Mengenal Tradisi Menyimpan Mayat di Tana Toraja

Gua Londa yang berlokasi di perbatasan antara daerah Makale dan Rantepao ini memang merupakan situs pemakaman.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 04 Mei 2024, 15:00 WIB
Diterbitkan 04 Mei 2024, 15:00 WIB
Goa Londa
Goa Londa, salah satu destinasi wisata heritage di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Liputan6.com, Makassar - Tana Toraja dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan tradisinya. Salah satu tradisi unik masyarakat Tana Toraja adalah tradisi menyimpan mayat di dalam peti yang diletakkan secara bertumpuk.

Mengutip dari indonesiakaya.com, tradisi menyimpan mayat ini dilakukan di kawasan wisata Gua Londa. Pemandangan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Para pengunjung akan menjumpai berbagai peti jenazah di setiap sudut gua. Peti-peti itu sengaja diletakkan secara bertumpuk-tumpuk.

Gua Londa yang berlokasi di perbatasan antara daerah Makale dan Rantepao ini memang merupakan situs pemakaman. Saat memasuki kawasan tersebut, pengujung akan disambut sebuah gapura klasik.

Sisi-sisi gapura itu dipenuhi ukiran khas Toraja. Pada bagian sentralnya terdapat patung kepala kerbau dengan tanduk menjuntai.

Sebelum menjadi tempat wisata, Londa merupakan sebuah kawasan pemakaman Suku Toraja berupa kubur batu atau tempat menyimpan mayat. Ini dikhususkan bagi leluhur Toraja dan keturunannya.

Konon, jauh sebelum masuknya Islam dan Kristen, di Tana Toraja sudah terdapat kepercayaan warisan nenek moyang yang disebut Aluk Todolo atau Alukta. Kepercayaan inilah yang kemudian menjadi landasan berbagai ritual adat dan tradisi masyarakat Toraja.

Pada dasarnya, Alukta tidak mengharuskan penyimpanan mayat dan hanya menganjurkan akan segera melaksanakan upacara pemakaman sebagai pelaksanaan aluk to mate (memperlakukan orang yang telah mati). Menurut mereka, semakin cepat jenazah dimakamkan, maka akan semakin banyak kesempatan untuk melaksanakan upacara pemberkatan lainnya.

Jenazah-jenazah tersebut kemudian disimpan di dalam gua dan liang-liang bukit. Tujuannya untuk memberi kesempatan bagi keluarganya menunjukkan kasih sayang sekaligus menunggu terkumpulnya biaya dan hewan korban untuk upacara rambu solo.

Rambu solo merupakan upacara mengantarkan jenazah ke alam yang disebut puya. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, masyarakat setempat juga memiliki berbagai alasan lainnya.

Dahulu, masyarakat adat Toraja menyimpan jenazah di dalam rumah tongkonan. Paling lama, jenazah disimpan selama 36 malam untuk keluarga bangsawan. Sementara dari golongan lainnya, waktu penyimpanan jenazah lebih singkat bahkan tidak disimpan sama sekali.

 

Anggapan Berbeda

Seiring berjalannya waktu, masyarakat adat Toraja memiliki sebutan dan anggapan berbeda tentang jenazah yang disimpan. Ada yang menganggap To Makula (jenazah yang disimpan dianggap hanya sebagai orang yang sakit) dan To Mate (jenazah sedang dalam rangkaian upacara aluk to mate).

Saat memasuki Gua Londa, pengunjung akan menjumpai berbagai peti jenazah khusus bagi marga keturunan Tau-Tau. Pengunjung juga akan melihat botol minuman, rokok, sirih, atau pakaian di sekitar peti mati. Hal ini menunjukkan bahwa jenazah yang disimpan dianggap sebagai To Makula.

Tak jauh dari situs pemakaman Londa, terdapat situs kubur batu lainnya yang bernama Lemo. Saat memasuki kawasan Lemo, pengunjung akan disambut para penjual pernak-pernik khas Toraja.

Selanjutnya, pemandangan tebing karst yang berongga-rongga menyambut para pengunjung. Rongga-rongga inilah yang menjadi tempat penyimpanan peti jenazah. Terdapat patung-patung manusia di sekitarnya yang menjadi simbol adanya orang yang jenazahnya disemayamkan di tebing tersebut.

Situs pemakaman kubur batu Londa dan Lemo menjadi bukti kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Tana Toraja. Kini, tempat-tempat tersebut telah berkembang menjadi destinasi wisata yang bisa dinikmati siapa saja.

 

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya