Liputan6.com, Bangkalan Jejak [sejarah pers]( 5202612 "") di Pulau [Madura]( 5202612 "") tersimpan rapi dan menjadi koleksi di perpustakaan pribadi politikus Gerindra Fadli Zon. Jejak itu berupa kliping koran [Warta Madura-Syuu]( 5202612 "") yang memuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sebagai headline.
Baca Juga
Advertisement
Kliping itu sempat ditunjukkan Fadli Zon kepada seorang kawan yang mengunjungi perpustakaannya dan kemudian menjadikannya konten di situs berbagi video pendek TikTok.
"Di Madura enggak ada UUD 45, yang ada dang-ondang dasar," kata Fadli Zon sambil menunjukkan salah satu judul berita dalam kliping yang terbit sehari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Terbitnya koran berbahasa daerah ini adalah upaya para wartawan pejuang di Surabaya melawan sensor tentara Jepang. Sensor dilakukan agar warga di Surabaya tak mendengar ihwal proklamasi kemerdekaan.
Tak kalah akal, para wartawan di Surabaya yang sebenarnya telah mendengar soal proklamasi itu, kemudian berinisiatif menyebarkan kabar yang telah lama ditunggu itu dengan bahasa daerah: Jawa dan Madura.
Dan cara itu berhasil. Selain Madura-Syuu, berita proklamasi berbahasa Madura juga dimuat warta Besuki-Syuu. Sementara yang berbahasa Jawa dimuat koran Warta Surabaya-Syuu dan Warta Bojonegoro-Syuu.
Sejarah Pers Madura
Tapi sejarah pers di Pulau Madura telah dimulai jauh sebelum Madura-Syuu terbit. Masuknya gerakan nasionalis ke Pulau Madura yang ditandai lewat pembentukan organisasi Sarekat Islam pada 1913 di Sampang, punya pengaruh besar bagi kemunculan pers di kawasan berjuluk pulau garam ini.
Munculnya pers di Madura tak lepas dari terbentuknya organisasi bernama Madurasa pada 1917. Organisasi yang pembentukannya diprakarsai dua orang guru, Wiryoasmoro dan Kartosudirjo, keduanya orang Madura yang tinggal di Jawa, bertujuan memajukan kesusastraan dan bahasa Madura.
Sosrodanukusomo dari Sampang ditunjuk sebagai kepala pertama Madurasa dan Bondowoso dipilih sebagai markas pertama organisasi.
Ketika Madurasa kemudian hari bergabung dalam Perserikatan Guru Hindia Belanda, nama organisasi ini berubah menjadi Madoeratna. Sosrodanukusomo tetap menjadi kepala. Pada 1919, organisasi ini memprakarsai berdirinya majalah dengan nama yang sama, tetapi gagal.
Pada 1921, sebuah komite orang Madura di Surabaya bernama Masteka Madoera juga sempat menginisiasi penerbitan majalah berbahasa Madura, tetapi tak terdengar lagi kelanjutannya.
Setahun kemudian muncul pengumuman lain bahwa akan terbit majalah bernama Rosorowan Madoera atau Gema Madura. Majalah berbahasa Madura ini akan terbit di Surabaya namun tak ada jejaknya.Yang terbit justru Majalah Berbahasa Madura bernama Pangodhi. Sayangnya, ia hanya dua kali terbit.
Dalam Buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura karya Kuntowijoyo disebutkan Baru Pada 1924, terbit majalah berbahasa Madura bernama Posaka Madoera. Majalah ini terbit berkat bantuan Java Institut yang disponsori pemerintah dan diterbitkan di Batavia.
Majalah ini merekrut aktivis yang terkenal handal sebagai awak redaksi yaitu R Sosrodanukusomo, M Kartosudirjo dan M Wiryoasmoro dan RA Sastro Subroto.
Pada 1926, organisasi Sarekat Madura menerbitkan majalah bulanan Madhoeratna, tetapi berumur pendek. Usaha lain orang Madura menerbitkan majalah bernama Soeara Oemoem di Surabaya, ia terbit dua kali seminggu dan berbahasa Jawa. Editornya Sosrodanukusomo dari Sampang dan Sukaris dari Pamekasan.
Advertisement