Wall Street Tersungkur Imbas Kekhawatiran Ekonomi Global Melambat

Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street melemah dengan indeks saham utama AS alami penurunan terbesar dalam satu hari

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Mar 2019, 05:29 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2019, 05:29 WIB
Perdagangan Saham dan Bursa
Ilustrasi Foto Perdagangan Saham dan Bursa (iStockphoto)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street melemah dengan indeks saham utama AS alami penurunan terbesar dalam satu hari sejak 3 Januari.

Hal ini seiring data pabrik atau manufaktur dari AS dan Eropa sebabkan inversi imbal hasil surat berharga AS memicu kekhawatiran dari penurunan ekonomi global.

Pada penutupan perdagangan saham, Jumat (Sabtu 23/3/2019), indeks saham Dow Jones melemah 460,19 poin atau 1,77 persen ke posisi 25.502,32.

Indeks saham S&P 500 susut 54,17 poin atau 1,9 persen ke posisi 2.800,71. Indeks saham Nasdaq tergelincir 196,29 poin atau 2,5 persen ke posisi 7.642,67.

Selama sepekan, indeks saham utama di wall street cenderung tertekan. Wall street melemah didorong data aktivitas pabrik AS lebih lemah dari perkiraan pada Maret.

Hal ini juga seiring dengan laporan sama dari Eropa dan Jepang sehingga mendorong imbal hasil surat berharga AS alami inverse dengan imbal hasil bertenor tiga bulan melebihi 10 tahun untuk pertama kalinya sejak 2007.

Data tersebut mengindikasikan risiko jangka pendek, dan dilihat oleh banyak orang sebagai pertanda dari potensi resesi. Kurva imbal hasil surat berharga terbalik tampaknya mengkonfirmasi kekhawatiran investor tentang perlambatan global dalam pertumbuhan ekonomi.

"Sampai batas tertentu, apa yang terjadi dengan kurva imbal hasil telah dibesar-besarkan. Saya tidak akan menyimpulkan resesi sudah dekat,” ujar Berard Baumohl, Direktur Pelaksana dan Kepala Ekonom Global di Princeton, seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (23/3/2019).

Namun, ia memperingatkan agar tidak berpuas diri. "Ada awan nyata yang terbentuk. Pertanyaannya adalah seberapa gelap awan itu dan akan memicu badai resesi,” tutur dia.

Awal pekan ini, bank sentral AS atau the Federal Reserve menyimpulkan pertemuan kebijakan moneter dalam dua hari dengan memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga tambahan pada 2019. Ini tanda-tanda melambatnya ekonomi dan perubahan dovish yang mengejutkan pasar.

 

Sejumlah Saham Tertekan

Perdagangan Saham dan Bursa
Ilustrasi Foto Perdagangan Saham dan Bursa (iStockphoto)

Perusahaan keuangan yang sensitif terhadap suku bunga turun 2,8 persen sehingga mengakhiri pekan terburuk sejak aksi jual terjadi pada akhir Desember.

Dari 11 sektor saham utama dalam indeks S&P 500 berada di zona merah kecuali utilitas. Indeks volatilitas CBOE, indeks yang mengukur kecemasan investor melonjak paling tinggi dalam dua bulan. Saham Nike Inc merosot 6,6 persen usai penjualan perusahaan pakaian olah raga AS itu jauh dari perkiraan.

Tiffany Inc mengatakan, pihaknya memperkirakan pertumbuhan pendapatan akan berlanjut pada paruh kedua 2019 dan menegaskan target pada 2019 sehingga mendorong sahamnya naik 3,1 persen.

Saham produsen mobil listrik Tesla Inc turun 3,5 persen seiring catatan penelitian Cowen yang melihat permintaan melambat dari AS untuk Model 3 hingga rilis model mobil harga lebih rendah dari perusahaan pada kuartal II.

Selain itu, saham Boeing Co kembali merosot dengan susut 2,8 persen. Hal ini seiring maskapai Garuda Indonesia batalkan pesanan USD 6 miliar untuk pesawat Boeing 737 Max. Langkah tersebut menunjukkan pelanggan khawatir setelah kecelakaan pesawat milik Ethiopian Airlines.

Saham Netflix Inc turun 4,5 persen menjelang peluncuran layanan streaming milik Apple pada Senin. Volume perdagangan saham di wall street tercatat 8,66 miliar saham dibandingkan rata-rata perdagangan selama 20 hari sekitar 7,71 miliar saham.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya