Manten Kaji, Akulturasi 5 Kebudayaan dalam Adat Pernikahan

Manten Kaji berfungsi sebagai perekat sosial dan budaya dalam masyarakat.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 25 Feb 2023, 05:00 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2023, 05:00 WIB
Married
Ilustrasi Pernikahan Adat Jawa Credit: pexels.com/Deden

Liputan6.com, Semarang - Manten Kaji adalah istilah tata cara pernikahan khas Semarang. Pada 1930-an, adat ini mulai digunakan.

Manten Kaji berfungsi sebagai perekat sosial dan budaya dalam masyarakat. Tak heran, karena manten kaji terbentuk dari akulturasi lima kebudayaan, yakni Arab, Jawa, China, Melayu, dan Eropa.

Akulturasi kebudayaan-kebudayaan tersebut juga sesuai dengan latar belakang terbentuknya Kota Semarang. Penamaan manten kaji disematkan karena busana yang dikenakan mempelai pria menyerupai gamis atau jubah yang sering dipakai oleh orang yang baru pulang dari Tanah Suci usai menunaikan ibadah Haji (kaji).

Pengaruh Arab terlihat jelas pada sorban yang dikenakan, begitu pula dengan kopiah alfiyah yang dikenakan oleh mempelai pria. Mempelai pria biasanya mengenakan baju model gamis beludru berlengan panjang.

Adapun pengaruh budaya China terletak pada tata rias pengantin yang menggunakan model cengge dengan ciri khas bedak yang sangat tebal. Pengaruh China juga terlihat pada baju mempelai wanita yang mengenakan model encim berbahan beludru dengan payet berwarna emas.

Sementara itu, alas kaki atau selop kedua mempelai serta sanggul Jawa mendapat pengaruh dari Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Tak lupa, hiasan melati 'ndok remek' serta 'tusuk konde' juga digunakan untuk menggambarkan budaya Jawa.

Sementara pade-pade atau dekorasi pelaminan, dibuat lebih sederhana yang menggambarkan 'jiwa' orang Semarang sebagai pedagang. Kemudian, pengaruh Eropa terlihat pada pemakaian mahkota untuk mempelai wanita, sedangkan mempelai pria membawa pedang.

Untuk bagian bawahnya, kedua mempelai memilih warna merah dan emas. Sementara itu, perbedaan manten kaji dengan prosesi pernikahan yang dipengaruhi oleh budaya China dan Arab lainnya terdapat pada beberapa filosofi Jawa yang masih dipertahankan.

Pengaruh Jawa terlihat pada simbol-simbol yang dipakai dalam upacara, seperti kembang mayang, pemasangan daun tebu yang berarti 'antebing kalbu' (kemantapan hati), daun kluwih sebagai doa untuk rezeki 'linuwih' (rezeki banyak), dan daun opo-opo agar kedua mempelai tidak mengalami bahaya.

Dibandingkan dengan upacara adat Jawa pada umumnya, sebenarnya manten kaji jauh lebih sedehana. Manten kaji tidak semegah dan seanggun pernikahan Jawa kebanyakan. Satu hal lagi yang menjadi ciri khas manten kaji adalah adanya sajian hiburan Gambang Semarang di dalamnya.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya