Mapasilaga Tedong, Ritual Adu Kerbau Toraja yang Hampir Punah

Upacara adat ini juga membutuhkan persiapan luar biasa. Dengan biaya mencapai ratusan juta rupiah dan semakin sedikitnya generasi yang mempertahankannya, tradisi ini perlahan menghilang dari tanah Toraja.

oleh Switzy Sabandar Diperbarui 13 Apr 2025, 04:00 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2025, 04:00 WIB
suku toraja
Seorang pria asal toraja sedang membuat alat musik Karimbi dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Seduania (8/8/2016)... Selengkapnya

Liputan6.com, Makassar - Di balik kemegahan upacara kematian rambu solo, masyarakat Toraja menyimpan sebuah tradisi langka yang semakin sulit ditemui. Mapasilaga tedong, ritual adu kerbau sakral yang hanya dilakukan untuk keluarga bangsawan.

Upacara adat ini juga membutuhkan persiapan luar biasa. Dengan biaya mencapai ratusan juta rupiah dan semakin sedikitnya generasi yang mempertahankannya, tradisi ini perlahan menghilang dari tanah Toraja.

Mengutip dari berbagai sumber, mapasilaga tedong merupakan bagian dari upacara kematian (rambu solo) dalam strata sosial tertinggi masyarakat Toraja. Ritual ini dipercaya sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi almarhum, sekaligus simbol perjalanan roh menuju alam puya (alam arwah).

Kerbau yang diadu bukan sekadar hewan sembelihan biasa. Melainkan dianggap sebagai kendaraan roh menuju akhirat.

Tidak semua kerbau bisa digunakan dalam mapasilaga tedong. Hanya kerbau bule (albino) atau kerbau lumpur (berwarna hitam legam) yang dianggap layak.

Seekor kerbau bule berkualitas bisa dihargai hingga 500 juta Rupiah. Selain itu, keluarga penyelenggara harus mempersiapkan tempat khusus berupa lapangan berumput yang diberi pagar kayu.

Dua kerbau terpilih dihadapkan di tengah arena. Berbeda dengan adu kerbau biasa, mapasilaga tedong tidak bertujuan untuk melukai atau mengalahkan lawan.

Kerbau-kerbau ini hanya saling beradu kekuatan dengan kepala dan tanduk. Jika salah satu kerbau mundur, pertandingan selesai.

Pemenangnya tidak ditentukan, karena fokus ritual terletak pada prosesnya, bukan hasil akhir. Kerbau dalam masyarakat Toraja merupakan simbol status sosial dan kekayaan.

Dalam upacara kematian, jumlah kerbau yang disembelih menentukan seberapa terhormat prosesi pemakaman tersebut. Mapasilaga tedong menambahkan nilai lebih karena kerbau yang diadu harus memenuhi syarat fisik dan spiritual tertentu.

Setelah diadu, kerbau-kerbau tersebut disembelih sebagai persembahan. Dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang hadir, sementara kepala dan tanduknya dipajang di sekitar tongkonan (rumah adat) Toraja.

Tulang-tulang kerbau juga disimpan sebagai bagian dari tradisi ma’nene. Ritual ini sebagai pembersihan jenazah yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Biaya yang sangat tinggi menjadi faktor utama semakin langkanya mapasilaga tedong. Selain itu, generasi muda Toraja banyak yang enggan melanjutkan tradisi ini karena dianggap tidak praktis. Beberapa keluarga bangsawan lebih memilih menyembelih kerbau tanpa mengadakan adu terlebih dahulu untuk menghemat biaya.

Penulis: Ade Yofi Faidzun

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya