3 Faktor Pemicu Kekerasan Seksual: Insting, Relasi Gender, dan Kuasa

Aktivitas seksual bisa menjadi kekerasan seksual di antaranya jika dilakukan dengan pamaksaan atau tanpa persetujuan.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 04 Jul 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2024, 18:00 WIB
Sosialisai UU TPKS saat Car Free Day di Bundaran HI Jakarta
Masyarakat membawa poster sosialisasi UU TPKS saat Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (25/9/2022). Kampanye Undang-undang Tindak Pelaku Kekerasan Seksual (UU TPKS) tersebut dilakukan agar masayarakat dapat mengetahui UU ini menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Bukan hanya korban yang bisa melaporkan tindak kekerasan seksual, tapi bagi yang mendengar atau melihat juga bisa melaporkan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Bandung - Prof Manneke Budiman, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Indonesia (UI) Periode 2021-2024, menyampaikan, setidaknya terdapat 3 faktor dasar pemicu terjadinya kekerasan seksual.

Pertama, katanya, adalah insting seksual. Dia menjelaskan, insting seksual bersifat primitif, nyaris tidak berevolusi, mustahil dapat dijinakkan sepenuhnya, dan bersifat agresif serta sangat kuat.

Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara pada Studium Generale di kampus ITB, Bandung, dicuplik kembali Liputan6.com melalui saluran Youtube ITB, (1/7/2024).

Dosen yang juga menjabat Ketua Departemen Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu mengatakan, faktor lainnya yang menjadi pemicu kekerasan seksual adalah relasi gender.

"Relasi gender yang tidak setara menyebaban perempaun kerap dipandang inferior, lemah, rentan, dan membutuhkan perlindungan laki-laki," katanya.

Sementara, faktor ketiga adalah relasi kuasa. Menurutnya, "ketimpangan terlalu tajam dalam hubungan seperti antara warga universitas (dosen, mahasiswa, tendik) bisa memperbesar peluang terjadi kekerasan seksual".

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Mengenai Consent

Aktivitas seksual bisa menjadi kekerasan seksual di antaranya jika dilakukan dengan pamaksaan atau tanpa consent atau persetujuan.

Menurut Manneke, persetujuan itu harus diberikan secara sukarela, tidak di bawah tekanan. Selain itu, persetujuan itu dapat diubah setiap saat, berdasarkan pemahaman yang jelas atas apa yang disetujui, diberikan tidak dengan keengganan, bersifat spesifik/khusus.

"Satu consent untuk satu jenis perbuatan," katanya.

Sementara itu, persetujuan tidak sah apabila pemberinya di bawah umur.

"Jadi walaupun korbannya bilang iya, tetapi pelaku bisa tetap dijerat yaitu bila, korban di bawah umur. Sekarang banyak anak SMA yang masuk ke universitas yang usianya masih 16 tahun. Tidak lantas karena dia mahasiswa, dia bisa dipacari dan melakukan hubungan seksual, dan berdalih ia setuju. Pelakunya ini tetap kan terkena aturan kekerasan seksual," katanya.

Selain itu, terdapat hal lain seperti persetujuan itu diberikan di bawah ancaman/tekanan, di bawah pengaruh obat-obatan, dalam keadaaan sakit/tak sadar/tertidur.

"Keadaan tidak mampu melakukan apa-apa itu seringkali ketika orang seketika menjadi lumpuh beberapa saat saking shoknya. Itu tidak berarti konsen karena dia diam saja dan tidak merespon apa-apa," kata Manneke.

Selanjutnya, dalam kondisi fisik atau psikis lemah, dalam keadaan tidak mampu memutuskan/melakukan apa-apa, dan dalam kondisi terguncang.

"Dan dalam keadaan terguncang seperti putus dari pacaranya, minggat dari rumahnya, kemudian kita memanfaatkan keadaan itu berpura-pura menjadi pendengar yang baik, tapi tujuannya memancing di air keruh," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya