Investasi Sawit Tak Selaras dengan Kesejahteraan Masyarakat

Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah tidak mensejahterakan masyarakat malah memicu tingginya angka kriminal.

oleh Roni Sahala diperbarui 13 Jan 2023, 22:00 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2023, 22:00 WIB
Pembukaan Lahan untuk Kebun Sawit
Pembukaan hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit di Desa Tumbang Batu Kecamatan Bukit Santuai Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah belum lama ini. (Liputan6.com/ Roni Sahala)

Liputan6.com, Palangka Raya - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya mencatat, di tahun 2022 ada 137 orang di empat kabupaten di Kalimantan Tengah yang didakwa atas kasus pencurian sawit. Hal itu menurut mereka, menunjukan masih rendahnya tingkat kesejahteraan warga di sekitar perusahaan perkebunan.

"Investasi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah tidak seperti tujuan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Direktur LBH Palangka Raya Aryo Nugroho Waluyo, Selasa (10/1/2023).

137 orang tersebut merupakan terdakwa dari 57 perkara yang terdaftar dan disidangkan di pengadilan tingkat pertama. 29 kasus berasal dari Kabupaten Kotawaringin Barat, kemudian, 15 dari Kotawaringin Timur, 9 dari Seruyan dan 3 dari Sukamara.

Sampai saat ini beberapa kasus masih dalam proses persidangan, beberapa lagi telah divonis dan rata-rata dinyatakan terbukti bersalah. Per 2018 terhitung, sekitar 1,3 juta hektar lahan di Kalteng merupakan areal izin pekebunan sawit.

Kata Aryo, berdasarkan sejumlah penelitian, kriminalitas seperti kasus pencurian tidak berdiri sendiri. Namun, ada persoalan sosial yang melatari itu, utamanya terkait tingkat kesejahteraan.

Rendahnya dampak positif kehadiran perusahaan sawit dapat dilihat dari kewajiban melaksanakan plasma. Perusahaan yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut di Kalteng tidak lebih dari 20 persen dari seluruh izin yang ada.

Bahkan ironisnya menurut Aryo, ada perusahaan seperti PT Tapian Nadenggan Hanau Mill-KCP di Hanau Kabupaten Seruyan yang sudah beroperasi lebih dari 20 tahun, dan tidak memiliki plasma. Perusahaan yang berdiri tahun 90’an tersebut pada September lalu diduduki warga dari 53 desa yang tersebar di 8 Kecamatan yang menuntut realisasi plasma.

LBH Palangka Raya juga menilai pemerintah tidak serius dalam perbuatan untuk menertibkan perusahaan-perusahaan nakal. Hal ini ditunjukan dengan belum ada perusahaan yang mendapat sangsi terkait plasma.

“Letak keruwetan plasma terjadi karena tidak tegas dan seriusnya pemerintah daerah untuk wewajibkan perusahaan memberikan plasma dari kebun inti kepada masyarakat, kuncinya disini,” kata Aryo.

Simak juga video pilihan berikut:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya