IHSG Anjlok Usai Libur Isra Mikraj dan Imlek, Ada Apa?

Pengamat pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana menilai IHSG mengalami tekanan jual signifikan pada perdagangan Kamis, 30 Januari 2025.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 30 Jan 2025, 15:32 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2025, 15:32 WIB
IHSG Anjlok Usai Libur Isra Mikraj dan Imlek, Ada Apa?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melaju di zona merah pada perdagangan hari ini, Kamis 30 Januari 2025, usai libur panjang Isra Mi'raj dan Imlek.(Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melaju di zona merah pada perdagangan hari ini, Kamis 30 Januari 2025, usai libur panjang Isra Mikraj dan Imlek. IHSG turun 97,48 poin atau 1,36% ke level 7.068,5 pada sesi pertama. IHSG dibuka pada posisi 7.141 dan bergerak pada rentang 7.150-7.042.

Pengamat pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana menilai IHSG mengalami tekanan jual signifikan pada perdagangan hari ini. Pelemahan ini terjadi di tengah respons negatif pasar terhadap keputusan The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) yang mempertahankan suku bunga dan mengindikasikan pemangkasan akan lebih lambat dari perkiraan.

"Meskipun sebelumnya pasar telah memperhitungkan skenario ini, sinyal dari Ketua The Fed Jerome Powell bahwa bank sentral masih menunggu inflasi turun lebih dekat ke target 2% sebelum memangkas suku bunga membuat investor semakin berhati-hati," ujar Hendra kepada Liputan6.com, Kamis (30/1/2025).

Hal itu diperparah oleh data ketenagakerjaan AS yang tetap kuat, sehingga memperkuat ekspektasi bahwa suku bunga tinggi masih akan bertahan lebih lama. Akibatnya, indeks saham di Asia mayoritas dibuka dengan tekanan jual, sementara saham-saham big caps seperti BBCA, BBRI, dan BMRI menjadi beban utama bagi IHSG.

Sentimen Global

Di tengah ketidakpastian kebijakan moneter global, pelaku pasar kini menantikan sejumlah data ekonomi penting dari AS, terutama PCE Price Index dan Core PCE Price Index, yang menjadi acuan utama bagi The Fed dalam menentukan kebijakan selanjutnya.

Jika inflasi tetap tinggi, ada kemungkinan The Fed menunda pemangkasan suku bunga lebih lama, yang bisa memperpanjang periode tekanan bagi pasar saham global, termasuk Indonesia.

 

Fokus Investor

FOTO: PPKM Diperpanjang, IHSG Melemah Pada Sesi Pertama
Karyawan berjalan di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Indeks acuan bursa nasional tersebut turun 96 poin atau 1,5 persen ke 6.317,864. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Selain itu, investor juga mencermati keputusan Bank Sentral Eropa (ECB) yang akan menggelar pertemuan nanti malam. Jika ECB memangkas suku bunga sebesar 25 bps, hal ini bisa memberikan sedikit harapan bagi pasar keuangan global era suku bunga tinggi mulai mendekati akhir.

Di sisi lain, pelaku pasar juga akan mencermati langkah Bank Indonesia (BI), yang kemungkinan besar akan tetap berhati-hati dalam kebijakan moneternya guna menjaga stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian global.

"Secara teknikal, IHSG kini menguji level support di 7.042. Jika level ini bertahan, ada potensi terjadi rebound teknikal, meskipun dalam jangka pendek pergerakan pasar masih akan dipengaruhi oleh perkembangan kebijakan moneter global," ulas Hendra.

Arah IHSG

Terjebak di Zona Merah, IHSG Ditutup Naik 3,34 Poin
Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). Sejak pagi IHSG terjebak di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Sebaliknya, jika tekanan jual berlanjut, IHSG bisa turun lebih dalam ke kisaran 7.000. Namun, jika dalam beberapa pekan ke depan pasar mulai melihat peluang pemangkasan suku bunga The Fed yang lebih cepat dari perkiraan, indeks berpotensi kembali menguat menuju area 7.200-7.300.

"Dalam situasi ini, strategi investasi yang paling relevan adalah tetap selektif dalam memilih saham, dengan fokus pada emiten berfundamental kuat dan memiliki valuasi menarik," tutur Hendra.

Hendra mencermati, saham seperti BRPT dengan target 1.000 dan SCMA dengan target 199 bisa menjadi pilihan menarik di tengah kondisi pasar yang berfluktuasi. Selain itu, koreksi pada saham-saham perbankan besar seperti BBCA, BBRI, dan BMRI dapat dimanfaatkan sebagai peluang buy on weakness bagi investor jangka panjang.  

"Sektor konsumsi primer dan kesehatan juga dapat menjadi opsi defensif di tengah ketidakpastian suku bunga global, mengingat daya tahan margin sektor ini cenderung lebih stabil," kata Hendra.

Investor juga perlu mencermati pergerakan rupiah terhadap dolar AS, karena pelemahan mata uang dapat memberikan tekanan bagi emiten yang bergantung pada bahan baku impor. Sementara itu, saham AADI dengan target 10.450 juga menarik untuk dicermati mengingat potensi upside yang masih terbuka.

"Obligasi negara bisa menjadi alternatif investasi yang lebih stabil bagi investor yang mencari perlindungan dari volatilitas pasar saham," kata Hendra.

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, Hendra berpesan agar investor perlu mengadopsi pendekatan yang lebih berhati-hati dan fleksibel. Sembari terus memantau perkembangan global yang dapat mempengaruhi arah kebijakan moneter dan pergerakan pasar saham di Indonesia.

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya