Liputan6.com, Surabaya - Caleg DPD RI terpilih asal Jatim Lia Istifhama atau Ning Lia, berharap Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dikaji ulang bagi karyawan swasta.
“Maksud saya mengkaji ulang, bukan berarti penolakan. Namun penerapan yang disesuaikan dengan beberapa aspek sosial yang selama ini dirasakan karyawan swasta. Secara sederhana, saya sangat berharap bisa dilakukan analisis mendalam lagi," katanya, Jumat (31/5/2024).
Dia menjelaskan, banyak sekali pasangan yang harus sama-sama bekerja dengan gaji UMR guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Advertisement
“Kita harus menyadari, bahwa realita saat ini, mayoritas seorang ibu menjalankan multifungsi, bukan hanya menjalankan profesi domestik, tapi juga publik sebagai karyawan. Ini bukti bahwa gaji UMR jika hanya dimiliki salah satu, misal hanya sosok suami atau kepala rumah tangga, itu tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan hidup," terangnya.
Lia mengakui UMR setiap tahun memang meningkat. Bahkan di Jawa Timur misalnya, meningkatnya signifikan, yaitu naik 6,13 persen pada UMR 2024. Namun meningkatnya UMR, ternyata diikuti juga dengan meningkatnya kebutuhan hidup.
"Jadi mau tidak mau memang suami istri dituntut harus sama-sama bekerja. Tidak sedikit yang sama-sama memiliki side job, jadi benar-benar harus pintar mengelola waktu mengasuh anak," sambungnya.
Penjelasan Ning Lia tersebut, tak lepas dari pengalaman hidupnya yang belasan tahun melakoni pekerjaan sebagai karyawan, dengan penghasilan Upah Minimum Regional atau UMR.
“Alhamdulillah, saya termasuk warga metropolis yang pernah merasakan perjuangan mencari rezeki halal dengan profesi karyawan bergaji UMR. Jadi sangat memahami arti dari sekian rupiah sebuah potongan. BPJS misalnya, sebenarnya sangat positif. Tapi memang pasti ada dampak dari sebuah potongan," tutur Ning Lia.
Status Kontrak Harus Jadi Atensi
Lia melanjutkan, jika sekarang ada penambahan potongan Tapera, ia khawatir membebani karyawan dengan tingkat ekonomi tertentu. Atau membebani perusahaan sehingga mereka semakin terbiasa mempekerjakan karyawan sebagai kontrak, bukan karyawan tetap.
Ia menambahkan, kebiasaan perusahaan mempekerjakan karyawan sebagai tenaga kontrak, adalah persoalan yang harus menjadi atensi khusus.
“Diakui apa tidak, budaya kontrak sudah lumrah. Bekerja sebagai karyawan kontrak, tinggal di rumah kontrak, itu seperti sebuah realita yang sangat umum terjadi, terutama di perkotaan. Mengapa karyawan memilih kontrak. Karena memang mampunya kontrak rumah. Tapi persoalan yang menjadi atensi khusus adalah, mengapa karyawan yang bekerja sekian tahun tetap berstatus kontrak," tanyanya.
Dia khawatir, perusahaan memang mampunya mempekerjakan karyawan secara kontrak karena tidak bisa memberi pesangon.
"Nah, ini yang jangan sampai luput dari atensi kita bersama. Dalam hal ini, jangan sampai ada penambahan beban operational cost lebih besar per satu tenaga kerja yang justru kian menambah perusahaan dan membuat mereka semakin nyaman menggunakan skema karyawan kontrak," pungkasnya.
Advertisement