Gania, Pejuang Cilik Melawan Penyakit Langka Spinal Muscular Atrophy

Spinal Muscular Atrophy (SMA) adalah penyakit yang disebabkan oleh mutasi atau kerusakan pada gen. Salah satu gejalanya adalah kelemahan pada otot-otot penyangga tubuh.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 09 Mar 2022, 23:38 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2022, 05:00 WIB
Spinal Muscular Atrophy
Gania Nur Aisha, anak pertama dari Retno yang berusia enam tahun diketahui menderita Spinal Muscular Atrophy. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Sistem pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas mulai diterapkan kembali di Kota Bandung, Jawa Barat. Retno Dwi Ramdani (30), salah satu orangtua anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD Muhammadiyah 2 Bandung mengaku anaknya antusias saat akan kembali belajar di sekolah.

Gania Nur Aisha, anak pertama dari Retno yang berusia enam tahun ini diketahui menderita Spinal Muscular Atrophy.

"Anak saya masuk kelompok 2. Kelasnya mulai jam 9 pagi," kata Retno saat ditemui di SD Muhammadiyah 2 Bandung, Selasa (8/2/2022).

Mendapati kabar sekolah menerapkan kembali tatap muka, Retno pun telah mempersiapkan anaknya dalam menghadapi pembelajaran di sekolah. Termasuk meminta sang suami, Sugeng Darmanto (33) menyiapkan kursi roda khusus untuk Gania.

"Ayahnya tadi jam 8.30 nganter kursi roda dulu ke sekolah. Setelah itu Gania yang dijemput dan saya ikut nganter," ujar Retno.

Sekolah Gania yang beralamat di Jalan Kebon Jayanti Gang Pensiun No 125 berada di lorong sempit. Kendaraan roda dua yang dibawa Sugeng pun harus terparkir sejauh 150 meter dari sekolah.

Dari gang kecil, Retno harus menggendong putrinya karena Gania tak bisa berjalan seperti anak normal seusianya. Namun, semua hambatan itu tak pernah menyurutkan semangat Retno dan buah hatinya mendapatkan pendidikan agar masa depan Gania menjadi lebih baik.

Retno melihat ada antusiasme dalam diri anaknya saat mengikuti pembelajaran tatap muka. Siswa lain dan pengajar di sekolah pun menerima anaknya dengan hangat.

"Kalau belajarnya di rumah terus kan enggak ada temannya. Gania juga lebih senang karena di sekolah banyak teman yang sudah menerima keadaannya," kata Retno.

Retno mengaku tidak begitu khawatir terhadap penyebaran Covid-19 saat PTM dimulai. Pihak sekolah hingga para siswa lainnya telah siap dengan protokol kesehatan yang telah ditentukan.

"Anak saya sudah divaksin. Di sekolah, guru dan petugasnya juga sudah divaksin dan anak-anak sudah vaksin. Prokesnya sudah ketat untuk tatap muka," ucapnya.

Meskipun kondisi fisiknya terbatas, tidak membuat Gania berkecil hati. Ia tetap bersemangat mengikuti kegiatan di sekolah pagi itu. Sesekali ia turut bertepuk tangan bersama puluhan siswa lainnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Awal Mula

Spinal Muscular Atrophy
Gania Nur Aisha, penyandang penyakit langka Spinal Muscular Atrophy mengikuti kegiatan sekolah tatap muka. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Retno bercerita bahwa Gania mengalami kelumpuhan sejak kecil. Hal ini disebabkan penyakit langka yang menyerang tubuhnya, yaitu Spinal Muscular Atrophy (SMA).

SMA adalah penyakit yang disebabkan oleh mutasi atau kerusakan pada gen. Salah satu gejalanya adalah kelemahan pada otot-otot penyangga tubuh. Seperti lengan, punggung ataupun tungkai dengan kekuatannya bervariasi.

"Pas lahir normal, menangis seperti biasa, berat badan normal. Sudah beberapa bulan juga bisa guling-guling. Setelah itu (usia satu tahun) merayap dan merangkak enggak bisa, bangun sendiri juga enggak bisa," tutur Retno.

Gania didiagnosis menderita SMA tipe 2 sejak usianya masih 1,5 tahun. Retno sebetulnya mulai curiga dengan kondisi anak pertamanya itu saat usianya sekitar sembilan bulan, Gania belum bisa merangkak.

Gania frustasi ketika dalam posisi tengkurap. Pada usia itu, ia juga belum bisa menggulingkan badannya kembali terlentang saat ditengkurapkan. Namun, saat dibantu didudukkan, dia bisa bertahan lama.

"Pas umurnya setahun setengah, saya datang ke posyandu, lalu disarankan berobat umum ke dokter anak. Dari situ saya juga bikin BPJS. Mulai diterapi sempat ada kemajuan, bisa berjalan beberapa langkah meski harus dipegang. Kata dokternya diperkirakan SMA, terus minta di EMG (elektromiografi) di RSHS. Dari situlah ketahuan ke arah SMA," kata Retno.

Namun, lama kelamaan kaki Gania semakin lemas, tidak mau menopang badannya. Bahkan untuk berdiri, Gania sering kali terjatuh karena tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Hingga usianya beranjak sekitar tiga tahun, kaki Gania sudah tidak berfungsi dengan baik menopang tubuhnya.

Mendapatkan Bantuan

Saat ditemui seusai pulang sekolah di rumahnya di Gang Sukamanah No 57 RT 05 RW 13, tampak Gania duduk di kursi roda. Di atas sepetak lantai halaman, Syifa, adik Gania berada di samping dan terus memandangi aktivitas sang kakak.

Gania hanya bisa mengandalkan diri pada kursi rodanya saja. Kursi roda itu didapatkan dari sumbangan para dermawan. Namun, ia tetap bersemangat karena dengan kursi roda itu, dia bisa bersekolah tanpa rasa takut akan jatuh dari kursi.

"Senang bisa pakai kursi roda, ke mana-mana bisa jalan. Teman-teman dan guru di sekolah juga sering bantu mengarahkan," ujar Gania.

Kursi roda khusus milik Gania didapat sebagian dari bantuan kitabisa.com dan salah satu sponsor. Untuk membeli kursi roda seharga Rp9 juta tersebut, keluarga Retno tidak mampu. 

"Kalau bayar tunai waktu itu kita tidak mampu. Setelah pihak rumah sakit menyarankan, akhirnya bisa dibantu dari kitabisa dan ada satu sponsor yang menolong. Sisanya dipakai untuk alat bantu gerak Gania dan modal buka warung kecil-kecilan," kata Retno.

Retno mengaku secara umum, fasilitas BPJS sangat membantu. Namun, untuk sistem, masih sangat kurang bersahabat untuk pasien dengan penyakit langka dan ada beberapa biaya pengobatan yang sangat tinggi tapi tidak ditanggung. 

"Jadi, kita harus diskusikan dengan dokter agar tahu. Dengan dokter yang tepat, akan tahu harus bagaimana perawatannya," ucapnya.

Permasalahan yang dihadapi keluarga Gania saat ini adalah biaya transportasi untuk terapi ke rumah sakit. Ayah Gania hanya tukang ojek daring dan sesekali mendapatkan pesanan menjahit.

Retno bisa sedikit lega karena selain kursi roda yang dibantu sejumlah pihak, tes genetik (DNA) juga didapatnya secara gratis dari acara yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada pada 2020 lalu.

"Untuk terapi memang disetop karena menurut dokter tinggal dievaluasi. Selanjutnya, terapi dilakukan di rumah. Paling terasa itu kalau ada alat bantu yang enggak ditanggung BPJS. Tes DNA juga mahal dan tidak ditanggung," kata Retno.

Retno dan Sugeng juga tetap percaya, apa pun caranya demi anak, keduanya akan terus mencari obat untuk sang buah hati. "Kalau tanpa bantuan, berat ditanggung sendiri. Tapi demi anak pasti semua akan dilakukan," ucap Retno.

ABK Pun Kembali Tersenyum

Lydia Kidarsa
Lydia Kidarsa sedang menangani pasien yang akan dibuatkan kursi roda. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Lydia Anggraeni Kidarsa turun dari mobilnya yang terparkir di halaman rumah di Jalan Mekarwangi, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Dengan berjalan pelan, ia memasuki garasi rumah yang menjadi bengkel pembuatan kursi roda bagi penyandang disabilitas.

Lydia Kidarsa, mendirikan Bioteknik Design sejak 2006 silam, industri rumahan yang bergerak di bidang desain dan biomedis. Siang itu, ia melakukan persiapan fitting kursi roda Bioteknik Design berwarna merah muda dan ungu yang akan diberikan kepada Joyce Celin Emanuela, salah satu anak penyandang Cerebral Palsy.

Bagi Lydia, merupakan hal yang sangat menyenangkan bisa menyediakan alat bantu yang tepat bagi para penyandang disabilitas anak. Tiga pasien utamanya meliputi penyandang Spinal Muscular Atrophy, Cerebral Palsy, dan Spina Bifida.

"Saya senang, dengan membuat kursi roda itu, bisa "mengubah dunia orang". Satu anak yang tadinya diam saja terus bisa didorong misalnya dibawa jalan-jalan," ujar Lydia saat ditemui Jumat (25/2/2022).

Alumni Teknik Fisika ITB angkatan 1993 dan S2 Teknik Biomedika dan Teknik Desain Industri Royal College of Art dan University of Surrey ini juga mengalami kelainan Spinal Muscular Atrophy sejak kecil.

Lydia mengalami kondisi SMA tipe 3 di mana ia tidak bisa jauh berjalan. Dalam usia empat tahun, Lydia didiagnosis mengalami kelainan genetik tersebut.

"Saya mengalami waktu kecil, enggak ada alat bantu gerak yang sesuai dengan kebutuhan dan saya juga ingin walker yang sesuai. Karena saya saja merasakan begitu, maka dari situ belajar untuk membuat kursi roda yang sesuai dengan kebutuhan ABK," ujarnya.

Sebagai anak berkebutuhan khusus, Lydia  berkesempatan berkembang berkat dukungan keluarga. Ia juga diberi kesempatan bermain dan berpartisipasi di lingkungannya.

Ayahnya yang berlatar belakang teknik mesin, membuat dan memodifikasi alat-alat unik sehingga memudahkan Lydia beraktivitas seperti anak normal lainnya. Lydia kemudian merintis usaha di bidang bioteknik desain sejak 2006 silam. Setelah mengikuti salah satu program beasiswa, permintaan akan produknya meningkat sehingga dia menambah asisten untuk membantunya.

Lydia yang memiliki latar belakang pendidikan teknik fisika, teknik biomedika dan teknik desain industri ini mendirikan bisnis di bidang biotechnic design dengan produk wheelchair walker bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti yang dialaminya dengan harapan anak-anak seperti ini bisa berkembang  di lingkungan masing-masing tanpa kesulitan.

Saat ini, alat bantu postural mobilitas yang sudah dia buat antara lain kursi roda, kursi aktivitas, alat bantu berdiri, dan alat bantu berjalan. Rancangan Lydia bukan sekadar alat bantu, tapi juga bisa digunakan sebagai bagian dari penampilan mereka.

"Kami mendesain berbagai jenis kursi roda di antaranya jenis Kurolata yang umumnya digunakan untuk anak dengan Cerebral Palsy, di mana kursi roda dibuat dengan dudukan yang nyaman dan sandaran lengan yang empuk. Anak diupayakan agar bisa duduk tegak. Kalau lelah, ada fitur tilting," tuturnya.

Saat sandaran direbahkan, sudut dudukan pada kursi roda bisa ikut menyesuaikan sehingga mencegah anak melorot dan titik pusat gravitasi ikut turun sehingga tetap stabil.

"Ada penyangga postur yang bisa disetel sesuai kebutuhan dan saat anak tumbuh bisa diubah lagi penyetelannya. Bahannya diupayakan kuat menahan spastistas,” ujar Lydia.

Lydia berharap orang lain tahu mengenai produk rancangannya ini agar anak-anak berkebutuhan khusus di luar sana bisa memanfaatkan kursi roda buatannya. Mengingat harga yang ditawarkan relatif lebih murah dibandingkan produk sejenis yang didatangkan dari luar negeri.

"Sebenarnya kalau dibandingkan dengan beli dari luar negeri jatuhnya lebih murah. Tapi kalau misalnya dibandingkan dengan eceran yang bukan custom tetap ada cost lebih karena kita bikinnya bukan disetok, tapi sesuai dengan kebutuhan pelanggan," tuturnya.

Ketahui Penanganan Penyandang SMA Lewat Komunitas

Spinal Muscular Atrophy
Para pejuang SMA Indonesia bersama para Spiderman dalam peringatan hari Disabilitas Internasional, 9 Desember 2017 di Taman Balai Kota Bandung. (Foto: smaindonesia.org)

Saat ini, pengetahuan tentang penyakit Spinal Muscular Atrophy (SMA) dan keberadaan penyandangnya di Indonesia masih terbatas. Hal ini menyebabkan penyandang SMA lambat terdeteksi, mendapatkan penanganan yang kurang tepat dengan fasilitas yang kurang memadai, serta tidak jarang mengalami diskriminasi.

Ketua Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia Sylvia Sumargi mengatakan, adanya wadah bagi orangtua yang memerlukan informasi untuk penyintas penyakit langka sangat penting keberadaannya. Menurut dia, jika memiliki anak dengan berkebutuhan khusus carilah komunitas yang sesuai, sebab itu sangat membantu.

"Berbagi informasi baik tentang perawatan dan pengobatan, serta info terkini tentang penanganan kegawatdaruratan itu menjadi penting. Perawatan apa yang bisa dilakukan agar menjaga kondisi penyandang SMA karena penyakit ini kan progresif, semakin lama semakin melemah, rentan terhadap batuk pilek dan ujungnya ke pneumonia. Semua itu ada triknya supaya menjaga otot-otot penderitanya tidak melemah begitu cepat," kata Sylvia saat dihubungi Sabtu (26/2/2020).

Untuk komunitas SMA Indonesia, saat ini sudah jauh lebih baik dibanding waktu 2017 lalu. Di mana pada saat 2 Maret 2017 lalu, hanya beranggotakan empat orang dan terus berkembang menjadi 50 orang pada akhir Desember 2017.

"Sampai sekarang anggota kita ada lebih dari 65 orang. Jumlah anggotanya memang naik turun karena ada yang gabung belum tes DNA, makanya datanya berubah setelah ada yang dites ternyata hanya suspek. Setahun sekali kita juga kumpul untuk berbagi pengalaman plus kita undang narasumber dari dokter," ujar Sylvia.

Sylvia menjelaskan, anggota komunitas SMA Indonesia terdiri dari para penyandang SMA usia dewasa, orangtua penyandang SMA, simpatisan dan sukarelawan serta para ahli yang mendukung dan bersimpati terhadap perkembangan kesehatan dan kualitas hidup penyandang SMA.

Para ahli yang tergabung dalam komunitas adalah para dokter dari berbagai disiplin ilmu mulai dari spesialis anak, saraf, rehabilitasi medis, serta para ahli gizi, ahli genetik, dan robotik.

Domisili para anggotanya pun cukup luas, beberapa ada yang tinggal di luar Indonesia. Demikian pula dengan usia para penyandang SMA bervariasi dari usia 15 bulan hingga dewasa.

Kondisi klinis para penyandang SMA dalam komunitas ini pun bervariasi, mulai dari yang tergantung pada alat bantu nafas seperti ventilator, hingga yang kondisinya masih ringan seperti berkurangnya kekuatan otot-otot gerak.

Komunitas SMA Indonesia ini bertujuan untuk menjadi tempat berbagi pengalaman dan informasi seputar SMA, saling memberikan dukungan secara psikologis dan mengupayakan peningkatan kualitas hidup penyandang SMA.

“Harapannya tentu bisa dikenali secara dini tentang penyandang SMA. Karena semakin dini penanganan semakin baik. Kedua, tahu bagaimana menangani orang SMA baik kondisi kegawatdaruratan dan akses untuk pengobatan,” ucap Sylvia.

Di momen Hari Penyakit Langka Sedunia atau Rare Disease Day yang jatuh setiap 28 Februari, Sylvia mengingatkan lagi pada sesama orang tua, khususnya yang dianugerahi anak berkebutuhan khusus. Menurutnya biar bagaimanapun, kondisi mereka tetaplah menjadi amanah dan memiliki hak yang sama. Meski kondisinya berbeda, otomatis pemenuhan kebutuhan mereka juga akan berbeda.

“Sampai saat ini memang belum ada obatnya di Indonesia. Dari kami dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan adanya obat untuk SMA dengan harganya terjangkau,” ujar Sylvia.

Sebagai informasi, penyakit langka adalah penyakit yang mengancam jiwa atau melemahkan secara kronis dengan prevalensi rendah atau kurang dari 2.000 orang dalam suatu populasi dan tingkat kerumitan yang tinggi. Penyakit langka sering dianggap tidak penting terutama di negara berkembang karena jumlah pasien yang sedikit, tetapi secara kolektif penyakit ini cukup umum.

