Pesta Adat dan Budaya Lom Plai, Rasa Syukur Berkat Panen Subur Masyarakat Dayak

Suku Dayak Wehea merupakan suku yang pertama kali mendiami Sungai Wehea yang kini dikenal dengan nama Sungai Wahau.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 18 Mar 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2024, 00:00 WIB
Ilustrasi tanaman padi (Istimewa)
Ilustrasi tanaman padi (Istimewa)

Liputan6.com, Samarinda - Lom plai merupakan adat masyarakat Suku Dayak Wehea yang masih dilestarikan hingga sekarang. Tahun ini, pesta adat dan budaya lom plai bakal digelar pada 18 Maret-23 April 2024.

Suku Dayak Wehea merupakan suku yang pertama kali mendiami Sungai Wehea yang kini dikenal dengan nama Sungai Wahau. Mengutip dari kutaitimurkab.go.id, di sana terdapat permukiman Desa Nehas Liah Bing.

Desa tersebut merupakan yang tertua di antara desa-desa Wehea lainnya. Bahkan, Desa Nehas Liah Bing juga merupakan yang tertua dibandingkan desa lain di wilayah Kecamatan Muara Wahau, Kongbeng, dan Telen.

Masyarakat Suku Dayak Wehea bakal kembali menggelar pesta adat dan budaya lom plai tahun ini. Lom plai merupakan ritual yang dilakukan setelah panen padi usai. Acara adat ini memiliki rangkaian acara yang cukup panjang, mulai dari ngesea egung atau pemukulan gong oleh keturunan raja hingga embob jengea atau pesta panen sebagai puncak acara.

Menurut kepercayaan Suku Dayak Wehea, padi adalah jelmaan manusia. Oleh karena itu, penghormatan setinggi-tingginya perlu dilakukan pada padi.

Konon, hal ini didasarkan pada peristiwa zaman dahulu ketika Suku Dayak Wehea dilanda bencana kekeringan dan kelaparan. Semua tanaman dan tumbuhan mati dan menyebabkan gagal panen.

Kekeringan itu mengakibatkan munculnya masalah baru, yaitu kelaparan. Banyak warga yang menderita dan berujung pada jatuh sakit hingga kematian.

Tak hanya warga, bahkan Hepuy Ledoh (ratu perempuan) bernama Diang Yung pun juga merasakan bencana tersebut. Sang Hepuy kemudian berusaha mencari cara untuk menyelamatkan warganya.

Hingga pada suatu malam, ia bermimpi didatangi Dohton Tenyiei (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dalam mimpinya, Dohton Tenyiey meminta Diang Yung mengorbankan putri tunggalnya, Putri Long Diang Yung, untuk menyelamatkan warga dari bencana kekeringan dan kelaparan.

 

Terjaga dari Tidur

Setelah terjaga dari tidurnya, hati Diang Yung berkecamuk. Akhirnya diadakan musyawarah dengan tetua adat dan pemuka masyarakat yang kemudian disepakati bahwa banyak masyarakat yang harus diselamatkan, sehingga Putri Long Diang Yung akan dikorbankan.

Dalam prosesinya, masyarakat berkumpul di pusat kampung dengan mengucapkan sumpah yang berbunyi, "Pertama, orang harus menyayangi padi seperti saya menyayangi anak saya dan jangan bertindak kasar atau durhaka terhadapnya. Kedua, padi yang adalah anak saya harus di erau-kan (lom atau pesta) seperti saya melakukan terhadapnya. Ketiga, bagi orang yang memiliki padi dan menikmatinya serta taat kepada sumpah, akan selamat, panjang umur, sejahtera dan makmur. Keempat, bagi yang melanggar sumpah akan celaka, ketulahan, dan akan menderita karena sakit dan tidak panjang umur".

Selesai mengucapkan sumpah, sang putri pun dikorbankan. Seketika, suasana menjadi gelap dan hujan pun turun sangat deras. 

Ajaibnya, di tempat Putri Long Diang Yung dikorbankan telah berubah menjadi serumpun padi yang tumbuh tinggi dan mengeluarkan bulir-bulir yang sudah menguning. Padi itu kemudian dinamakan plai long diang yung.

Peristiwa itulah yang mendasari orang-orang Suku Wehea hingga kini masih konsisten melaksanakan ritual lom plai. Menurut kalender event di laman resmi Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, pesta adat dan budaya lom plai bakal digelar sepanjang 18 Maret 2024 hingga 23 April 2024 di Kabupaten Kutai Timur.

 

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya