Liputan6.com, Bali - Setiap enam bulan sekali, warga desa Munggu, kabupaten Badung, Bali, menggelar tradisi bernama mekotek. Ritual yang menggunakan kayu sebagai sarana utama ini bukan sekadar pertunjukan.
Tradisi ini warisan leluhur yang dipercaya sebagai penolak bala. Tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia sejak 2016. Mengutip dari laman Kemdikbud,Â
Tradisi mekotek bermula dari penyambutan prajurit kerajaan Mengwi yang pulang dengan kemenangan dari kerajaan Blambangan di Jawa. Sejak itu, ritual ini diwariskan turun-temurun sebagai simbol kemenangan dan persatuan.
Advertisement
Pada masa kolonial Belanda tahun 1915, mekotek sempat dilarang karena dianggap memicu pemberontakan. Akan tetapi, larangan itu justru diikuti wabah penyakit.
Baca Juga
Ketika tradisi dihidupkan kembali, wabah pun mereda, sehingga masyarakat semakin meyakini mekotek sebagai ritual tolak bala. Mekotek digelar setiap 210 hari sekali, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan dalam kalender Hindu.
Sekitar 2.000 warga dari 15 banjar di desa Munggu turut serta, terdiri dari pria berusia 12 hingga 60 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya, yakni kancut dan udeng batik, sebelum berkumpul di pura dalem Munggu untuk melakukan persembahyangan.
Setelah ritual doa, peserta membawa tongkat kayu pulet sepanjang 2-3,5 meter yang dihiasi tamiang dan daun pandan. Kayu-kayu itu kemudian disatukan membentuk piramida, sambil saling bergesekan menghasilkan bunyi tek-tek yang menjadi asal nama mekotek.
Â
Memanjat sampai Puncak
Beberapa peserta memanjat hingga puncak piramida, memberi komando untuk menabrak formasi kelompok lain. Semua dilakukan diiringi alunan gamelan.
Awalnya, mekotek menggunakan tombak besi sebagai simbol semangat perang. Akan tetapi, karena banyaknya korban luka, senjata diganti dengan kayu agar lebih aman.
Meski terlihat berbahaya, tidak pernah ada permusuhan dalam ritual ini. Justru, mekotek menjadi ajang mempererat kebersamaan warga.
Keunikan mekotek menarik perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke Bali, terutama saat Hari Raya Kuningan. Pemerintah Indonesia mengakui nilai budaya tradisi ini dengan menetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada 2016.
Penulis: Ade Yofi Faidzun
Advertisement
