Liputan6.com, Jakarta - Ilmu pengetahuan dan etika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pepatah Arab dikatakan, jika bukan karena kedua hal tersebut, maka manusia tidak ada bedanya dengan hewan buas yang saling memangsa.
Kitab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari memberikan tuntunan terkait hal tersebut agar manusia dapat menjadi pribadi yang unggul dan sumber pengelola peradaban.
Baca Juga
Hal itu disampaikan oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban, Filolog Santri dalam serial "Inspirasi Sahur 2023" yang ditayangkan oleh akun Youtube BKN PDI Perjuangan menjelang sahur, dipandu oleh host Roudhotul Badiiah pada Jumat (14/04/2023).
Advertisement
"Jika parameter kesuksesan seseorang adalah ilmu tanpa adab, maka makhluk paling mulia di alam semesta ini adalah iblis, karena iblis mempunyai ilmu yang tinggi tetapi tidak didampingi dengan adab sehingga tidak mendapatkan kemuliaan," katanya.
Dosen di UNUSIA Jakarta ini menyampaikan, bahwa etika itu berada di atas ilmu. Ketika ilmu pengetahuan tidak didampingi dengan etika, maka terdapat kemungkinan pengetahuan yang dimiliki dapat mendestruksi peradaban manusia.
"Saat ini teknologi perang sudah semakin mutakhir. Jika teknologi tersebut tidak diimbangi dengan etika kemanusiaan, maka fungsi yang seharusnya menjadi penopang keamanan suatu negara justru dapat dipakai untuk menghancurkan atau menjajah negara lain," kata Ginanjar.
Ginanjar melanjutkan, seorang filsuf dari Eropa yang bernama Thomas Hobbes mengungkapkan, bahwa manusia adalah hewan buas yang akan saling memangsa jika tidak diisi dengan ilmu pengetahuan dari aspek intelektual, dan etika dari aspek emosional dan spiritual.
"Ilmu pengetahuan dan etika tidak dapat dipisahkan. Ketika berbicara mengenai kedua hal tersebut, maka pembicaraan itu sifatnya universal bagi seluruh umat manusia karena menjadi kunci kemajuan peradaban sebuah bangsa," ujar Ginanjar.
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir itu menambahkan, sebuah bangsa jika memiliki tradisi keilmuan dan etika yang kuat, maka bangsa itu telah memiliki prasyarat awal untuk menjadi sebuah negara adidaya.
"Bangsa manapun yang mencapai puncak kejayaan dan kemegahan peradaban itu ketika mereka mulai berselaras dan serius untuk mengembangkan tradisi ilmu pengetahuan dalam bidang apapun," jelas pria kelahiran Majalengka, 39 tahun silam.