Aliansi Masyarakat Sipil Jabar Kecam Kekerasan Polisi saat Demo Peringatan Darurat di Bandung

Diduga, kekerasan terhadap masyarakat sipil itu dilakukan tidak hanya oleh polisi berseragam, tapi juga oleh aparat tak berseragam.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 26 Agu 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2024, 01:00 WIB
demo bandung
Massa aksi "Rakyat Gugat Negara" mmenggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung. (Liputan6.com/Dikdik Ripaldi)

Liputan6.com, Bandung - Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat mengecam kekerasan yang diduga dilakukan aparat kepolisian saat demonstrasi di Kota Bandung pada Kamis (22/8) dan Jumat (23/8) lalu. Korban kekerasan tidak hanya massa aksi tapi juga paramedis, pembela HAM, hingga jurnalis termasuk pers mahasiswa (persma).

Aksi di yang berlangsung di Jalan Diponegoro, tepatnya di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat itu disebut tidak hanya mempersoalkan Badan Legislasi DPR yang berupaya menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Lebih dari itu, demonstrasi masyarakat sipil di Bandung sejatinya bagian dari puncak kemuakan atas rentetan praktik penghancuran demokrasi yang terjadi sepanjang rezim Jokowi.

Aksi di Bandung berakhir ricuh. Pantauan Liputan6.com, kericuhan di dua hari itu terjadi pada waktu selepas magrib.

[bacajuga:Baca Juga](5682920 5682522 5680570

Aliansi memantau bahwa kekerasan polisi dilakukan lewat berbagai cara, dari mulai pengamanan berlebihan, penembakan gas air mata, penganiayaan fisik seperti pemukulan memakai benda keras, pengeroyokan, pengepungan, pengejaran dan penyisiran terhadap massa yang telah membubarkan diri, intimidasi verbal, hingga pelarangan liputan.

Diduga, kekerasan terhadap masyarakat sipil itu dilakukan tidak hanya oleh polisi berseragam, tapi juga oleh aparat tak berseragam, bahkan pelibatan ormas.

Direktur LBH Bandung, Heri Pramono menyampaikan, saat demonstrasi hari Kamis, korban yang sempat dievakuasi ke kampus Unisba mencapai 16 orang. Sebanyak 7 orang dilarikan ke rumah sakit. Sekitar 25 orang ditangkap polisi dan sebanyak 2 orang diduga jadi korban penyanderaan kendaraan.

Jumlah korban di hari Jumat justru semakin bertambah. Sekitar 100 orang diduga jadi korban kekerasan. Sebanyak 88 orang diketahui mengalami luka-laku, dan 1 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Ada 12 orang lainnya yang ditangkap polisi.

"Ini masih catatan sementara," katanya saar konferensi pers di kampus Unisba, Sabtu, 24 Agustus 2024.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Ini:


Mahasiswa, Paramedis, Pembela HAM

Dalam siaran tertulis Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat, disampaikan, salah satu korban adalah mahasiswa Universitas Bale Bandung (Unibba) bernama Andi Andriana.

Ia mengalami kebutaan, mata kiri hancur terkena lemparan batu. Penting dicatat, sebagaimana pengakuan pihak BEM, batu itu dilempar dari arah barisan polisi saat demonstrasi hari Kamis.

"Memang pelaku pelemparan belum dapat dipastikan, tetapi kepolisian kiranya perlu menelusuri kasus ini secara serius, jujur dan transparan, begitupun terhadap kasus-kasus kekerasan lainnya," dikutip dari siaran pers.

Kekerasan juga dialami pembela HAM atau human rights defender PBHI Jawa Barat, Deti Sopandi. Kejadian ini pun menegaskan bahwa pembela HAM tidak hanya kerap diadang polisi dalam melakukan pembelaan bantuan hukum, kini juga mendapatkan serangan represif.

"Aparat pun seolah tak menghargai kerja-kerja kemanusiaan dengan mengintimidasi, melakukan kekerasan fisik, terhadap paramedis," katanya.

Kekerasan Terhadap Jurnalis

Kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat tak berseragam atau ormas juga menimpa jurnalis termasuk pers mahasiswa. Berdasarkan catatan AJI Bandung dan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), sedikitnya ada 11 jurnalis yang tercatat mengalami kekerasan dari mulai intimidasi verbal hingga kekerasan fisik.

Salah satu kasus yang mencolok adalah kasus yang dialami jurnalis Pikiran Rakyat, Alza Ahdira. Kekerasan terhadi Ketika ia hendak mengambil motornya yang terparkir di sekitaran Gedung DPRD Jawa Barat.

Pada hari Kamis itu, ia tiba-tiba dikerubungi 5 orang tak dikenal berpakaian bebas. Mulanya, para pelaku secara kasar hendak merampas gawai milik Alza, mereka meminta agar Alza menghapus semua dokumentasi aksi.

Alza berusaha mempertahankan alat kerjanya itu, tapi karena merasa terancam ia pun terpaksa menghapus hasil dokumentasinya. Id pers milik Alza juga dirampas, bahkan kepala bagian belakangnya dipukul memakai bambu. Padahal, Alza mencirikan diri dengan memakai pakaian khusus kantor Pikiran Rakyat, menunjukan id pers dan menegaskan secara langsung bahwa dirinya adalah jurnalis. Namun, “orang-orang tak dikenal itu”, tak menghiraukannya.

 


Pernyataan Sikap Bersama

Diketahui, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat ini terdiri dari beberapa kelompok antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) Jawa Barat, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat.

Dalam konferensi pers Sabtu kemarin, mereka bersama-sama menyatakan sejumlah poin pernyataan sikap, sebagai berikut.

1. Mengecam segala bentuk represivitas aparat

2. Mendesak Kapolri mengevaluasi perilaku dan tindakan brutal anak buahnya dalam menghadapi aksi massa 3. Mendesak semua pihak terutama kepolisian menghormati kerja-kerja jurnalis termasuk persma sesuai UU Pers

4. Mendesak pihak kepolisian turut menjaga keselamatan paramedis dan pembela HAM

5. Mendesak pihak kepolisian secara serius menghargai kebebasan berpendapat sebagai bagian dari HAM, bukan malah menyempitkan ruang kebebasan sipil tersebut.

Mereka menyatakan bahwa penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ketika aksi demonstrasi di Bandung adalah tindakan pelanggaran hukum dan melanggar peraturan internal Kapolri itu sendiri. Dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 jelas disebutkan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa tidak terkendali. Polisi harus berhenti melakukan kekerasan kepada masyarakat sipil termasuk ketika berdemonstrasi.

"Setiap kekerasan, represi dan brutalitas aparat merupakan tindakan yang merusak nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, juga ancaman yang begitu nyata terhadap keselamatan serta kebebasan masyarakat sipil. Menurut kami, tangan dan kaki mereka yang dilumuri kekerasan itu adalah bentuk pengkhianatan atas semboyannya sendiri tentang “melindungi”, “mengayomi”. Kami masyarakat sipil bersama-sama tak akan jemu untuk tegak mengecam dan melawan setiap tindakan kekerasan yang sedemikian massif dan terus berulang itu".

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya