptanya kawasan inovasi budidaya ikan Tor soro di Kabupaten Sumedang,” ujarnya.

Adapun transfer teknologi pakan formulasi untuk percepatan pematangan gonad induk, pembenihan dan pembesaran ikan dewa yang dilaksanakan di Kecamatan Cimalaka, Sumedang, dilakukan sejak 2019.

Hasil penelitian yang dipimpin oleh Peneliti BRPBATPP, Mas Tri Djoko Sunarno telah memperlihatkan bahwa dengan aplikasi pakan formulasi, pematangan gonad induk ikan dewa dapat menjadi lebih cepat. Sehingga pembudidaya dapat memijahkan ikan 3-5 kali dalam setahun dan tidak tergantung pada musim pemijahan.

Teknologi ini pun telah terbukti berdampak signifikan dengan meningkatnya produksi benih ikan dewa yang secara langsung meningkatkan penghasilan pembudidaya ikan dan mengurangi ketergantungan terhadap penangkapan ikan dewa di habitat aslinya.

Tinggal di Desa Rezeki Kota

Ikan Dewa
Dedin Khoerudin (35), pembudidaya ikan dewa menunjukkan ikan dengan panjang sekitar 50 centimeter yang dibudidayakan di Dusun Margamukti RT 01 RW 04, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Sabtu (16/10/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Desa Licin merupakan desa yang berada di wilayah Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Wilayah desa ini berada di sebelah utara pusat Kecamatan Cimalaka dan berada di kaki Gunung Tampomas bagian selatan.

Gunung Tampomas memiliki kisah legenda yang diceritakan secara turun-temurun hingga sekarang. Dulunya, gunung ini bernama Gunung Gede.

Berdasarkan cerita rakyat pada masa kerajaan Sumedang, Gunung Gede pernah mengeluarkan erupsi. Untuk menghentikan erupsi tersebut, Raja Sumedang kala itu harus melemparkan keris emas ke dalam kawah Gunung Gede. Sejak saat itulah nama gunung diubah menjadi Gunung Tampomas.

Jika dilihat dari pusat pemerintahan Kecamatan Cimalaka, Desa Licin posisinya berada di sebelah utara dengan jarak sekitar 3,4 kilometer. Adapun Desa Licin merupakan desa pemekaran yang baru berdiri sekitar 1981.

Sebelumnya, wilayah Desa Licin merupakan bagian dari wilayah Desa Cimalaka. Dikarenakan luasnya wilayah Desa Cimalaka, akhirnya Desa Cimalaka dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa Cimalaka dan Desa Licin.

Desa Licin memiliki luas wilayah total sebesar 466,9 hektar. Dengan membandingkan luas wilayah Desa Licin dengan luas desa lainnya yang berada di Kecamatan Cimalaka, wilayah Desa Licin merupakan desa terluas.

Wilayah yang berada dekat dengan pegunungan diberkahi sumber mata air. Salah satu manfaat mata air tersebut adalah dengan mengalirkannya ke kolam ikan. Anak Sungai Cipeles yang berasal dari mata air Ciburial mengaliri tiga kecamatan di Sumedang, yaitu Kecamatan Cimalaka, Kecamatan Cisarua, dan Kecamatan Paseh.

Dedin Khoerudin merupakan generasi ketiga petani kolam ikan di Dusun Licin, Kecamatan Cimalaka. Dari ayahnya, Dedin melanjutkan warisan berupa kolam budidaya ikan air tawar. Selama puluhan tahun membudidayakan ikan air tawar, ikan dewa justru bukan menjadi primadona seperti sekarang ini.

“Dulu itu, kakek saya membawa indukan ikan itu dari Sungai Cimanuk, Garut. Lama-lama berkembang biak, tapi lambat sekali pertumbuhannya. Sehingga waktu itu belum menjadi andalan seperti sekarang,” ujar Dedin.

Sejak kecil, Dedin sudah mengikuti jejak sang ayah bertani ikan. Pengetahuan yang terbatas membuat masyarakat hanya bisa meraup keuntungan budidaya ikan mas dan nila jika musim lebaran tiba.

“Kita baru dapat uang kalau momen lebaran saja. Kalau sekarang sudah masuk ikan dewa ini kita tiap hari omset bisa dapat,” ucap Dedin.

Dedin menerawang mengingat suatu masa di 2015. Kala itu, tersisa calon indukan ikan dewa sebanyak 15 ekor dengan bobot rata-rata 8 ons hingga satu kilogram. Ia bertemu dengan penyuluh dari Dinas Perikanan Sumedang.

“Kami kolaborasi cara pembudidayaan ikan dewa sampai belajar ke Bogor sekitar 2017. Setelah belajar kami kembangkan di sini dan Alhamdulillah sampai saat ini berhasil,” katanya.

UPR Mina Kancra Ciburial pun terbentuk dengan 12 orang anggota awalnya. Masing-masing anggota punya satu hingga tiga kolam. Dari anggota yang punya indukan, ikan digabungkan ke satu kolam lalu dibudidayakan. Hasilnya dibagikan ke anggota yang lain untuk dibudidayakan lagi, dipelihara di tiap kolam masing-masing.

“Saya kebetulan terlahir dari keluarga seorang petani. Sempat ke luar kota bekerja. Sejak 2011 sampai saat ini masih sibuk dengan ikan karena permintaan pasar sudah semakin banyak. Saya lebih memilih kesibukan dengan budidaya ikan dewa saja,” tutur Dedin.

 

Menuju Kampung Kancra

Ikan Dewa
Dedin Khoerudin (35), pembudidaya ikan dewa menunjukkan ikan dengan panjang sekitar 50 centimeter yang dibudidayakan di Dusun Margamukti RT 01 RW 04, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Sabtu (16/10/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

BRSDM saat ini tengah menggalakkan pembentukan dan pengembangan kampung ikan di berbagai daerah dalam rangka mendukung program prioritas KKP yang digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono.

Pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal tersebut dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi perikanan.

Spesies ikan dewa sendiri merupakan ikan endemik bernilai ekonomis tinggi dan memiliki nilai kultural bagi masyarakat Kabupaten Sumedang. Ke depan, budidaya ikan dewa ini menjadi kampung kancra. 

“KKP dan Pemda perlu bersinergi agar sumber daya perikanan setiap daerah yang potensial dijadikan kampung ikan dapat lebih optimal, sehingga teknologi budidaya perikanan yang dikembangkan dapat sejalan dengan kearifan lokal di daerah tersebut,” kata Yayan Hikmayani.

Untuk meningkatkan kearifan lokal dari sudut pandang perikanan dapat berkaitan dengan tiga aspek. Pertama, jenis ikan memiliki nilai tradisi atau adat di masyarakat. Kedua, memiliki karakter spesifik untuk wilayah tertentu.

Ketiga, memiliki nilai yang cukup baik terutama export oriented, ketahanan pangan dan kesejahteraan. Ikan dewa pun dinilai memiliki ketiga aspek tersebut.

"Karenanya kami berharap agar kampung ikan yang tengah dicanangkan, selain menjadi terobosan bagi KKP, juga dapat menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi daerah yaitu terjadinya peningkatan peran terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), peningkatan konsumsi ikan masyarakat lokal, peningkatan akses pasar produk perikanan dan peningkatan kesempatan kerja di desa," ujar Yayan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya