Liputan6.com, Jakarta PT Mandiri Sekuritas memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tembus 7.640 pada 2024. Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, menjelaskan IHSG tahun depan utamanya masih dipengaruhi sentimen suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed).
"Untuk indeks IHSG akhir tahun depan di 7.640. Jadi sebelumnya di 2023 ini ekspektasinya 7.180... EPS growth forecast tahun depan 10 persen untuk IHSG, dibanding 2023 yang sebesar 5 pesen," kata Adrian Joezer dalam Media Gathering & Presentasi Macroeconomic Outlook Perkembangan Ekonomi Global dan Indonesia 2023, Selasa (19/12/2023).
Baca Juga
Pada skenario bull, IHSG dapat sentuh 8.030. Sedangkan dalam kondisi bear, IHSG diperkirakan berada pada posisi 6.560.
Advertisement
Dalam hematnya, Joezer menilai suku bunga The Fed saat ini telah mencapai puncaknya dengan kenaikan 250-525 bps selama 27 bulan terakhir, yang akan menyebabkan melemahnya pertumbuhan global. ASEAN-5, termasuk Indonesia, diperkirakan akan menunjukkan ketahanan yang relatif terjaga.
Ketika inflasi turun, suku bunga riil akan naik pada tahun 2024, sehingga memungkinkan bank sentral untuk menurunkan suku bunga, meskipun lamanya jeda The Fed tetap menjadi sebuah risiko.
"Dalam sembilan siklus pengetatan terakhir sejak tahun 1972, jeda The Fed secara historis berdampak positif bagi obligasi dan ekuitas negara berkembang, dengan kinerja yang lebih baik dari negara berkembang dan ekuitas Indonesia 12 bulan setelah jeda The Fed," beber Joezer.
Pada 2023, perubahan penting terjadi dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 5,5 persen, turun dari 34,0 persen pada 2022.
Hal itu seiring dengan melambatnya siklus super komoditas, berkurangnya permintaan yang terpendam, dan kondisi keuangan yang semakin ketat. Tidak termasuk komoditas, pertumbuhan akan semakin melemah pada semester I 2024.
Namun, jika memperhitungkan komoditas, pertumbuhan secara tahunan (yoy) dapat berubah pada kuarta IV 2023 atau kuartal I 2024 karena berkurangnya hambatan EPS komoditas, dan membaiknya likuiditas di tengah belanja fiskal dan pemilu.
Faktor-faktor yang diantisipasi seperti pelonggaran kebijakan moneter dan pelemahan dolar menunjukkan lintasan pertumbuhan yang lebih kuat pada semester II 2024.
Pemulihan Indonesia pasca pengetatan bisa lebih baik dibandingkan siklus pengetatan sebelumnya, di tengah likuiditas perbankan yang relatif lebih baik, depresiasi Rupiah yang lebih rendah, dan fondasi yang lebih tangguh untuk siklus penanaman modal asing (FDI) dan belanja modal.
Â
Pemilu
"Mendekati akhir 2023 dan memasuki tahun 2024, kami memperkirakan perlambatan konsumsi akan stabil dan sedikit membaik seiring dengan peningkatan belanja fiskal dan pemilu. Meskipun pola berbentuk K dapat bertahan, kesenjangan tersebut mungkin menyempit pada semester pertama 2024 dan berpotensi melebar lagi pada semester kedua 2024 kecuali kita melihat adanya dukungan fiskal yang berarti pasca pemilu," kata Joezer.
Sementara itu, perlambatan belanja modal akan segera terjadi memasuki semester pertama 2024 dan akan melemahkan momentum siklus kredit, hingga terjadi akselerasi kembali pada semester kedua 2024 seiring dengan berakhirnya pemilu dan pelonggaran kebijakan moneter.
Rencana pemerintah untuk menyelesaikan proyek-proyek prioritas pada 2024 dapat mendukung belanja infrastruktur.
"Setelah pemilu pada semester pertama tahun 2024, diversifikasi rantai pasokan global dapat terus meningkatkan lebih banyak aliran FDI ke Indonesia seperti yang telah terlihat dalam beberapa tahun terakhir," imbuh dia.
Langkah-langkah fiskal dan moneter yang konservatif, ditambah dengan reformasi transaksi berjalan telah menghasilkan pengurangan premi risiko dan Rupiah (IDR) yang lebih stabil.
Meskipun kebijakan-kebijakan ortodoks telah berdampak pada pertumbuhan, peningkatan ketahanan eksternal menunjukkan potensi peningkatan peringkat utang Indonesia dari status BBB saat ini. Mata uang yang stabil dan kenaikan kecil dalam biaya pinjaman juga telah mendorong kelebihan pengembalian korporasi (ROIC/CoD spread) ke level tertinggi dalam 8-9 tahun.
"Secara struktural, biaya modal yang lebih rendah diharapkan akan memfasilitasi pertumbuhan jangka menengah dan percepatan ROE Indonesia," tutup Joezer.
Advertisement