Liputan6.com, Nias - Tradisi lompat batu merupakan salah satu tradisi unik masyarakat Pulau Nias, Sumatra Utara. Tradisi ini dikenal masyarakat setempat sebagai tradisi hombo batu atau fahombo.
Tradisi lompat batu Nias hanya dilakukan oleh anak laki-laki, dan dianggap berbahaya bagi anak perempuan. Dikutip dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, ketinggian batu yang dilompati mencapai 2 meter dengan lebar mencapai 40 sentimeter.
Anak laki-laki di Nias mulai berlatih untuk melompati batu sejak umur tujuh tahun. Mereka akan terus melompati tali yang dijadikan pengganti dari batu dengan ketinggian yang disesuaikan dengan umur dan kemampuan sang anak, dan akhir dari latihan tersebut sang anak akan melompati batu yang sesungguhnya.
Advertisement
Baca Juga
Tidak semua laki-laki berhasil melakukan prosesi lompat batu ini, banyak juga yang gagal melakukannya. Masyarakat Nias percaya, laki-laki yang berhasil melakukan tradisi lompat batu ini merupakan sosok yang diberkahi oleh roh leluhur dan para pelompat batu yang sudah meninggal dunia.
Bagi laki-laki yang sudah berhasil melakukan lompat batu, maka dia dianggap sudah dewasa untuk melakukan hak dan kewajiban sosial sebagai orang dewasa. Selain itu, tradisi lompat batu juga terkadang menjadi ukuran penentuan apakah si laki-laki sudah cukup matang untuk menikah.
Laki-laki yang berhasil melakukan lompat batu dianggap heroik dan bermartabat, bukan hanya si laki-laki, tapi keluarganya juga. Sehingga biasanya setelah berhasil melakukan lompat batu, keluarga akan melakukan syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sejak Berabad Lalu
Tradisi Lompat Batu telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Tradisi dilestarikan bersama budaya megalitikum di Pulau Nias, terutama di Desa Bawomataluo.
Awalnya, tradisi lompat batu berasal dari kebiasaan berperang antar desa suku-suku di pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang.
Dahulu, suku-suku di Pulau Nias sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, pembatasan tanah, atau masalah perbudakan. Masing-masing desa lalu membentengi wilayah dengan batu atau bambu setinggi 2 meter.
Tradisi lompat batu lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang. Para bangsawan dari strata balugu yang memimpin pulau Nias saat itu akan menentukan pantas atau tidaknya seseorang pria Nias menjadi prajurit perang.
Kriterianya, selain memiliki fisik yang kuat, seorang prajurit perang juga menguasai ilmu bela diri dan ilmu-ilmu hitam. Mereka juga harus dapat melompati batu bersusun setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.
Pada zaman dulu, atraksi fahombo tidak hanya memberikan kebanggaan bagi pemuda Nias tetapi juga untuk keluarga mereka. Kini, tradisi lompat batu bukan untuk persiapan perang antar suku atau antar desa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya orang Nias.
Tradisi ini menjadi atraksi budaya untuk mengisi acara yang biasanya ditampilkan bersama atraksi tari perang, yang merupakan saduran dari peperangan di masa lampau.
Advertisement