Pemekaran Papua, Perlu Resolusi Konflik

pemekaran Papua menjadi tiga propinsi menjadi isu terkini yang tengah dibahas pemerintah dan DPR RI. Pemekaran Papua ini tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat Papua.

oleh Yanuar H diperbarui 11 Jul 2022, 01:00 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2022, 01:00 WIB
Presiden Jokowi di PLBN Skouw, Papua (Foto: Katharina Liputan6.com)
Presiden Jokowi di PLBN Skouw, Papua (Foto: Katharina Liputan6.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Isu pengesahan tiga RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan membuat Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) kembali mengadakan Papua Strategic Policy Forum (PSPF) ke-12 dengan tema “Pemekaran sebagai Resolusi Konflik?”  pada Rabu (06/07/2022).

Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Gabriel Lele mengatakan, GTP UGM berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural.

Selain itu negara juga wajib memberikan intervensi secara holistik. Gabriel menyampaikan bahwa GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. 

"Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik”, ungkap Gabriel dalam rilis yang diterima, Jumat 8 Juli 2022.

Menurut Gabriel Undang-undang yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu  masih jauh dari semangat yang dimaksud. Namun, langkah tersebut merupakan kompromi terbaik yang dapat diambil pemerintah untuk sampai saat ini.

Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito mengatakan, pemekaran Papua dengan tiga provinsi baru di Tanah Papua merupakan aspirasi dari masyarakat dan juga elit Papua.

Namun, dalam perjalanannya timbul pro kontra terkait pemekaran sehingga pihaknya telah memetakan faktor pendukung pemekaran Provinsi Papua.

"Misalnya terkait konfigurasi politik lokal, khususnya polarisasi antara masyarakat pegunungan dan pesisir. Faktor lain adalah kondisi geografis yang sangat luas dan rumit, adanya aspirasi yang kuat, dan adanya best practice ketika pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat) yang berhasil dengan baik,"katanya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Roadmap Operasionalisasi Provinsi Baru

Valent juga menyampaikan, pemerintah telah menyusun roadmap pelaksanaan operasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan di provinsi baru. Mulai dari pelantikan Pj. Gubernur, peresmian provinsi, pembentukan perangkat daerah/manajemen ASN, serta pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP).

“Kami juga telah mendesain penyusunan peraturan gubernur tentang R-APBD, pengisian DPR RI, DPD RI, dan DPRP. Penetapan daerah pemilihan pemilu 2024 juga sudah diatur hingga sampai pengalihan aset dan dokumen, penyusunan rencana tata ruang wilayah, penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pengalokasian dana hibah, serta pembinaan, pengawasan, dan evaluasi”, pungkas Valent. 

Asisten Deputi Koordinasi Otonomi Khusus pada Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Danu Prionggo mengatakan, pemerintah telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran.

“Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibukota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah”, ungkap Danu.

Kekhawatiran tersebut juga disadari akademisi Universitas Cenderawasih, Dr. Basir Rohromana. Menurutnya, berbagai potensi konflik tersebut merupakan potensi konflik lanjutan masa lalu.

“Banyak konflik lanjutan, seperti tarik menarik ibukota, disorientasi, stigmatisasi, dan lain-lain”, ungkap Basir.

Di sisi lain, Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua (JDP) Pares L. Wenda juga menyampaikan sejumlah catatan tentang pemekaran Papua. Misalnya, JDP berharap agar pemekaran dapat mensejahterakan OAP dan tidak elitis.Pares berharap pemekaran dapat memberikan garansi agar pelanggaran HAM dan marjinalisasi OAP tidak terjadi lagi. Pembangunan pasca pemekaran juga diharapkan dapat menyentuh OAP hingga akar rumput.

“Pemekaran harus memastikan OAP mendapatkan akses yang luas dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pemekaran juga harus menjamin tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang masif dan tidak melanggar hak ulayat masyarakat”, ungkap Pares.

Guru Besar FISIPOL UGM  Purwo Santoso mengatakan, OAP masih sering terjebak konflik dan krisis kepercayaan selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

“Gagasan mengedepankan kekhususan Papua masih sangat membingungkan, utamanya pada level detail. Pemerintah kerap menggunakan perspektif hitam putih di atas realitas sosial, sehingga masih menyisakan berbagai persoalan”, jelas Purwo.

Purwo juga menekankan agar gagasan Papua damai tidak boleh dimaknai hanya dengan sekali dialog. Akan tetapi, harus ada proses mendialogkan data, tata berpikir, dan melekatkan dalam cara kerja birokrasi, sehingga menjadi ruh baru. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya