Liputan6.com, Jakarta - Minat baca orang Indonesia yang rendah kerap jadi 'dosa' waris yang diturunkan orangtua kepada anak-anaknya. Orangtua harusnya punya peran sentral membangun iklim membaca di dalam keluarga. Hal inilah yang belum dilakukan kebanyakan orang Indonesia. Â
"Kalau UNESCO bilang minat baca orang Indonesia masih rendah saya sepakat itu. Lingkungan berpengaruh, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar. Keluarga paling penting. Bagaimana peran orangtua menciptakan iklim membaca itu di rumahnya dulu. Ini jadi PR berkepanjangan," kata Novy Diana, Pustakawan Berprestasi Terbaik Nasional 2023, pilihan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Ketiadaan peran orangtua membangun iklim membaca di lingkungan keluarga kerap dinegasikan, disangkal, dengan pernyataan pesebaran buku di Tanah Air kurang merata. Memiliki lebih dari 17.000 pulau memang tidak mudah memeratakan pesebaran buku di Indonesia, namun hal itu bukan jadi alasan untuk tidak membaca. Mengingat kemajuan teknologi dan sumber informasi membuat semua orang bisa mengakses buku dengan mudah, apalagi sudah banyak perpustakan daerah yang dibangun.
Advertisement
"Ada teknologinya, mungkin tidak tahu juga tempatnya ada di mana untuk melihat koleksi-koleksi yang akan dibaca. Sebenarnya negara juga sudah menyiapkan sarananya, buku yang ada di internet juga banyak. Tapi karena enggak membaca, jadi sering dianggap gak ada bukunya" ungkap Novy.
Novy tidak menyangkal, daerah-daerah di pelosok Indonesia yang tidak mendapat sinyal telekomunikasi dengan prima, masih perlu pesebaran buku-buku fisik. Setelah buku masuk ke daerah pelosok bukan berarti selesai urusan. Pekerjaan rumah yang urgent dilakukan adalah mengutus orang-orang yang bisa memotivasi dan mengajari masyarakat membaca. Mengajari dalam artian memahami isi bacaan dan menimplementasikannya menjadi pemecah masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi. Di sinilah tugas seorang pustakawan.
"Saat masyarakat dihadapkan masalah, kok hasil panenku tidak bagus, kok pemasaran produkku tidak baik, kok tanamanku hasilnya begini, mereka mau menernak lele, mereka menemukan sejumlah masalah tapi mereka tidak lari ke buku, tidak mencari informasi yang akurat, hanya bertanya kepada orang lain, sehingga masalah tidak terpecahkan," katanya.
Di sinilah, kata Novy, pentingnya budaya literasi di tengah masyarakat. Permasalahan yang dihadapi masyarakat harus dipecahkan dengan mencari solusi yang tepat. Solusi itu kerap ditemukan pada buku-buku dan sumber informasi yang kredibel di internet. Jadi saat budaya literasi itu tidak terbangun di tengan masyarakat, maka akan terasa sekali dampak sosial ekonominya.
"Perekonomian tidak bergerak ke arah lebih baik. Tetap stagnan," kata Novy.
Novy mengatakan, cara revolusioner yang perlu dilakukan untuk membangun budaya baca di tengah masyarakat Indonesia, selain di rumah sebagai pondasi, yang paling urgent adalah di sekolah. Sebenarnya beberapa sekolah dasar sudah ada yang menerapkan Gerakan Literasi Sekolah, yaitu anak peserta didik wajib membaca buku selama 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Namun karena pandemi dan siswa belajar jarak jauh dari rumah, kebiasaan ini kemudian hilang.
"Mungkin itu perlu digalakkan lagi. Itu salah satu usaha menciptakan habit untuk membaca. Orangtuanya mungkin perlu juga dibinaa, melalui PKK misalnya, karena memang lebih mudah mengarahkan siswa sekolah daripada orangtua, karena menciptakan habit itu sebaiknya dari kecil," kata Novy.
Pemerataan buku juga menjadi penting dalam tugas revolusioner menciptakan budaya baca di tengah masyarakat. Sebenarnya, kata Novy, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga sudah menyediakan buku termasuk buku digital di iPusnas. Apalagi di beberapa kota juga sudah punya aplikasi sejenis, missal di Jakarta ada iJakarta, di Jogja ada iJogja. Di kota-kota tak hanya di Pulau Jawa sebenarnya sudah banyak usaha menyediakan bahan bacaan untuk memangkas kesenjangan buku.
"Sekarang bagaimana cara mendidik membacanya. Banyak pihak yang harus kita libatkan, menurut saya paling bagus di sisi ranah pendidikan dan perpustakaan daerah. Penyedian resources tadi ya seperti iJogja iJakarta, iPusnas, sebenarnya hal-hal itu dapat memangkas kesenjangan buku, karena pemerintah sudah menyiapkan banyak sekali buku yang memang bisa diakses oleh masyarakat. Nah sekarang masalahnya sekali lagi kembali, masyarakat tidak tahu di mana mengakses buku-buku itu," kata Novy.
Novy membayangkan, kesenjangan buku di Indonesia dapat dengan mudah diatasi jika segala jenis perpustakaan saling berkolaborasi, baik perpus sekolah dan kampus maupun perpus desa maupun perpus masjid misalnya. Tentu hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pembinaan dari mulai perpustakaan yang kecil di tingkat desa hingga ke tingkat provinsi.
"Di sini tugas pustakawan, membina masyarakat menggunakan sumber informasi yang sudah disediakan pemerintah," katanya.
Novy menegaskan, pada tahap ini transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Pustakawan dan perpustakaan tidak lagi hanya menyediakan segala fasilitas sumber ilmunya, tapi juga harus tahu bagaimana mentransfer pengetahuan kepada khalayak luas.
"Tidak hanya sekadar mengajarkan membaca menyodorkan buku, tapi coba terjun langsung ke masyarakat. Yang sudah saya lakukan, kami mendampingi UMKM mengembangkan produk mereka membantu pemasaran secara online, melalui konsep digital marketing," katanya.
Â
Sederet Inovasi
Tak hanya itu, Novy bersama Perpustakaan UMY bekerja sama dengan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) UMY merancang 'Mbaca' (Muhammadiyah Membaca), yaitu portal yang dibuat untuk memudahkan masyarakat memperoleh sumber informasi. Isinya beragam link sumber informasi dan satu tempat iBook yang dibeli UMY untuk bisa dimanfaatkan masyarakat.
"Kami mengedukasi mahasiswa KKN untuk bisa mengajar masyarakat di lokasi KKN. Jadi kalau perpus saja yang turun ke lokasi KKN pasti habis tenaganya, itu mengapa kami berkolaborassi dengan LPM. Kemudiam mahasiswa KKN yang didampingi perpustakaan secara kontinu. Jadi buku-buku yang dimiliki UMY itu bisa terbaca oleh masyarakat luas," kata Novy.
Dengan kolaborasi yang apik itu, kata Novy, proses mengembangkan budaya literasi di tengah masyarakat akan lebih mudah dan efisien. Di satu sisi mahasiswa KKN mendapat knowlagde karena berhadapan langsung dengan pengalaman di lapangan, di sisi lainnya masyarakat juga terbantu memecahkan masalah yang selama ini buntu tanpa ada jalan keluarnya.
"iBook yang kami sediakan tidak hanya buku yang terkait dengan kuliah saja, tapi bahkan kami punya cerita anak-anak, buku novel remaja, kemudian buku terkait pengembangan ekonomi masyarakat, buku terkait dakwah-dakwah, kemudian ada juga buku-buku misalnya perkembangan BUMDes, dana desa, nah itu yang sangat dibutuhkan masyarakat," kata Novy.
Selain itu, Novy juga mengembangkan inovasi portal 'SejarahMu', yaitu portal yang menyediakan konten-konten digital manuskrip salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Manuskrip berupa foto-foto koleksi Muhammadiyah dari zaman dulu hingga sekarang bisa diakses masyarakat dengan cuma-cuma tanpa login username dan password.
"Siapa pun yang ingin mempelajari Muhammadiyah bisa langsung membuka portal itu," ungkap Novy.
Program Literasi Informasi juga terus digalakkan Novy kepada mahasiswa UMY. Program tersebut melatih mahasiswa mencari informasi kemudian membacanya, menganalisis, dan mensintesanya, lalu menuliskannya kembali secara etis menjadi sebuah karya tulis.
"Yang ini bukan hanya sekadar program perpus, tapi sudah masuk mata kuliah khusus Metodologi Penelitian. Semua mahasiswa UMY ikut kuliah ini untuk meningkatkan kualitas tulisan akademiknya," kata Novy.
Advertisement