Liputan6.com, Jakarta Bagi kamu yang lahir dan besar di wilayah Jawa bagian wetan alias Jawa Timur, tentunya sudah tak asing dengan adat istiadat, budaya atau kesenian yang ada di wilayah tersebut. Di Jawa Timur terdapat berbagai macam suku, salah satunya suku Osing.
Suku Osing atau suku Using adalah penduduk asli daerah Banyuwangi. Menurut cerita masyarakat, suku tersebut merupakan keturunan rakyat Kerajaan Blambangan yang mengasingkan diri pada zaman Majapahit. Nama Osing diberikan oleh penduduk pendatang yang menetap di daerah itu pada abad ke-19.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Kata Osing atau Using berarti tidak, hal ini menunjukkan sikap warga yang menolak pengaruh dari luar pada zaman dulu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Osing yang merupakan turunan dari bahasa Jawa Kuno.
Pada awalnya, masyarakat Osing mayoritas beragama Hindu dan Budha. Namun, setelah berkembangnya kerajaan islam, masyarakat Osing banyak yang beralih memeluk agama Islam. Selain itu, di tengah modernisasi dengan perkembangannya yang kian pesat, suku Osing di Desa Adat Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, berhasil mempertahankan budaya tradisionalnya hingga saat ini.
Saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur kamu bisa menyaksikan 5 tradisi yang diselenggrakan suku Osing. Tradisi dan ritual tersebut dapat menarik minat para wisatawan lokal hingga mancanegara. Berikut tradisi suku Osing yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (9/10/2019).
1. Tradisi Mepe Kasur
Suku Osing memiliki tradisi yang cukup unik yaitu Mepe Kasur (jemur kasur). Jika tempat lain menjemur kasur atau tempat tidur hanya dilakukan ketika kasur basah, maka beda halnya dengan suku Osing. Mepe kasur merupakan tradisi yang rutin dilakukan pada bulan Dzulhijah bersamaan dengan acara selamatan desa.
Tradisi ini dipercaya masyarakat Osing dapat menjaga kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga. Biasanya pada hari perayaan, seluruh masyarakat desa akan Mepe Kasur secara bersamaan. Kerukunan pun terlihat dari warna kasur yang digunakan masyarakat, yakni warna merah dan hitam yang melambangkan tolak balak dan kelanggengan keluarga.
Advertisement
2. Bahasa suku Osing
Suku Osing juga mempunyai bahasa sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tersebut merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa kuno. Ada dua jenis sistem bahasa yang digunakan dalam Bahasa Osing yaitu Bahasa Osing (bahasa sehari-hari) dan goko-krama.
Tak hanya mempertahankan adat dengan berbahasa Osing dalam kehidupan sehari-hari, suku tersebut juga memiliki lagu adat sendiri. Salah satu yang populer adalah Tutupe Wirang.
3. Tumpeng Sewu
Tumpeng Sewu merupakan tradisi makan besar. Tradisi ini masih tetap dilestarikan oleh suku asli Banyuwangi hingga saat ini. Perayaan Tumpeng Sewu sendiri rutin dilakukan pada bulan Dzulhijah atau yang lebih umum dengan sebutan bulan Haji.
Tradisi ini dipercaya suku Osing dapat menjauhkan dari malapetaka. Upacara Tumpeng Sewu ini menjadi semacam tradisi tolak bala. Selain itu, suku tersebut memiliki kepercayaan, jika upacara Tumpeng Sewu tidak dilaksanakan, maka musibah akan mendatangi wilayah yang mereka tinggali.
Dalam tradisi upacara Tumpeng Sewu, beragam makanan dihidangkan, dan yang tak boleh ketinggalan adalah pecel phitik, yakni ayam panggang yang diberi serutan kelapa dan bumbu khas suku Osing.
Advertisement
4. Barong Ider Bumi
Barong Ider Bumi diseleggarakan setiap tanggal dua bulan Syawal oleh warga Osing. Sebagian warga Osing membentuk kelompok barongan yang mengitari desa dari ujung timur ke barat. Tradisi tersebut digelar dalam bentuk arak-arakan barong yang dilakukan selayaknya karnaval.
Di tengah-tengah pelaksanaan karnaval, masyarakat lainnya melempari peserta dengan uang logam. Tujuannya untuk menolak bala datang ke wilayah ini. Dulunya, wilayah ini pernah dilanda kemarau berkepanjangan, lalu suku Osing melakukan tradisi ini agar musim kemarau pergi tepat waktu dan sawah warga mendapat air yang cukup.
5. Memainkan Angklung Paglak
Saat musim panen tiba, suku osi akan memainkan Angklung Paglak. Dulunya, angklung ini dimainkan sebagai hiburan para petani yang memanen padinya. Selain menjadi hiburan, permainan angklung paglak diisyaratkan agar warga membantu petani memanen. Nilai gotong royong begitu kental dalam tradisi ini.
Advertisement