Liputan6.com, Sukoharjo - Hardi, pria asal Baki Kabupaten Sukoharjo dengan telaten menarik-narik adonan yang terbuat gula pasir yang sudah direbus dengan air dan diberi beberapa pewarna makanan. Terlihat pria 50 tahun itu tengah mendesain perpaduan gulali yang dijualnya itu di alun-alun Satya Negara Sukoharjo.
Dengan serius, dia membentuk sebuah karakter ayam dari adonan gulali yang masih basah tersebut sesuai permintaan pembeli yang sudah tidak sabar menikmati kerenyahan penganan manis itu.
Menggunakan sepeda motor sederhana, Hardi memasang kotak memanjang untuk meletakkan dagangannya dan juga beberapa kebutuhan untuk jualannya, seperti, tusukan satai yang digunakan sebagai penyangga item jajanan jadul dengan bentuk lucu itu.
Advertisement
Tampak sebuah kayu berdiameter 6 sentimeter dipasang di tengah-tengah kotak untuk mengikat payung besar, biasanya akan dibuka ketika hujan atau panas mengenai kotak bahan jualannya.
Baca Juga
Saat ini, pedagang gulali sudah jarang ditemui. Pasalnya, anak-anak sekarang lebih memilih makanan kekinian seperti sosis, corndog, dan lain-lain. Meski begitu, tidak sedikit generasi 90-an, masih mencari jajanan penuh kenangan ini.
Hardi mengaku tak sedikit yang masih berburu jajanan jadul tersebut. Hal itu dibuktikan, rata-rata ia bisa berjualan 1 hingga 2 kilogram gula pasir, dengan rata-rata hasil yang didapatkan per 1 kilogramnya yaitu sekitar 50 buah karakter. Dari penjualan per item dengan harga Rp3.000-5.000, Hardi bisa mengantongi laba kotor Rp200-Rp350 ribu.
Â
Modal Murah, Hasil Meriah
"Per itemnya saya jual tiga ribuan, kalau pesanan nama lima ribuan. Karakter atau jenis yang sering dipesan itu ayam, bunga, sama nama," kata Hardi kepada Liputan6.com di Sukoharjo, Senin (6/3/2023).
Hardi yang berjualan gulali sejak tahun 2012, itu belajar membuat gulali dari kerabatnya. Dia kemudian belajar sendiri cara membentuk karakter-karakter yang akan disukai oleh konsumen. Dari sana lah keahliannya membuat aneka karakter terbentuk secara autodidak, dia menyebut tidak belajar secara khusus.
"Belajar membuat bahan gulalinya itu tidak semudah yang dilihat cuma air dan gula pasir. Kalau salah teknik, gulanya akan keras dan susah dibentuk. Dulu belajar sama saudara, kalau keahlian bikin karakter itu autodidak," ujar Hardi.
Sementara itu, lokasi jualannya juga berpindah-pindah, apalagi ketika ada acara atau perayaan, dia dipastikan hadir di sana menjajakan gulalinya. Hardi juga berjualan dari sekolah ke sekolah, acara ke acara, dari tempatnya tinggal ia berkeliling Solo Raya untuk mencukupi kebutuhan keluarga dari berkah manisnya gulali itu.
"Alhamdulillah dari jualan gulali ini bisa untuk menafkahi keluarga, tapi, enggak selalu cerita senang pernah juga jualan cuma dapat beberapa ribu. Apalagi belakangan ini cuaca lagi hujan terus, jarang orang keluar rumah," ujarnya nelangsa.
Advertisement