Liputan6.com, Makassar - Di era revolusi industri 4.0, masyarakat dituntut untuk tidak hanya menguasai literasi lama, yaitu membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga menguasai literasi baru atau yang juga disebut sebagai literasi inklusi sosial.
Literasi tersebut mencakup literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Konsep Knowledge-driven economy sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi hari ini.
Baca Juga
Ekonomi berbasis pengetahuan, atau knowledge economy, didasarkan atas produksi, diseminasi dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan.
Advertisement
"Ekonomi berbasis pengetahuan, atau knowledge economy, didasarkan atas produksi, diseminasi dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan," jelas Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Adin Bondar, saat menjadi narasumber kunci talkshow kegiatan Duta Baca Indonesia di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, Rabu (25/10/2023).
Di negara-negara berkembang, para pembuat kebijakan menghadapi berbagai kesulitan untuk membangun sistem dan kemampuan berbasis pengetahuan ini. Akibatnya, yang terjadi malah tidak hanya miskin secara ekonomi tapi juga miskin pengetahuan. Ambil contoh tingginya angka stunting yang terjadi di Indonesia.
"Stunting di Indonesia bukan hanya karena kemiskinan ekonomi tetapi karena kemiskinan ilmu pengetahuan sehingga masyarakat kurang berdaya," katanya.
Transformasi perpustakaan menjadi salah satu solusi bagaimana masyarakat dapat belajar secara kontekstual sehingga masyarakat bisa produktif dengan literasi terapan. Justru persoalan stunting salah satunya bisa diatasi dengan literasi keluarga. Adin menekankan sentuhan literasi pada anak di 1.000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Terlebih saat golden age (1-5 tahun) dimana jutaan sel berkembang.
Negara Swedia bahkan telah melakukan revolusi pendekatan pendidikan anak dengan membatasi smartphone dan lebih mendekatan kegiatan interaktif terhadap anak. Karena kalau tidak dilakukan rangsangan pada anak maka akan terjadi penyusutan otak atau atrofi. Kondisi yang kurang sempurna itu seringkali menjadi alasan seseorang malas berikhtiar menemukan jalan keluar.
Â
Pengalaman Gol A Gong
Duta Baca Indonesia Gol A Gong pernah berpikir bagaimana keterbatasan fisik akan berimbas pada kemalangan nasib. Namun, ibunda malah mengarahkan Gong pada tiga kebiasaan lain, yakni jogging, membaca, dan mendengarkan cerita ibunya. Jogging melatih fisik dan mental. Bahkan, bisa dirinya menyabet medali emas dari even badminton paralympic pada tahun 1984-1989.
Gol A Gong mengatakan, dari kebiasaan membaca buku dan mendengarkan dongeng sejak kecil inilah yang menjadi pondasi awal dari banyaknya buku yang saya rilis.
"Sudah 126 buku yang saya terbitkan," katanya.
Itulah kenapa banyak yang bilang kalau aktivitas membaca itu memberi kesehatan. Karena setiap kali membaca akan menghubungkan neuron-neuron yang ada di dalam otak. Kalau tidak membaca justru bisa membuat kantuk karena neuron manusia tidak bekerja.
Sementara itu, Abdullah Sanneng Pustakawan Ahli Utama Perpusnas mengatakan, orang yang membaca tetapi tidak mencerna dan memahami dengan baik seperti orang yang makan tapi tidak dikunyah.
Anak-anak yang dengan pengalaman membaca yang terlatih dan konsisten bisa menghindarkan dari penyakit demensia pada umur diatas 70 tahun.
Sedangkan Pegiat literasi Bachtiar Adnan Kusuma menceritakan bahwa kelihaian tentara Uni Soviet (kini Rusia) menggunakan peralatan tempur canggih dari Jerman namun masih kalah dari tentara Jepang yang mahir membaca rumus penggunaan alat-alat militer.
"Itu semua karena membaca," kata Bachtiar.
Dosen UIN Alauddin Makassar Wahyudin memberi contoh nyata kegemaran membaca buku mengantarkan raihan delapan beasiswa prestisius untuk berkuliah di luar negeri. Setidaknya, ada tujuh faktor pendorong orang menjadi pembaca buku, yaitu tradisi keluarga, teladan orang tua, guru, teman sebaya, lingkungan masyarakat, pengalaman personal, dan tragedi.
Advertisement