Dokter RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang aktif dalam Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A (K), mengungkapkan lebih dari 7.000 penyakit langka yang berbeda telah diidentifikasi hingga saat ini, mempengaruhi kehidupan jutaan orang di Asia.

Sebanyak 80% kasus penyakit langka disebabkan oleh kelainan genetik. Penyakit ini kronis, progresif dan sering mengancam jiwa. Sekitar 75% kasus menyerang anak-anak dan 30% adalah anak di bawah 5 tahun.

“Secara umum, ada sekitar 6.000-8.000 jenis penyakit langka di seluruh dunia. Jika semua penderita penyakit genetik digabungkan, jumlahnya bisa mencapai 350 juta orang,” kata Nurul dikutip dari laman penyakitlangkaindonesia.org.

Selain itu, Nurul mengungkapkan beberapa penyakit langka juga dikenal sebagai kesalahan metabolisme bawaan. Penyakit ini sering disebabkan oleh kekurangan enzim pada pasien yang menyebabkan akumulasi atau kekurangan zat tertentu di dalam tubuh. Penumpukan atau kekurangan inilah yang menjadi penyebab munculnya tanda dan gejala pasien.

“Contoh tanda dan gejala yang dialami pasien dengan penyakit langka adalah kemunduran dalam tonggak perkembangan mereka, pembesaran perut karena akumulasi substrat di hati dan limpa, kejang, penurunan berat badan, penurunan kesadaran, dll,” ujarnya.

Beberapa contoh penyakit langka di Indonesia adalah tipe 2 Mucopolycaccharidosis atau Hunter Syndrome (insiden di seluruh dunia 1:162.000), Maple Syrup Urine Disease (MSUD) (insiden di seluruh dunia 1:180.000), sindrom malbasorpsi glukosa-galaktosa (insiden sekitar 1:180.000). 100 individu di seluruh dunia), Spinal Muscular Atrophy dan banyak lagi.

Deteksi Dini

Tes DNA
Ilustrasi tes DNA. (dok. CDC/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Menurut Konsultan Rehabilitasi Pediatrik KSM Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi RS Hasan Sadikin Bandung, dr Marietta Shanti Prananta SpKFR-K, SMA merupakan penyakit atau gangguan genetik yang menyebabkan kelemahan otot gerak secara progresif.

Dengan kata lain, Spinal Muscular Atrophy adalah penyakit genetik, yaitu penyakit neuromuscular yang menyebabkan melemahnya syaraf penggerak di syaraf tulang belakang. Hal ini menyebabkan melemahnya otot-otot untuk menyangga tubuh dan kepala, menelan serta bergerak.

"Jadi, otot-ototnya itu bisa memengaruhi gerak atas dan bawah, tulang belakang, otot perut, dan otot untuk makan. Walau yang terkena syaraf, ototnya ikut mengalami kelemahan atau tidak bekerja secara maksimal," kata Marietta saat dihubungi, Minggu (27/2/2022).

Data menunjukkan, penyakit ini masih digolongkan sebagai penyakit langka. Sebanyak 1 dari 6.000 hingga 10.000 bayi yang dilahirkan adalah bayi dengan SMA dan sekitar 1 dari 40 sampai 60 orang adalah carrier alias mempunyai bakat menurunkan.

"Sampai saat ini masih termasuk penyakit langka, tidak sebanyak misalnya kasus TBC. Dalam catatan yang saya miliki, yang paling banyak di Jawa Barat, karena terdeteksi di Whatsapp Group, jumlahnya sekitar 20 orang," ujar Marietta.

SMA sendiri adalah penyakit genetik “autosomal resesif”. Artinya, gen ini hanya muncul jika bertemu gen resesif pasangannya. Jadi kemungkinannya sebenarnya hanya 25% dari anak yang dilahirkan dari pasangan yang sama-sama carrier.

"Untuk manifesnya sekitar 25 persen. Tapi tidak pasti juga yang pegang SMA langsung menurunkan," ucapnya.

Penyandang SMA juga dibedakan menjadi empat tipe dan setiap tipe tidak akan berpindah ke tipe yang lain. SMA tipe 1 adalah yang severe atau berat, disebut juga Werdnig-Hoffmann Disease.

Gejala tipe 1 mulai tampak sebelum bayi berusia enam bulan, umumnya dapat diketahui saat usia tiga bulan. Anak dengan SMA tipe ini tidak mampu mengangkat kepala, tidak bisa mengontrol gerakan kepala, menendang, tidak mampu duduk tanpa bantuan. Kesulitan menelan, gagap, paru-paru kurang berkembang, sehingga kesulitan dalam mendapatkan cukup oksigen. Biasanya perlu bantuan alat untuk pernapasan, terutama saat tidur.

Untuk SMA tipe 2 bisa diketahui sebelum usia dua tahun, umumnya diketahui saat usia 15 bulan dan disebut juga Dubowitz Disease. Gejala penyakit akan muncul pada usia 6-18 bulan.

Adapun anak dengan SMA tipe 3 masih dapat duduk tanpa bantuan dan pada level tertentu mereka masih dapat berdiri. Ada sedikit masalah dalam menelan, sedikit gagap, sedikit tremor. Perlu perhatian saat batuk, karena otot lemah, akan kesulitan mengeluarkan dahak. Batuk berkepanjangan bisa menyebabkan pneumonia.

Sedangkan, SMA tipe 3 disebut juga Kugelberg–Welander Disease yang gejala penyakitnya mulai terlihat setelah usia 18 bulan. Penderita SMA tipe ini masih mampu berdiri dan berjalan tanpa bantuan penopang, namun agak kesulitan untuk naik tangga.

Dengan bertambahnya usia penderita, maka akan berkurang kekuatannya. Gangguan pernapasan biasanya tidak terlalu nampak atau tidak terlalu serius.

Terakhir, SMA tipe 4 disebut juga SMA yang muncul pada saat dewasa, atau SMA tipe 3 yang munculnya terlambat. Gejala penyakit biasanya muncul pada usia 30 tahun. Penderita akan mengalami otot yang melemah secara bertahap.

Saat ini, di Indonesia sudah memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan atau deteksi secara dini untuk mengetahui kemungkinan menjadi carrier SMA atau kemungkinan penderita SMA.

Marietta mengungkapkan, deteksi dini menjadi faktor penting untuk mengurangi jumlah penderita SMA. Dengan deteksi dini dapat dilakukan pencegahan dan tindakan yang diperlukan.

"Yang diperjuangkan sekarang tes genetiknya. Tes genetik ini bisa menjadi skrining bagi bayi yang lahir. Kalau di luar negeri, tes DNA ini sudah bisa menjadi protap skrining dan dibiayai oleh pemerintah," kata Marietta.

Deteksi dini penyakit spinal muscular atrophy (SMA) perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu hidup penderita. Alih-alih biaya mahal, pendeteksian dini dengan dibiayai pemerintah juga akan membantu tenaga kesehatan untuk mempersiapkan pasien yang positif SMA untuk ditangani secara optimal sebelum kondisinya memburuk.

"Sebab, kalau kondisinya sudah berat, biaya yang dikeluarkan justru lebih besar lagi," ujarnya.

Marietta mengatakan, SMA merupakan penyakit yang jarang. Namun dengan perkembangan teknologi dan informasi serta perhatian dari berbagai kalangan, saat ini beberapa rumah sakit dan ahli medis di Indonesia sudah mulai memberikan perhatian pada penyakit SMA di Indonesia.

Adapun tempat untuk bisa dilakukan pengecekan dengan cara pengetesan genetik (DNA) di Indonesia yaitu di RS Hasan Sadikin (Bandung), RS Sardjito (Yogyakarta), Lembaga Biologi Molekuler Eijkmann (Klinik Genetika-Yayasan Genneka), dan RSCM Kencana, Jakarta.

Penderita SMA juga memerlukan perawatan. Pertama, bantuan pernapasan untuk SMA tipe 1 dan 2. Sangat penting untuk memperhatikan agar menjaga agar tidak terjadi masalah pernapasan, menjaga agar sampai tidak terjadi infeksi pada saluran pernapasan.

Selain itu, perlu memerhatikan makanan dan nutrisi bagi penyandang SMA. Serta perlu perhatian ekstra agar penderita SMA mempunyai daya tahan tubuh yang tetap terjaga sehingga tidak mudah terserang penyakit seperti flu atau batuk.

"Ada beberapa program rehab medik yang khusus untuk melatih penguatan otot, pernapasan, latihan untuk batuk, hingga mempertahankan postur. Tapi jika gerak sudah sama sekali terbatas, ada alat bantu khusus yang dapat membantu mobilisasi," tutur Marietta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya