Strategi Pemkot Surabaya Hilangkan Perbedaan Sekolah Negeri dan Swasta

Pemkot Surabaya juga terus mengembangkan kerja sama dengan pihak pengusaha dalam hal membantu siswa.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Agu 2020, 10:32 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2020, 10:31 WIB
(Foto: Dok Humas Pemkot Surabaya)
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi. (Foto: Dok Humas Pemkot Surabaya)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus berupaya untuk menghilangkan kesan dan anggapan ada perbedaan antara sekolah negeri dan swasta.

Stigma semacam itu akan terus dihilangkan di tengah-tengah masyarakat. Pemkot Surabaya pun telah menyiapkan berbagai strateginya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan, semua harus sepakat pendidikan 9 tahun itu wajib. Oleh karena itu, pemkot berkomitmen untuk tidak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sebab, kalau hanya mengandalkan negeri saja tidak cukup.

"Ketika masuk swasta, maka infrastrukturnya juga harus sama, termasuk laboratorium dan sebagainya harus sama, sehingga kita akan support betul ke depannya, dengan catatan sekolah swasta itu harus menaikkan gradenya,” kata Eri, seperti dikutip dari laman Surabaya.go.id, ditulis Selasa (25/8/2020).

Untuk sekolah swasta menaikkan grade-nya, Eri menuturkan, harus disepakati rombongan belajar (rombel) setiap sekolah negeri dan swasta sebanyak 32 siswa, dengan maksimal masing-masing kelas 11 kelas. Artinya, kelas 1 ada 11 kelas, kelas 2 ada 11 kelas dan kelas 3 ada 11 kelas juga.

Oleh karena itu, bagi sekolah yang rombelnya di atas 32 siswa, pemkot pun terus mencarikan solusi. Salah satunya dengan menambah kelas lagi.

Penambahan kelas itu bukan untuk menerima siswa baru, melainkan untuk menampung siswa yang lebih dari rombel tersebut. Misalnya sudah ada sekolah yang menerima rombel 40 siswa, 8 siswa di rombel tersebut harus pindah ke kelas yang baru dibangun.

"Kemarinnya kita sudah hitung-hitungan dengan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) dan pihak guru, jika siswanya sampai 40 orang, guru merasa agak kesulitan untuk menguasai muridnya, sehingga rombel 32 itu sudah cukup,” kata dia.

Selain itu, mulai 2019, Pemkot Surabaya sudah menghitung Bopda itu berdasarkan rombel, bukan per kepala lagi. Makanya, dia berharap kebijakan ini akan bisa menyelesaikan masalah dan nantinya tidak ada perbedaan lagi antara sekolah negeri dan swasta.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kembangkan Kerja Sama dengan Pengusaha

Di samping itu, Eri juga mengatakan, harus ada keterbukaan antara pemerintah dan pihak sekolah. Terbuka dalam hal jumlah siswa yang akan masuk ke sekolah masing-masing, baik negeri maupun swasta.

Apalagi, saat ini Dispendukcapil Surabaya sudah menyiapkan data berapa anak SD yang lulus dan akan masuk ke jenjang SMP, sehingga sejak awal sudah bisa dihitung apakah sekolah di suatu daerah atau kecamatan itu kurang atau sudah cukup.

“Jadi, tahun 2021 Juli nanti, akan ada data dari Dispendukcapil tentang berapa anak yang lulus SD dan akan masuk ke SMP. Insyallah dengan data itu kita akan tahu sebaran siswa itu, sehingga posisinya nanti akan menerima jumlah siswa sama,” ujarnya.

Kemudian, begitu ada sekolah di salah satu kecamatan yang kurang, nanti akan dibangunkan sekolah atau hanya menambah kelas baru. Akan tetapi, dengan catatan tidak mengurangi jumlah siswa di sekolah swasta.

“Melalui berbagai cara itu, mungkin kita akan bisa menyelesaikan wajib sekolah 9 tahun,” imbuhnya.

Eri menambahkan, Pemkot Surabaya juga terus mengembangkan kerja sama dengan pihak pengusaha dalam hal membantu siswa. Bentuknya, para pengusaha itu memegang anak asuh, sehingga pengusaha itu membantu anak asuhnya dalam biaya pendidikannya.

"Ini sudah berlaku dan akan terus kami kembangkan, sehingga semua pihak berkontribusi dalam mengembangkan pendidikan di Kota Surabaya," pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya