Guru Besar UGM: Pengembangan Obat Baru Lebih Cepat dengan Manfaatkan Big Data dan AI

Kemajuan teknologi mempengaruhi dunia kesehatan terutama obat obatan. Teknologi memungkinkan menemukan obat baru dengan menggunakan big data dan AI. Seperti apa ya?

oleh Yanuar H diperbarui 08 Feb 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2024, 20:00 WIB
4 Jenis Obat Antivirus untuk Pasien Covid-19, Ivermectin Dicoret dari Daftar
Bukan Ivermectin, ini 4 jenis obat antivirus untuk pasien Covid-19 berdasarkan rekomendasi pedoman medis Covid-19 terbaru. (pexels/karolina grabowska).

Liputan6.com, Yogyakarta - Pandemi COVID-19, memaksa semua pihak memikirkan cara mempercepat waktu penemuan dan pengembangan obat dan vaksin dengan metode penemuan obat baru, efektif, dan lebih murah. Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM, Arief Nurrochmad mengatakan kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence) bersama dengan big data mempunyai potensi untuk menyediakannya sumber dan metodenya yang mampu menganalisis data dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat.

“Penggunaan big data dan AI berkembang begitu cepat sehingga meningkatkan penemuan target obat dalam kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ucapnya di Balai Senat UGM, Selasa (6/2/2024).

Menurut Arief penting untuk memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang farmakologi dan toksikologi sebagai upaya penemuan dan pengembangan obat baru. Semakin baik kandidat obat dirancang selama tahap percobaan, akan meminimalkan kemungkinan obat tersebut gagal pada tahap akhir terutama dalam uji klinis dengan pengujiannya sangat mahal.

“Dibandingkan dengan metode penemuan obat secara tradisional, desain obat yang rasional, penggunaan metode desain obat yang dibantu komputer, terbukti lebih efisien dan ekonomis,”ucapnya.

Arief mengatakan secara umum, prosedur adanya obat baru sangat mahal dan membosankan. Pada tahun 2018, hasil studi Moore et.al 2008 menjelaskan jika biaya rata-rata uji kemanjuran untuk 59 obat baru yang disetujui oleh FDA selama 2015-2016 adalah 19 juta USD. Oleh karena itu, diperlukan metode untuk mengatasi keterbatasan prosedur penemuan obat konvensional dengan memperkenalkan metode yang lebih efisien, berbiaya rendah dan berbasis komputasi.

“Pengembangan obat baru mulai dari ide awal hingga peluncuran produk jadi merupakan proses yang kompleks, memakan waktu 12–15 tahun dan menghabiskan biaya lebih dari 1 miliar USD,” paparnya.

Arief mengatakan dalam pidato pengukuhan berjudul Peran Farmakologi dan Toksikologi dalam Pengembangan Obat Baru: Perspektif Baru Penggunaan Big Data dan Jejaring Farmakologi, produksi obat berbasis riset dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan obat. Sementara pengembangan obat baru proses panjang dan waktu yang lama.

“Industri farmasi di Indonesia lebih banyak melakukan formulasi dan atau pengemasan obat dibandingkan memproduksi obat berbasis riset,” jelasnya.

Di Indonesia ketersediaan produk farmasi, termasuk obat obatan baru dan inovatif masih terbatas. Bahkan obat baru di tanah air saat ini masih didominasi produk impor karena masih terbatasnya industri farmasi yang menghasilkan obat berbasis riset meski pemerintah telah melakukan intervensi regulasi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya