X-Men Dark Phoenix: Tak Seburuk Yang Digambarkan Para Kritikus

Cerita X-Men Dark Phoenix bermula dari masa kecil salah satu mutan terkuat, yakni Jean Grey alias Phoenix.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jun 2019, 12:30 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2019, 12:30 WIB
X-Men: Dark Phoenix
X-Men: Dark Phoenix. (20th Century Fox)

Liputan6.com, Jakarta - X-Men Dark Phoenix salah satu yang ramai diperbincangkan para pencinta film dua minggu terakhir. Ini bermula ketika seorang kritikus film luar negeri menyebut X-Men Dark Phoenix salah satu sekuel terburuk waralaba X-Men. Bahkan, kritikus ini menyebut X-Men Dark Phoenix tak perlu digarap dan membuat biaya produksi sebesar US$200 juta terasa sia-sia. Pergantian sutradara dari Bryan Singer ke Simon Kinberg dituding sebagai salah satu penyebabnya. Seburuk itukah X-Men Dark Phoenix?

Cerita X-Men Dark Phoenix bermula dari masa kecil salah satu mutan terkuat, yakni Jean Grey alias Phoenix (Sophie). Jean kecil bepergian dengan ayahnya, John Grey (Scott Shepherd) dan ibunya, Elaine Grey (Hannah Anderson). Tak suka dengan pilihan lagu yang diputar ibunya, Jean kehilangan kendali atas kekuatan supranatural yang dimilikinya. Akibatnya, mobil keluarga Grey mengalami kecelakaan tunggal. Elaine tewas seketika. John diberitakan mangkat kemudian. Jean diasuh Charles Xavier (James) di sekolah khusus para mutan.

Pada 1992, pesawat yang membawa para astronaut AS mengalami masalah di ruang angkasa. Pesawat ini terpapar suar matahari. Charles mengirim tim untuk membawa para astronaut pulang. Raven alias Mystique (Jennifer) memimpin Beast (Nicholas), Storm (Alexandra), Cyclops (Tye), Phoenix, dan Nightcrawler (Kodi Smit-McPhee) terbang. Dalam upaya penyelamatan itu, Phoenix terpapar suar matahari. Sejak itu, emosi dan kekuatannya tak terkendali. Di sisi lain, perempuan bernama Vuk (Jessica) memburunya.

Dalam X-Men Dark Phoenix, karakter Jean Grey didefinisikan ulang dengan latar (yang diharapkan) lebih terang. Namun banyak yang menilai pendalaman karakter Jean ini agak bergesekan dengan Jean versi Apocalypse yang mengecewakan itu. Hubungannya dengan Cyclops dibuat lebih tebal dan beremosi. Di sisi lain, Simon mengembangkan subkonflik antara Raven dengan Charles. Juga menampilkan emosi antara Raven-Hank-Erik (Michael).

Pertentangan Batin

X-Men: Dark Phoenix
X-Men: Dark Phoenix. (20th Century Fox)

Penebalan emosi ini membuat cerita X-Men Dark Phoenix terasa lebih punya hati dan dramatis. Belum lagi pergolakan batin Jean dalam menentukan dirinya mutan hitam atau putih menarik untuk ditelusuri. Pertemuannya dengan Erik menyingkap jatuh bangun seorang mutan dalam menentukan pilihan. Pilihan yang membuat masa lalu dan masa depannya berubah. Lantas di mana masalah film ini sehingga panen kritik negatif?

Bisa jadi, emosi labil Jean yang dipicu oleh melodrama pertentangan batin dan diperparah oleh latar belakang keluarga. Karakternya terlalu labil, rapuh, dan berakibat pada jatuhnya korban yang menurut penikmat film, bisa jadi sang korban lebih mengundang simpati. Rentetan drama yang sebenarnya sepele ini meciptakan banyak konflik besar dan terkesan bombastis. Penuturannya kurang lancar, membuat kita terus berpikir mau ke mana cerita X-Men Dark Phoenix ini. Konfliknya kurang greget dan genting.

Selain jatuh korban, hadirnya Jean Grey membuat Charles sebagai pemimpin pun ketularan labil. Karismanya di mata sejumlah mutan dan para penonton memudar. Terlepas dari penyelesaiannya, penokohan dan pergerakan cerita membuat jilid pamungkas ini terkesan kurang akbar. Belum lagi efek visualnya kurang memikat. Namun bukan berarti film ini tak layak tonton. Ilustrasi musik Hans Zimmer mampu membimbing alur cerita sehingga terasa lebih dinamis.

Tak Sekadar Jahat Melawan Baik

X-Men: Dark Phoenix
X-Men: Dark Phoenix. (20th Century Fox)

Letupan emosi para tokoh membuat kita percaya bahwa mutan-mutan hebat ini masih punya hati. Dan selamanya akan punya hati. Kita melihat kekecewaan Hank alias Beast yang tergambar manusiawi.

Kita menyaksikan air mata Erik yang menetes. Juga penyesalan Charles di gerbong kereta yang tampak dalam. Ragam emosi yang tersaji, sejujurnya membuat X-Men Dark Phoenix terasa kaya. Tak sekadar si jahat melawan si baik. Siapa menang, siapa kalah.

Sebagai jilid akhir, X-Men Dark Phoenix memang kurang sesuai harapan. Namun film ini, menurut kami, tidak seburuk yang digambarkan para kritikus. Yang namanya film, bahkan peraih Oscar sekali pun, tentu ada celanya. X-Men Dark Phoenix dengan ragam emosinya masih menarik untuk ditonton. (Wayan Diananto)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya