Rusak Ratusan Hektare Hutan Lindung, Dishut Kejar Penambang Liar di Konawe Utara

Perusahaan tambang nikel ilegal di Konawe Utara, nekat menerobos kawasan hutan lindung agar bisa mengeruk bijih nikel sebanyak-banyaknya.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 31 Jul 2022, 04:00 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2022, 04:00 WIB
Salah satu kawasan hutan lindung di Kecamatan Langgikima Konawe Utara, diterabas penambang ilegal.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)
Penambang liar nekat menerobos salah satu lokasi perbukitan dalam kawasan hutan lindung di Kecamatan Langgikima Konawe Utara.

Liputan6.com, Kendari - Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara menyegel aktivitas ilegal sejumlah perusahaan tambang di Kabupaten Konawe Utara, Kamis (28/7/2022). Lokasinya berada di wilayah Desa Morombo Pantai, Kecamatan Langgikima.

Pihak Dishut menyebut, salah satu lokasi penambangan, ada dalam kawasan IUP PT Maesa Optimalah Mineral (MOM). Perusahaan ini, tercatat sudah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak 2011 di wilayah Langgikima.

Menurut pihak Dinas Kehutanan, aktivitas penambang nikel termasuk ilegal di kawasan IUP seluas 1.056 hektar. Saat turun langsung di lokasi, Dishut Sultra menemukan sisa-sisa aktivitas penambangan ilegal yang nekat menerobos kawasan hutan lindung. Sekitar 200 hektar lebih hutan lindung sudah rusak akibat kegiatan penambangan liar.

"Kami menemukan ada bekas pembukaan lahan dalam hutan lindung. Namun kami tak menemukan pihak yang bertanggungjawab di lokasi," ujar Darma Prayudhi Raona, Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dishut Sultra.

Menurutnya, aktivitas ini dilakukan dalam lokasi IUP PT MOM. Aktivitas mereka, lolos dari pantauan Dishut dan perusahaan pemilik IUP. Saat meninjau ke lokasi hutan lindung, tidak ada alat berat atau aktivitas pekerja.

"Terkait kondisi ini, kami akan meminta pihak PT MOM memberikan informasi siapa pihak yang melakukan itu. Mereka yang terkait, akan kami panggil untuk memberikan keterangan," ujarnya.

Dia melanjutkan, sanksi tegas menanti perambah hutan lindung. Dalam UU nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perambah hutan lindung, sudah jelas ada sanksi berat menanti.

Pada Pasal 97 menyatakan, seseorang dengan sengaja merusak hutan lindung terancam pidana maksimal 3 tahun penjara dan denda hingga Rp1,5 miliar. Sedangkan, bagi korporasi yang dengan sengaja merusak hutan, terancam dipidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Warga Bongkar Posko Ilegal

Warga membongkar posko ilegal di wilayah tambang Langgikima usai perusahaan nekat merambah dalam kawasan hutan lindung.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)
warga kesal usai adanya aktivitas perusahaan dalam kawasan hutan lindung Konawe Utara.

Sejumlah warga yang berada di dalam lokasi hutan lindung menemukan adanya perambahan hutan dari perusahaan liar. Mereka kesal, saat menemukan kondisi hutan sudah gundul dan tersisa hanya gundukan tanah yang sudah dikeruk alat berat.

Saat masuk di lokasi IUP PT MOM, sejumlah warga langsung merusak salah satu basecamp berukuran kecil yang ditempati pekerja. Mereka membongkar atap dan dan tiang-tiang basecamp. Tidak hanya itu, mereka membuang perabotan para pekerja ke dalam hutan.

"Kita cukup kesal, ini masuk wilayah hutan lindung tapi mereka seperti tak peduli. Baru sembarangan merusak hutan, kami masyarakat juga yang kena," ujarnya.

Dia mengatakan, lokasi laut sudah tercemar akibat aktivitas sejumlah perusahaan. Sehingga, mengakibatkan berkurangnya tangkapan nelayan, akibat air laut di teluk tercemar.

"Mereka (perusahaan ilegal) enak-enak saja, habis nikel mereka pergi," ujar salah seorang warga.

 

Klarifikasi Perusahaan

Salah satu spot lokasi pertambangan di Konawe Utara.
Sejumlah pelaku pertambangan ilegal di Konawe Utara, nekat menerabas hutan lindung.

Kuasa Hukum Direktur PT MOM, Agusran Saelang menyatakan, tidak mengetahui sama sekali ada perusahaan ilegal di dalam lokasi IUP milik PT MOM.

Dia menjelaskan, awal mula aktivitas ilegal sejumlah perusahaan. Sekitar 2015 terjadi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Saat itu, ikut masuk salah satu perusahaan, PT W sebagai pemilik saham mayoritas sebanyak 68 persen.

Namun, pada 2019, ada RUPS sembunyi-sembunyi oleh perusahaan yang tidak dilakukan atas sepengetahuan PT W. Setelah mengetahui RUPS ini, PT W menggugat PTUN Jakarta dan PN.

Kasus ini berlanjut hingga keluarlah putusan Mahkamah Agung, membatalkan akta 2019 yang dikeluarkan dalam RUPS sembunyi-sembunyi. Kemudian, MA mengembalikan komposisi ke akta 2015.

Kemudian, dalam perjalanannya, IUP PT MOM dicabut setelah Ombudsman mengeluarkan rekomendasi pada 2019. Tahun 2020, IUP dihidupkan kembali oleh PTSP Provinsi Sulawesi Tenggara. Setelah IUP dihidupkan kembali, luasan awal IUP sekitar 1.400 hektar tinggal 1.056,38 hektare saja.

"Kemudian, sekitar 4 bulan lalu, kami mendengar informasi ada oknum-oknum yang beroperasi di sini," kata Agusran.

Menurutnya, ada dua nama oknum di perusahaan yang nekat merambah hingga lokasi hutan lindung. Dia memperkirakan, aktivitas perambahan hutan lindung ini, dilakukan sekitar 4 bulan lalu.

"Kami PT MOM yang sah, tidak beroperasi sebelumnya karena memang tahun ini hutan lindung dan sanksi jelas," tambahnya.

Dia menduga perambahan hutan lindung dilakukan saat pihak PT MOM sedang dalam proses bersurat dan mengusulkan kepada pemerintah agar lokasi hutan lindung yang berada dalam IUP diturunkan statusnya.

"Saat mereka masuk sekitar 4 bulan lalu sampai hari ini, oknum penambang liar sudah mengolah sekitar 100-200 hektar, sekitar ratusan miliar kerugian kami," katanya.

Dia berharap, agar oknum yang menambang hutan, diproses secara hukum. Dia juga menegaskan, PT MOM sebagai pemilik sah IUP, sampai hari ini tidak pernah melakukan penyerahan saham kepada siapapun.

"Dugaan lainnya, orang-orang di sini, diberikan surat perintah kerja (SPK) dari seorang oknum direktur. Tetapi apapun bentuknya, tak boleh mengeluarkan SPK dalam hutan lindung," ujarnya.

Menurutnya, ada proses yang mesti dilewati sebelum menambang di dalam hutan lindung. Pertama, hutan mesti turun status ke hutan produksi terbatas atau hutan produksi. Setelah beralih fungsi, baru ada pengurusan RKAB dan kemudian bisa mengeluarkan surat perintah kerja.

"Kami rencana baru mau mengurus RKAB tahun depan. namun, kenyataan di lapangan, oknum-oknum penambang liar ini sudah masuk merambah hutan," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya