Liputan6.com, Jakarta - Surabaya adalah salah satu kota di Jawa Timur yang menyimpan banyak kekayaan sejarah. Mulai dari zaman Majapahit hingga kemerdekaan, Surabaya menjadi salah satu bagian yang penting untuk ditelusuri.
Salah satu sejarah Kota Surabaya yang sedikit diketahui adalah keberadaan Kampung Surabayan yang berada di Kelurahan Kedungdoro, Tegalsari. Ini adalah kampung yang sudah ada sejak zaman Majapahit.
Dalam buku Negarakartagama diceritakan Raja Mahajapahit kala itu, Hayam Wuruk menelusuri Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Dalam perjalanan tersebut, raja yang berkuasa pada 1350 hingga 1389 Masehi itu berkunjung ke 40 kampung yang ada di bantaran sungai.
Advertisement
Dikisahkan Kampung Surabayan ini menjadi salah satu yang disinggahi oleh Hayam Wuruk. Dalam perjalanannya itu, Sang Raja juga singgah ke kampung tua lainnya, yaitu Kampung Bungkul, dan Kampung Jambangan, dikutip dari kajian dalam jurnal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Advertisement
Baca Juga
Kajian tersebut berjudul, Conservation Concept of Old Kampung Through the Application fo Sustainable Development Principles at Kampung Surabayan, Kedungdoro District, Surabaya yang terbit pada 1 April 2014.
Terkait dengan Kampung Surabayan, Dosen Sejarah Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menuturkan, kampung itu sudah ada dalam sejarah Majapahit yang ditunjukkan dari Prasasti Canggu dan Kakawin Nagarakrtagama.
"Surabaya disebutkan pertama kali di dalam peninggalan Majapahit yang bisa dijadikan sumber sejarah antara lain Prasasti Canggu dan Kakawin Nagarakrtagama. Prasasti Canggu diterbitkan pada 1358 Masehi di masa Majapahit dipimpin Hayam Wuruk," tutur saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, ditulis Senin (3/8/2020).
"Dalam negara kertagama ditulis seorang pejabat tinggi Majapahit pada 1365 Masehi yang menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk keliling desa wilayah kekuasaan Majapahit di Jawa Timur," ia menambahkan.
Adrian menuturkan, prasasti canggu dikeluarkan oleh Hayam Wuruk yang memberikan hak keistimewaan kekuasaan kepada komunitas yang berada di desa-desa penting di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo dan Kali Brantas. Dua sungai itu termasuk yang terpenting di Jawa.
Adrian menambahkan, Raja Hayam Wuruk memberikan keistimewaan kepada desa-desa tersebut seiring kontribusi dalam meningkatkan ekonomi Kerajaan Majapahit.
"Yang harus diketahui posisi desa dan dua sungai di Jawa itu urat nadi ekonomi, lalu lintas antara pedalaman dan pesisir dengan laut. Di situ kemudian ibarat hari ini desa tersebut semacam pintu tol lalu lintas manusia dan komoditas," ujar dia.
Ia mengatakan, desa-desa yang disebutkan kemudian diyakini sebagai wilayah Surabaya.
"Surabaya, Curabhaya, kemudian ada Bugul yang hari ini dikenal sebagai Bungkul. Gesang yang kemudian jadi Pagesangan. Nanti terus dari Kalibrantas, Kalimas ke arah Brantas, hulunya berhenti di pelabuhan utama Majapahit yaitu Canggu yang sekarang masuk Mojokerto," ujar dia.
"Dari prasasti canggu dan kakawin Nagarakrtagama, Surabaya termasuk wilayah dikunjungi Hayam Wuruk sebelum Kebuwun yang ada di Kakawin. Kebuwun ada yang terjemahkan Bawean. Memang letak Surabaya dianggap merupakan salah satu wilayah di daerah terluar dari Kali Brantas atau Kalimas," ia menambahkan.
Adrian mengatakan, salah satu nama daerah tertua Surabayan bersama dengan Bungkul dan Gesang Pagesangan. Akan tetapi, nama Surabaya diadopsi para penguasa setelah Majapahit bubar dan alami kemunduran.
"Penguasa Surabaya rupanya bangkit jadi penguasa terpenting di Jawa Timur. Bahkan di masa Kerajaan Mataram Islam, Demak, Surabaya jadi kadipaten terpenting, adipatinya menjadi adipati wedono berada di pesisir. Ini untuk hadapi hegemoni kekuasaan Mataram. Surabaya yang hanya sebuah desa kecil kemudian berkembang jadi suatu kekuasaan politik penting di masa jatuhnya Majapahit hingga berkembangnya hegemoni Mataram di Jawa Tengah dan Yogyakarta," kata dia.
Ia mengatakan, nama asli Surabaya disebutkan dalam prasasti itu terdapat di Kampung Surabayan. Menurut Adrian, bangunan lama dan peninggalan nyaris tidak dapat ditemukan karena jarak waktu.
"Jarak waktu luar biasa panjang hampir 700 tahun antara penyebutan nama Surabaya dan perkembangan kota Surabaya nyaris tidak ditemukan bukti berupa bangunan dari zaman itu," ujar dia.
Selain itu, Kampung Surabayan ini juga strategis terletak di segitiga emas yaitu pusat bisnis perdagangan di Surabaya.
"Dekat dengan jalan-jalan ekonomi pusat bisnis, yang jelas dan kemudian ada kampung juga tumbuh di masa kemudian, tidak banyak ditemukan," kata dia.
Namun, menurut Adrian, ada salah satu peninggalan yang bisa ditemukan jika dilacak yaitu bunden. Nama bunden itu disebut Bunden Mba Mojo.
"Bunden kalau kita lihat di desa di luar kota besar Surabaya, ada bentuk mata air, ada bentuk pohon, tumpukan batu kuno merupakan struktur candi. Ada yang kemudian dirupakan seperti makam, di sini bunden Mba Mojo dirupakan sebagai makam, keterkaitan prasasi Majapahit bangunan atau struktur yang menunjukkan kekunoan kampung dari Surabayan tersebut," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tradisi yang Dipertahankan
Mengutip dari jurnal ITS, jika dihitung dari keterangan dari Negarakertagama, usia Kampung Surabayan ini sudah lebih dari 7 abad. Masih ada sejumlah tradisi yang dipertahankan di kampung bersejarah ini, yaitu Budaya Cangkruk dan Adu Burung Dara.
Cangkruk merupakan budaya asli Kampung Surabayan yang masih lestari hingga saat ini. Dalam pengertian sederhana, "cangkruk” memiliki kemiripan dengan “nongkrong”, yaitu duduk-duduk sambil berbincang samtai beramai-ramai.
Sementara Adu Burung Dara adalah adu cepat burung dara. Meski aktivitas beradu kecepatan burung dara ini tak sebanyak dulu karena berkurangnya lahan, tetapi hingga kini warisan leluhur Kota Surabaya ini masih lestari.
Kampung Surabayan memiliki potensi besar dalam hal pariwisata budaya karena usianya yang cukup tua dan menyimpan banyak sejarah. Kampung ini juga telah terdaftar di Dinas Pariwisata Kota Surabaya sebagai warisan budaya dengan nomor registrasi 646/1654/436.6.14/2009.
Meski demikian, arus perubahan dan pembangunan yang cukup tinggi di Surabaya sebagai kota terbesar di Indonesia ini membuat banyak peninggalan sejarah yang telah kehilangan ruhnya. Banyak bangunan yang telah diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Sementara, bangunan-bangunan tua yang bernilai sejarah banyak yang tidak terurus dan ditinggalkan begitu saja. Namun, Kampung Surabayan ini diprediksi punya potensi yang besar sebagai wisata budaya di masa depan.
Advertisement