Kelompok Anak di Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang Terdampak Kekeringan

Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang terdampak kekeringan yang berdampak kepada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya anak-anak.

oleh Arie Nugraha diperbarui 26 Des 2023, 07:00 WIB
Diterbitkan 26 Des 2023, 07:00 WIB
Masyarakat Sumba Barat
Ibu Shinta, Masyarakat Sumba Barat dapat menanam dan menyiram benih sayur di pekarangan rumahnya setelah Save the Children membantu menyediakan akses air bersih bagi Masyarakat sekitar. (sumber foto: Save The Children)

Liputan6.com, Bandung - Sebanyak tiga daerah di Indonesia yakni Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang terdampak kekeringan yang berdampak kepada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya anak-anak.

Hasil itu merupakan kajian cepat organisasi nirlaba Save the Children Indonesia pada November 2023 tentang dampak kekeringan memaparkan bahwa, kelangkaan air, kerawanan pangan memperburuk situasi masalah kesehatan,

Menurut Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia, Tata Sudrajat, studi ini memaparkan bahwa kelangkaan air berdampak pada kesehatan dan pendidikan anak.

"Banyak anak di daerah yang terdampak mengalami infeksi saluran pernapasan akut selama kekeringan berkepanjangan dan ini menyebabkan mereka tidak dapat masuk sekolah," uja Tata dalam siaran medianya, Bandung, Sabtu, 23 Desember 2023.

Tata mengatakan selain masalah pendidikan, kendala iklim ini berdampak pada sektor kerawanan pangan yang mengancam berkontribusi pada angka prevalansi stunting (aggal tumbuh kembang) yang tinggi serta risiko angka perkawinan anak yang meningkat karena situasi sulit ini.

Tata menuturkan di Lombok Barat, sejak Juli 2023 debit air minum bersih turun dari 100 liter per detik ke 30 liter per detik. Kekeringan ini terjadi lebih awal dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

Kondisi kekeringan ucap Tata, yang ditandai oleh kelangkaan air dan perubahan lingkungan, secara langsung memengaruhi ketersediaan sumber daya pangan dan air.

"Kelangkaan ini dapat berkontribusi pada kerawanan pangan dan kurangnya keragaman pangan, yang pada akhirnya memengaruhi asupan gizi kelompok rentan, terutama anak-anak di bawah lima tahun. Selain itu, prevalensi stunting di Lombok Barat tetap tinggi hingga tahun 2023, mencapai 13,63 persen," ungkap Tata.

Tata menambahkan sedangkan di Sumba Timur, masyarakat harus melakukan perjalanan 1,5 – 3 km ke mata air setiap pukul 5 pagi. Tak ayal hal it tidak jarang anak-anak juga dilibatkan dalam pengambilan air.

Untuk di Kupang, tingkat air sumur bor dibeberapa titik mengalami penurunan yang signifikan, dan hal ini menganggu distribusi air ke masyarakat setempat termasuk ke area sawah. Tak jarang dari masyarakat juga harus membeli air di desa-desa terdekat.

"Situasi sulit ini menyebabkan peningkatan stres dan tekanan emosional dalam keluarga karena intensifikasi persaingan untuk sumber daya yang langka seperti air," ungkap Tata.

Hal itu dapat menyebabkan konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Data UPTD PPA telah menerima dan mengelola lebih dari 200 kasus dari Januari hingga Juli 2023, diantarnya adalah kasus kekerasan fisik dan seksual.

Dalam beberapa kasus kesehatan mental orangtua dan anak juga harus menjadi perhatian. "Laporan Global Save the Children 'Generation Hope' tahun 2022, memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia atau sepertiga dari populasi anak dunia, hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi," kata Tata.

Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman tersebut. Dampak krisis Iklim ini menjelaskan bahwa anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional, karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi.

Krisis iklim adalah krisis hak-hak anak. Maka, di tahun 2024, Save the Children mendorong ada langkah aksi yang nyata untuk lebih banyak mendiskusikan perubahan iklim dari sisi anak-anak.

"Kita perlu mendorong kebijakan dan program untuk membantu anak dan keluarga, terutama yang paling terdampak oleh krisis iklim, untuk dapat mengatasi kesulitan, beradaptasi serta bersikap dan berperilaku baru sesuai perubahan yang terjadi," tukas Tata.

Save the Children Indonesia juga menyuarakan urgensi 2024 menuju Indonesia Emas 2045, diantaranya adalah dengan sinergitas program pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan khusus anak, terutama menjangkau anak dan keluarga yang paling terdampak oleh krisis iklim.

Melibatkan anak-anak dan orang muda sebagai pemangku kepentingan yang setara dan penggagas perubahan untuk mengatasi krisis iklim dengan membangun platform yang ramah dan aman. Kepentingan terbaik bagi anak harus dikedepankan dalam konteks RPJPN 2025 – 2024, RPJMN 2025 – 2029, Program Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, maupun dalam Pendekatan Adaptasi Iklim yang berpusat pada anak.

"Save the Children memercayai setiap anak berhak mendapatkan masa depan. Di Indonesia dan di seluruh dunia, Save the Children melakukan apapun yang harus dilakukan setiap hari dan saat krisis—agar anak-anak mendapatkan pemenuhan hak atas hidup yang sehat, kesempatan untuk belajar, dan perlindungan," jelas Tata.

Pakar organisasi ini pergi ke tempat yang paling sulit dijangkau di mana sangat sulit untuk menjadi anak-anak. Save the Children memastikan kebutuhan unik anak-anak terpenuhi dan suara mereka didengarkan. Bersama anak-anak, keluarga dan masyarakat, serta pendukung di seluruh dunia, kami mencapai hasil berkelanjutan untuk jutaan anak.

Dengan pengalaman lebih dari 100 tahun, Organisasi ini menjadi yang pertama dan terkemuka di dunia organisasi independen untuk pemenuhan hak anak—mengubah kehidupan dan masa depan bersama.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya